Thursday, September 27, 2018

Sang Pemain


    Dan jadilah dia pemain tangguh yang menaklukan bunga apapun yang dia mau. Mawar, matahari, cempaka, kamboja dan bahkan bunga-bunga lain yang sudah ada pemiliknya.
Bunga-bunga yang menyerahkan dirinya sendiri tanpa diminta.
Dia bersenang-senang, hingga pada satu titik dia kehilangan semuanya. Bunga-bunganya layu karena tak bisa dia sirami satu persatu.
   
    Hilang, namun kemudian mereka datang lagi. Layu, namun pada akhirnya mekar kembali. Dan diantara bunga-bunga itu, bunga matahari adalah bunga paling kuat yang akhirnya kembali setelah dipetik tanpa permisi. Bunga milik orang lain yang kemudian membelah dirinya karena permintaan dari hati. Bunga yang tangguh, namun masih bisa dinikmati keindahannya melalu jiwa yang teduh.

    Dan dia pun hidup lagi, seperti permainan yang baru saja dimulai. Pelukannya menandai rindu yang ditinggalkan dimusim semi. Tatapannya mengisyaratkan keinginan untuk tetap mencintai, meski di belakangnya berteriak ikatan lamanya dalam janji suci.
Dan dia, bunga matahari adalah bunga paling setia yang tidak setia. Setia pada jiwa yang hadir setelah ikatan itu melingkar pada jari manisnya dan tak setia pada nama yang tertera dibalik cincin yang dipakainya setiap hari.

    Adalah rindu yang menjadi pembuka antara sang pemain dan bunga-bunga di padang asmara. Sedang mentari adalah sutradara yang merekam bagaimana mereka bermain dengan begitu mempesona.
Dan baginya satu memang cukup untuk menikmati wangi bunga setiap pagi, namun seringkali ketakutannya akan sepi bergejolak, hingga ia mengoleksi bunga-bunga lain untuk ia genggam. Jadilah tangannya penuh oleh nama-nama dari bunga. Lalu, mereka bertanya padanya tentang kesetiaan.
    “Apa itu setia?”

    Dan kesetiaan bukanlah apa yang bisa kau lihat dari matamu atau apa yang bisa kau hitung dengan jemarimu. Kesetiaan bukanlah bagian dari hitungan matematis yang seringkali mengagungkan logikamu. Kesetiaan adalah bagian dari bingkai yang tak terbingkai. Kesetiaan bukanlah bingkainya, atau bahkan fotonya, akan tetapi itu adalah sesuatu yang ada diantara semuanya. Dan kau tak akan bisa menebaknya sampai kapanpun. Dan kau tak akan mengerti bahwa dalam hati, ia hanya bisa menyebut namanya berulangkali. Bahkan bisa jadi, apa yang ia genggam saat ini bukanlah apa yang ia fasihkan dalam hati. Bahkan bisa jadi, nama-nama peneduhnya kini hanyalah bagian dari pesta yang mengaburkan perasaannya akan sakit dan nyeri.
   
    Dialah sang pemain yang hanya bermain dalam lingkaran yang tak bisa ia sentuh sedalam kerinduannya akan apa yang tak bisa ia katakan sekali lagi. Dialah sang pemain yang hanya bermain dengan nama-nama yang pada akhirnya hanya satu nama yang mampu dia eja tanpa harus bersandiwara.

    Dan kesetiaan ada di balik kartu namanya yang penuh dengan gelora. Dan kesetiaan bersikukuh tinggal diantara hingar bingar kasihnya yang tumpah ruah. Dan kesetiaan tumbuh pada abjad-abjad yang kau satukan tanpa terpecah.
Jadilah ia sang pemain paling setia diantara taburan bunga-bunga yang mengelilingi. Jadilah ia sang pemain yang kini bermain dalam imaji yang kerap kali menyakiti. Jadilah ia sang pemain, benar-benar pemain yang kemudian dipermainkan.    
    “Itu adil?"
Kerdil!

Sunday, September 23, 2018

SENYAP



Dia berpamitan pada mimpi dini hari.
Senyap..
Dan setelahnya, pintu tak pernah terbuka lagi.
Suaranya hilang dan aku mencarinya di mana-mana..

Lambat laun, pilu datang bergantian..
Memanen rindu, memupuk kenangan.

Dia pun hilang..
Dan darah berceceran.

Dia pamit di depan rumah tempatku menyesap sepi.

Dan tak ada lagi si belang yang duduk di sana setiap pagi.
Tak ada yang berbaring atau meronta-ronta meminta sesuap nasi.
Ah, bukan nasi memang!
Tapi hidangan mewah yang orang katakan itu tak perlu..

Kenapa?
Kenapa mereka memangku sibelang berbulu tebal, tapi menyiram sibelang jalanan yang liar?

Dan sibelang lalu tampak begitu sehat.
Gemuk, bersih dan terawat.
Hingga ban motor menggilasnya,
Tanpa permisi dan kata maaf.

Dan diapun pergi!
Sedang aku tak melihatnya..
Lalu sakit terasa di mana-mana!

Sakit pada pagi, di depan pintu tempat dia meronta-ronta.
Nyeri di atas teras tempat tubuhnya terbaring lelah.

19!
Dan pada tanggal itu, angka-angka bergandengan menyulam sepi.
Seperti pada tanggal yang sama, luka-luka tergenapi menyimpan sisa mimpi.

Sampai jumpa pada hari lain yang tak bisa kutemui lagi!

“Jeremy Teti”
Begitu panggil ibuku!

Dulu kau memang pecinta sesama jantan, tapi kemarin kau membawa seekor betina baru ke rumahku!

Dan aku ingin memanggilmu “Senyap” kali ini!
Seperti senyap pada dini hari di mana kau berpamitan tanpa kata-kata perpisahan.

Selamat tinggal!
Aku menuliskanmu di pikiran.
Menyimpan potretmu yang lupa aku rekam.
Belang abu-abu!
Begitu corakmu kata rindu.
Aku pilu!

***
(Sambil mendengarkan Ost Heart "Kehilangan")


Friday, September 14, 2018

SEPTEMBER




Menengadahlah ke atas langit dan lihat bulan September menjatuhkan angka-angkanya lebih cepat dari kura-kura yang tengah berlari dari ketakutannya akan sepi.
Satu persatu angka jatuh, hingga kau akan sampai pada logika yang memberitahumu bahwa apa yang kau genapi kini hanyalah sisa-sisa dari puing waktu masalalu.
Diam ditempatmu dan ratapi apa yang kau bisa. Tak usah kemana-mana, hingga kursi roda dan uban menceritakan bahwa banyak sekali detik dan jam yang kau tinggalkan di balik kesedihan.
Kau termangu, sedang mereka bergerak maju. Fisikmu bergerak dan berpindah-pindah, bahkan kau mampu menyihir jutaan mata dengan apa kau keluarkan dalam kepala, namun masih ada satu yang kau tanam di sana tanpa siapa-siapa, tanpa peduli akan pergerakan waktu, tanpa mengerti tentang siapa yang kau tunggu.

    Kau adalah aku. Dan aku adalah logika yang tengah mengomentari tentang apa itu rasa. Seperti pada kopi hitam yang terasa pahit, aku selalu ingin menambahkannya gula, bahkan susu agar terasa gurih, sedang kau masih saja menikmati hitamnya dalam rasa pahit dan tak ingin menambahkan apa-apa.
Nikmati saja sakitnya hingga waktu memberikan jarak dan mengisolasimu pada ruang hampa dimana tak ada putaran dan keseimbangan.

    Rasa tak pernah menua, bahkan dia masih mengira saat ini masih berada di tahun yang sama, meskipun kalender bersikeras membantahnya, namun rasa tak pernah kemana-mana, tak beranjak dari tempatnya.

    Dan September datang lagi, menyisakan pergumulan antara rasa dan logika. Antara kau dan aku yang sejatinya adalah satu.
Logika tengah berkata bahwa kenangan tak lebih dari anak tangga yang harus di lewatkan. Satu persatu yang kau lewati ujungnya akan mengantarkanmu pada titik teratas hingga kau bisa melihat apa itu masa depan. Titik teratas di mana mata bisa menatap langit biru, awan- awan putih dan burung yang berterbangan.
Sedang rasa masih ingin berada di tempatnya. Dia berdalih bahwa ujung dari segala sesuatu akan berakhir di bawah, bukan di atas. Seperti ketika matamu terpikat dengan apa yang kau lihat, maka yang berdebar adalah dadamu, bukan kepalamu. Seperti ketika memulai anak tangga pertama, kau memang akan mendaki ke atas, tapi itu bukanlah ujungnya. Karena ujung dari pendakianmu berada jauh di bawah, di dalam tanah, itulah kematian.

    Siapkan waktumu kali ini. Hentikan putaran jarum jamnya. Aku ingin berkata tanpa tergesa-gesa. Aku ingin menelanjangimu tanpa rasa malu. Aku ingin mesra dengan gelora-gelora, tanpa kata dosa.

    Temui aku pada September yang telah fasih mengeja kata rindu. Jangan biarkan siluet malam mengikatmu pada keraguan antara kembali atau pergi. Tinggalkan hitamnya dan kembalilah. Namamu masih rindu, masih biru.
   




Sunday, September 9, 2018

DELIMA





Pada kenangan yang merah menyala dan berbisik-bisik mesra, rasa bergumam memunguti satu persatu senyuman yang tertinggal di belakang.
Masih berseri, wanginya membekas pada rindu yang mengepul disepanjang jalan masalalu.
Kenapa begini?
Jejak-jejak yang tertinggal kini meminta ditengok lagi, ditapaki, diingat-ingat kembali.
Bergetar, menggebu-gebu.
Wajahnya bersinar di depan layar.
Merahnya melengkung menandai hati.
Oh, rasanya bulan ibarat permen asmara,
Dan langit adalah kapas gula-gula.
Semanis ini, mengingat yang menyengat dalam waktu.
Meretas dan bergulir ibarat rindu.
Apa kabarmu?
Apa kabar kenangan yang tak termaafkan?
Apa kabar gincu yang menguning tanpa si merah itu?
Apa kabarmu?
Apa kabar anak-anak malam yang kau sembunyikan tadi pagi?
Maafkan aku menyimpannya.
Dan meneduhkannya di bawah payung rindu.
Elok senyum itu, dan wangimu menari-nari seperti diksi puisi.
Ah, lagi-lagi aku seperti ini!
Ada yang kembali, berkali-kali!
Hati...

Friday, September 7, 2018

DAILY ACTIVITY 5

With Lilih, anaknya dan Bu Linda

With Pendeta, Bu Linda dan Bu Lia


1-2 September 2018
   
    Panas, itu satu kata yang bisa menggambarkan Kota Subang. Berangkat berdua dengan Bu Linda, kita yang mulanya akan bertemu Ibu Lia untuk persentasi asuransi kepada teman-temannya di Cicagak, akhirnya harus meneruskan perjalanan hingga ke Binong (lebih jauh dari Subang dan mendekati Pamanukan).
Karena Bu Lia tidak bisa dihubungi, aku kemudian meminta nomor teman lama kepada T Devi, yaitu Lilih. Beruntung, Lilih sedang berada di rumah, di Binong, sehingga aku dan Bu Linda menginap di sana.
Sesampainya di sana, kita diterima dengan hangat oleh Lilih. Ini pertemuan pertama setelah aku keluar dari perusahaan lama. Lilih bercerita banyak hal, terutama tentang T Devi. Dia bahkan bercerita bahwa T Devi sempat dirawat di rumah sakit. Mendengar hal itu, aku langsung mengatakan kalau aku tahu dan aku nengok juga dua kali ke RS. Lilih tidak tahu kalau aku masih berkomunikasi dengan T Devi.

    Malam harinya, Bu Lia baru memberi kabar dan memintaku persentasi pada jemaat Gereja keesokan harinya. Dan besoknya kita berpamitan kepada Lilih dan keluarganya yang saat itu sedang mempersiapkan resepsi pernikahan.
Aku dan Bu Linda menunggu bubaran jemaat Gereja di depan kantor pos hingga pukul 12.00. Dan ketika adzan dzuhur, kita mencari masjid terlebih dahulu dan shalat berjamaah di sana.
Selesai shalat, aku melihat panggilan tak terjawab dari Bu Lia, dan dia mengatakan bahwa jemaat Gereja sudah menunggu daritadi.
Aku dan Bu Linda bergegas menuju Gereja, namun belum beruntung, jemaat Gereja sudah  bubar dan aku kemudian diajak ke ruangan pendeta bersama Ibu Lia dan persentasi di sana. Pak Pendeta mau menjadi agen dan nanti beliau yang persentasi kepada 100 orang jemaatnya, lalu beliau juga mau mengasuransikan siswa-siswa di sekolah kristen yang dia pimpin.
Selesai persentasi, aku pulang ke Bandung dengan perasaan lega karena Bu Lia dan Pak Pendeta menjadi agen.




3 September 2018
    Meeting di Kantor asuransi. Dan seperti biasa, selesai meeting, ada kelas MDRT (Kelas berbayar yang pertemuannya hanya satu kali dalam sebulan). Kali ini aku lupa tentang jadwal kelas MDRT dan aku terlanjur menyetujui untuk hadir meeting di rumah Ibu Kapolda pada pukul 11.00. Alhasil aku tidak mengikuti kelas MDRT dan datang meeting di rumah Ibu Kapolda.
Dalam meeting kali ini, setelah peserta lainnya pulang dan tinggalah kita bertiga, aku mulai membahas asuransi. Ibu Kapolda lalu meminta aku membuatkan ilustrasi untuk ketiga orang anaknya. Alhamdulilah ternyata silaturahmi selalu menghasilkan sesuatu yang positif.


Bu Linda,  saya dan T Devi



4-5 September 2018

    Aku memenuhi undangan T Devi untuk menghadiri acara di Jakarta. Ini kali pertama lagi aku menghadiri acara dengan T Devi setelah sekian lama karena kita sudah berada di perusahaan yang berbeda.
Aku senang bukan main melihat T Devi sudah terlihat sehat dan bisa beraktivitas lagi.
Sesampainya di Jakarta, kita menginap di Apartemen. Ada dua unit apartemen untuk rombongan Bandung.

    Selesai menyimpan barang di apartemen, kita menuju tempat acara di Jakarta Selatan. Dari acara ini, ada seorang pengusaha chinese yang tertarik dengan susu kedelai yang aku buat (karena dicampur terong ungu dan air RO). Beliau bahkan menyediakan tempat di Bintaro agar aku bisa membuka cabang di sana. Dia banyak memujiku bahkan meminta foto berdua. Dia bilang bahwa aku seumuran anaknya dan dia salut dengan prestasi dan kerja kerasku. Entahlah, aku senang punya teman baru, tapi untuk bisnis, aku masih harus berpikir berkali-kali untuk bekerjasama dengan orang lain, karena pernah dibodohi oleh orang yang lebih tua yang lebih berpengalaman dalam bisnis.

    Selesai acara, kita pulang ke apartemen. Di apartemen pertama, ada aku, Bu Linda, T Devi dan Ibu Nila. Kamar di sini hanya dua dan salah satu kamarnya hanya cukup untuk satu orang. Aku tidak langsung tidur, tapi pamit prospek ke luar bersama Bu Linda, padahal sudah jam 1 dini hari. Kita prospek teman Bu Linda, seorang pengusaha yang tinggal di apartemen Kalibata juga. Kita kemudian berbincang-bincang di salah satu cafe di situ hingga setengah dua.
Selesai prospek, T Devi dan Bu Nila sudah tidur. Aku yang tadinya mau tidur bersama mereka, jadi tidur di kamar sebelah, sedangkan Bu Linda tidur di Sofa, karena Bu Nila ngorok.hehe.

    Sepanjang perjalanan pulang ke Bandung, lagu Benci tapi rindu terus diputar dan teman-teman juga ikut bernyanyi. Dan sejak saat itu aku jadi suka sekali lagu ini.
Intinya hari ini aku sangat senang karena bisa bersama lagi dengan T Devi. Banyak yang aku rindukan karena dia seperti kakakku sendiri, sedangkan sekarang kita sudah tidak berada dalam satu perusahaan yang sama.


6 September 2018

    Hari ini aku menemani agenku prospek. Pa Rahman adalah agen baru, tapi sebenarnya dia sudah sangat senior didunia asuransi. Alhamdulilah, temannya langsung closing dan ini adalah closing pertama bagi Pa Rahman. Semoga bisa menjadi awal yang baik.

    Pulang persentasi, aku masih coaching dengan Pa Rahman, hingga sorenya aku sengaja bertemu dengan T Devi karena ada satu urusan.


7 September 2018
    Acara Grand BOZ di Fave Hotel dan kali ini banyak sekali tamu yang aku undang, yaitu 10 orang dan rata-rata adalah orang penting, diantaranya adalah istri Kapolda, komisaris apartemen, dll. Ka Nisa senang, aku mengundang banyak tamu, tapi seperti biasa, ada yang senang dan ada yang tidak dengan pencapaian kita. Tapi aku bersikap masa bodo kali ini, karena aku malas untuk memikirkan pendapat orang lain, terutama mereka yang iri dengan pencapaian kita.
    Aku pulang jam setengah dua belas dan tidur jam satu dini hari. Sebelum tidur, aku ingat kebaikan T Devi dulu. Kalau tau aku pulang selarut ini, T Devi tidak akan membiarkan aku pulang dan dia pasti menyuruhku menginap dirumahnya.
Aku kangen T Devi kali ini, karena dia adalah salah satu teman yang sangat peduli dan menganggapku seperti adik sendiri.

8 September 2018
    Harusnya aku ke Cibaduyut kali ini, tapi rasanya lelah bukan main. Aku memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu. Mungkin sore harinya aku ke luar rumah, ke tempat fitness dan ke beberapa tempat lainnya. Semoga kesibukkan ini ada dalam ridha-Nya. Aku tidak akan terlalu mengejar hasil, tapi berusaha untuk menikmati prosesnya. Tidak ada ikhtiar yang sia-sia dan hasil tidak akan mengkhianati hasil. Usaha, ikhlas, tawakal, semoga semua berkah. Aamiin.

Sunday, September 2, 2018

PERJALANAN




Kabut melintasi pandang,
Lelah,  lemah..
Apa yang mereka sebut kekalahan adalah serupa bis kota yang berhenti tengah jalan.

Hanyalah batas perhentian antara persinggahan dan tujuan. Karena alamatnya masih menggapai-gapai di atas lintasan kepastian.
Berkelok-kelok, menanjak,  menurun, terjal dan curam.

Hanya sabar dan kehati-hatian yang akan membawa lelahmu pada akhir yang dituju.
Tak usah lurus, tapi ikuti saja alurnya.

Karena Dia tak pernah salah memberi arah!
Jadi bersabarlah!  
Tetap berserah, bukan menyerah..