Tuesday, June 14, 2016

Dua Pasang Mata




    “Aku bisa menangkap sesuatu di balik tatapanmu yang lurus ke arah laut itu.”
    “Apa?
    “Dendam!”
Aku menoleh ke arahnya. Pantulan cahaya senja tampak memukau diantara wajahnya yang kini menatapku dengan penuh tanda tanya. Ada apa? Hatiku juga diliputi banyak pertanyaan ketika mendengar satu kata yang diucapkannya, DENDAM.
    “Maksudnya?”
Wajahnya lalu berpaling tatkala mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba.
    “Ya, dendam. Aku ingin tau, sejak kapan kamu tumbuhkan dendam dalam hatimu? Sikap diammu ibarat perapian, tenang, namun panas. Aku bisa melihatnya dari sorot mata itu setiap kali kamu tidak berkata-kata dan hanya menatap lurus ke depan.”
Aku tersenyum kecut mendengar ucapannya, seraya beranjak dan meninggalkan dia yang masih diliputi rasa penasaran.
    “Sok tahu!”
Hanya itu kalimat terakhir yang aku ucapkan padanya sore ini.
***

    Apa semalam tidurmu nyenyak? Bagaimana perasaanmu pagi ini?”
Seperti biasa, setiap pagi aku harus melihat senyumnya yang terlihat datar dengan segudang pertanyaan basa-basi yang aku rasa tidak perlu. Dia lalu menyodorkan sepiring buah-buahan yang telah dipotongnya dengan segelas susu.
    “Aku rasa kamu ga perlu menanyakan hal seperti itu berulang-ulang!”
Senyumnya kini tampak melebar mendengar jawabanku yang tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan. Dia lalu berdiri dan mengambil sesuatu di dalam lemari yang tidak jauh dari tempatku duduk.
    “Apa kamu lebih takut dengan laba-laba atau ular?”
Dia menyodorkan laba-laba dan ular mainan di hadapanku. Mulanya aku terkejut, namun setelah aku mengetahui bahwa itu hanyalah mainan, aku lalu tersenyum.
    “Menurut kamu? Kamu mungkin bisa menebak, apa aku lebih takut ular atau laba-laba!”
Dia menggelengkan kepalanya, berdiri dan lalu menatap mataku dari jarak dekat.
    “Dari pertama aku ke sini sampai hari ini, kamu ga pernah serius menjawab semua pertanyaan dariku. Ada apa sebenarnya? Kamu terlihat ga punya gairah hidup sedikitpun!”
Dia lalu membelakangiku, mengambil tas dan buku-bukunya, mengikat rambutnya, lalu menoleh kembali ke arahku.
    “Ayo kita pergi!”
    “Kemana?
    “Pantai!”

***
    Namanya Teresa, gadis berkacamata, dengan rambut lurus panjang, hidung mancung, kulit putih dan mata sipit. Dia adalah sahabat lama yang kini baru datang ke Indonesia. Dia bukan psikolog, tapi dia adalah seorang designer, hanya saja dia punya ketertarikan dalam ilmu psikologi, sehingga setiap kali kita bertemu, yang dia bahas adalah seputar masalah kejiwaan dan dia seringkali menanyakan masalah apa yang tengah aku alami saat ini, lalu dia mencoba menganalisisnya layaknya seorang psikolog, namun aku tidak pernah menanggapinya dengan serius, karena aku menganggap dia tidak mempunyai keahlian di bidang itu.
    “Sekarang tutup mata kamu!”
Dia langsung memerintahkan aku untuk menutup mata tatkala kita baru saja tiba di pantai.
    “Apaan sih, norak tau!”
Tanpa menunggu persetujuanku, dia lalu menutup mataku dengan sehelai kain hitam yang dia bawa.
    “DIAM! Fokus pada suara ombak, lalu hayati! Ijinkan perasaan kamu menceritakan apa yang ingin diceritakannya!”
Sesaat lamanya kita diam. Suara debur ombak, desiran pasir dan desau angin terdengar seperti melodi yang kini terngiang ditelinga, membangunkan roh dalam jiwaku yang sudah lama tertidur dalam kebekuan. Ada sesuatu yang menyayat hati. Aku lalu bisa menggerakkan bibirku, menceritakan bahasa hati, air mataku menetes.
    “Aku kesepian!”
    “Apa???”
Aku hiraukan pertanyaannya yang menginginkan aku mengulangi ucapanku. Aku lalu melanjutkan apa yang ingin aku ceritakan dengan mata masih terpejam.
    “Sejak aku tidak bisa lagi menatap wajahku di depan cermin, sejak itu aku tau bahwa aku mulai berubah. Lingkungan yang mengikis rasa percaya diri aku sedikit demi sedikit, menumbuhkan rasa haus akan segala bentuk perhatian dan kasih sayang, sejak saat itulah aku menjadi “berbeda” dan aku mulai tidak bisa mengenali siapa diri aku dan apa yang aku mau..”
    “Lalu??”
    “Dulu, aku ingin seperti anak-anak yang lain. Meniup lilin dan memotong kue. Aku ingin diperhatikan, aku ingin dipedulikan, aku ingin kasih sayang! Tapi, aku hanya bisa memejamkan mataku di atas kasur, menghidupkan khayalan apapun yang aku mau, lalu tertidur. Aku kehilangan masa kecilku.”
    “Jadi, semua bermula dari sana?”
    “Ya, dan lalu aku menemukan sesuatu yang lain setelah itu..”
    “Apa?”
    “Sebuah perbedaan dalam diriku…”
    “Dalam hal?”
    “Mencintai..”
Hening. Aku dan dia terdiam cukup lama. Aku biarkan diriku berbaur dengan suara-suara yang kini terasa menghidupkan lagi intuisi. Menjamah lorong gelap itu sesaat, mengingatnya dan mendapati sesuatu tentang diriku yang tidak sama dengan yang lainnya, AKU BERBEDA.
    “Sekarang buka mata kamu!”
Dia melepaskan ikatan yang menutup mataku lalu tangannya menunjukkanku sesuatu.
    “Lihat! Di sana ada matahari, awan, laut, ombak, pasir, pepohonan, semua warnanya berbeda! Apa kamu tau? Dunia seperti apa yang akan membuat kita cukup bosan? Adalah dunia monoton yang hanya ada satu warna!”
Dia lalu menatap ke arahku seraya tersenyum dan memegang kedua tanganku.
    “Apa yang harus dipermasalahkan dengan masalalu? Bukankah itu hanyalah perbedaan mengenai sudut pandang tatkala kamu melihatnya. Kenapa kamu masih melihat sesuatu dari arah yang sama padahal kamu sudah tumbuh? Dulu, mungkin kamu tidak bisa menggapainya karena kamu hanyalah tunas kecil yang belum mengerti apapun, tapi sekarang? Kamu sekarang adalah pohon besar yang seharusnya lebih mengerti dan punya sudut pandang berbeda dalam menilai sesuatu yang dulu kamu anggap benar!”
Keningku berkerut dan aku tidak ingin mengomentari apa yang dia ucapkan. Dia seperti paham apa yang ada dalam pikiranku, sehingga dia melanjutkan kembali ucapannya.
    “Kamu tak akan pernah punya cukup waktu untuk memikirkan apa yang kamu mau! Apa Tuhan menciptakan kamu hanya untuk melihat kamu terus menerus murung, putus asa dan tidak tau caranya untuk bersyukur? Sampai kapan kamu akan membandingkan kekurangan diri kamu dengan kelebihan orang lain? Mungkin sampai kamu kehilangan kesempatan untuk hidup, baru kamu akan sadar bahwa kamu telah menyia-nyiakan banyak waktu!”
   
***
    Namanya Teresa, usia 27 tahun dan kini dia terbaring di dalam peti berwarna putih. Di sekelilingnya dipenuhi bunga dan lilin. Sebentar lagi dia dikremasi dan akan menjadi abu. Namanya Teresa, aku harap besok bisa bertemu lagi dengannya di tepi pantai dan membicarakan masalah kehidupan, karena aku ingin bertanya satu hal padanya,
    “Dimanakah ujung dari rasa rindu?”

Bersambung..

No comments:

Post a Comment