Friday, June 17, 2016

Dua Pasang Mata (Bagian Empat)



    “ Apa kamu menyesal?”
Pertanyaan itu keluar seketika tatkala aku menemui Ray yang kini berada di balik jeruji besi. Ekspresinya terlihat datar, lalu dia menolehku seraya tersenyum.
    “Aku ga pernah menyesal dengan semua yang udah aku lakukan!”
Aku kaget mendengar jawabannya yang seperti itu, karena biasanya aku melihat beberapa tersangka pembunuhan selalu mengungkapkan kalimat penyesalan ketika mereka sudah mendekam dipenjara, namun lain halnya dengan Ray.
    “Apa sih yang kamu dapat dari semua ini?”
Mendengar kembali pertanyaan dari aku, Ray kemudian berdiri, menatapku sekilas dengan senyuman sinis, lalu berlalu dari hadapanku.
    “KEPUASAN!”
***

    “Ada apa dengan tanggal 19 Juni?”
Gumamku dalam hati tatkala melihat sebuah tanda merah di kalender, tepat pada tanggal 19.
    “Itu tanggal kamu jadian dengan mantan!”
Aku menoleh seketika ke arah sumber suara, namun tak ada siapapun di sana. Aku kemudian memejamkan mata dan mengingat kenangan beberapa tahun silam tepat pada tanggal 19, namun belum sempat aku mengingatnya, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara lain.
    “Menurut kamu apakah cinta itu seperti yang kamu rasakan terhadap HF atau DS?”
Teresa? Aku kemudian merasakan keberadaannya di tempat ini dengan sebuah pertanyaannya yang tiba-tiba tentang cinta.
    “Entahlah, aku sulit untuk membedakannya!”
    “Seingatku, kamu pernah mengatakan bahwa kamu mencintai HF dan menyayangi DS. Bukan begitu?”
Aku kemudian mengingat kembali beberapa perkataan yang pernah aku ucapkan kepada Teresa dan aku mengiyakan apa yang dikatakannya tentang rasa cinta dan sayang.
    “Apa bedanya rasa cinta dan sayang?”
Mendengar pertanyaan lain dari Teresa, Aku kemudian menghadirkan sosok HF dan DS dalam hatiku dan berusaha mengingat kembali perasaan yang aku rasakan terhadap mereka.
    “Dulu, aku punya definisi tentang perbedaan kedua istilah itu, namun sekarang aku sadar bahwa tidak semua yang kita rasakan harus didefinisikan, bahkan dicari perbedaannya.”
Keheningan kemudian terasa di sekitarku, sebelum akhirnya Teresa berbicara kembali terhadapku.
    “Besok adalah tanggal 19 Juni pada tahun kelima kamu jatuh cinta pada HF, apa kamu mau berbicara dengannya?”
Aku kemudian menggelengkan kepalaku dan aku mulai membuka mata.
    “Aku ingin berbicara dengan DS.”
Teresa kemudian tertawa mendengar jawabanku, namun aku tidak menghiraukannya dan kembali menutup mata.
    “Coba ceritakan kepadaku apa yang menarik dari dia, sebelum kamu menghadirkan sosoknya dan berbicara kepadanya!”
Aku kemudian mengingat sosok DS yang dulu selalu menemani hari-hariku. Aku tersenyum sesaat dan mengingat kembali masalalu ketika aku jatuh cinta pada HF, namun aku lebih merasakan kenyamanan dengan DS yang juga menyukaiku.
    “Ketulusannya membuatku merasa selalu terhubung dengan dia! Dibalik sikap diamnya, aku melihat kepedulian. Diantara sikap acuhnya, aku merasakan perhatian, dan dibalik jarak yang begitu jauh antara aku dengan dia, aku merasa dia begitu dekat, sangat dekat, sampai-sampai aku bisa merasakan kehadirannya setiap saat. Aku bisa melihat diriku sendiri ketika aku melihatnya.”
Teresa kemudian mendekatiku lalu menaruh kedua tangannya di atas pundakku.
    “Kalau itu yang kamu rasakan terhadap DS, lalu bagaimana dengan cinta yang hingga saat ini kamu rasakan terhadap HF?”
Aku kemudian berpaling dari Teresa dan menatap foto HF dari jauh. Hatiku kemudian terasa terbakar dan kebencian membuat kedua mataku berpijar, panas.
    “Dia adalah cinta pertama aku. Aku selalu berkorban untuk dia dan dia seringkali menyakitiku, namun dibalik rasa cintaku itu, sekarang aku tau bahwa aku ga pernah benar-benar tulus terhadapnya. Sebesar apapun aku berkorban untuk dia, ternyata aku hanya ingin membahagiakan diriku sendiri. Aku ingin memiliki dia dan aku tidak terima ketika dia bersama yang lain, hingga timbul kebencian dan dendam dari dalam diriku. Aku kemudian menyimpulkan bahwa ini bukan cinta, melainkan nafsu dan keegoisan!”
Teresa kembali menghampiriku seraya tersenyum. Dia kemudian menyodorkan sebuah tiket ke arahku.
    “Jika aku kasih kamu satu tiket, siapa yang benar-benar ingin kamu temui saat ini?”
Dengan tatapan serius aku kemudian melihat tiket itu. Dan aku sulit untuk menyebutkan satu nama. Aku kemudian menggeleng pelan dan lalu dilanda sebuah kebingungan yang baru sekarang aku rasakan.
    “HF atau DS?”
Aku terhenyak mendengar dua nama yang semakin diperjelas oleh Teresa. Aku lalu mengangkat wajahku dan mengucapkan satu nama.
    “DS”
***

    Sudah satu jam lamanya aku membiarkan selembar kertas kosong dan pulpen itu tergeletak di depanku, padahal aku seharusnya sudah mulai menulis surat untuk DS, sesuai dengan perintah Teresa. Namun aku malah diam dan memikirkan percakapan terakhir aku dengan Teresa yang terus terngiang ditelingaku.
    “Kamu mencintai HF, namun kamu mengistimewakan DS. Setiap hari kamu ingin bertemu dengan HF, tapi ketika aku menyodorkan sebuah tiket, kamu justru memilih menemui DS. Bukankah kamu sangat aneh?”
Teresa tertawa dan aku juga tertawa.
    “Aku aneh dan DS juga aneh. Jadi, kita cocok!”
Aku dan Teresa kembali tertawa mendengar pernyataan itu.
    “Ada satu waktu dimana aku memang harus benar-benar menjauh dari orang yang paling aku cintai, paling ingin aku temui. Kamu tau kenapa? Agar keinginan aku untuk memilikinya ga semakin kuat. Maka dari itu, aku lebih memilih untuk menemui DS, karena aku merasakan sebuah kasih sayang yang tanpa syarat, yang tidak mengharuskan sebuah timbal balik, dan yang tidak menimbulkan benci dan dendam sedikitpun.”
Teresa kemudian mengangguk dan tersenyum sinis ke arahku.
    “Bila memungkinkan, sebenarnya kamu ingin memiliki mereka berdua, bukan begitu?”
***
    Tepat dibulan Juni, hujan kembali turun dengan deras, menghantarkan kembali kerinduan yang tidak pernah memiliki batas. Ada cinta, ada airmata, dan ada cerita-cerita lama yang kini berjatuhan bersama hujan yang singgah di teras rumah, menceritakan kembali kisahnya, hingga tergenanglah sekumpulan kenangan yang kini berkidung dalam sebuah puisi yang begitu menyayat hati, Hujan Bulan Juni.

Hujan Bulan Juni
Sapardi Djoko Damono

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu


    “Happy 5th Anniversarry, June!”
***
Bersambung..

No comments:

Post a Comment