Dan jadilah dia pemain tangguh yang menaklukan bunga apapun yang dia mau. Mawar, matahari, cempaka, kamboja dan bahkan bunga-bunga lain yang sudah ada pemiliknya.
Bunga-bunga yang menyerahkan dirinya sendiri tanpa diminta.
Dia bersenang-senang, hingga pada satu titik dia kehilangan semuanya. Bunga-bunganya layu karena tak bisa dia sirami satu persatu.
Hilang, namun kemudian mereka datang lagi. Layu, namun pada akhirnya mekar kembali. Dan diantara bunga-bunga itu, bunga matahari adalah bunga paling kuat yang akhirnya kembali setelah dipetik tanpa permisi. Bunga milik orang lain yang kemudian membelah dirinya karena permintaan dari hati. Bunga yang tangguh, namun masih bisa dinikmati keindahannya melalu jiwa yang teduh.
Dan dia pun hidup lagi, seperti permainan yang baru saja dimulai. Pelukannya menandai rindu yang ditinggalkan dimusim semi. Tatapannya mengisyaratkan keinginan untuk tetap mencintai, meski di belakangnya berteriak ikatan lamanya dalam janji suci.
Dan dia, bunga matahari adalah bunga paling setia yang tidak setia. Setia pada jiwa yang hadir setelah ikatan itu melingkar pada jari manisnya dan tak setia pada nama yang tertera dibalik cincin yang dipakainya setiap hari.
Adalah rindu yang menjadi pembuka antara sang pemain dan bunga-bunga di padang asmara. Sedang mentari adalah sutradara yang merekam bagaimana mereka bermain dengan begitu mempesona.
Dan baginya satu memang cukup untuk menikmati wangi bunga setiap pagi, namun seringkali ketakutannya akan sepi bergejolak, hingga ia mengoleksi bunga-bunga lain untuk ia genggam. Jadilah tangannya penuh oleh nama-nama dari bunga. Lalu, mereka bertanya padanya tentang kesetiaan.
“Apa itu setia?”
Dan kesetiaan bukanlah apa yang bisa kau lihat dari matamu atau apa yang bisa kau hitung dengan jemarimu. Kesetiaan bukanlah bagian dari hitungan matematis yang seringkali mengagungkan logikamu. Kesetiaan adalah bagian dari bingkai yang tak terbingkai. Kesetiaan bukanlah bingkainya, atau bahkan fotonya, akan tetapi itu adalah sesuatu yang ada diantara semuanya. Dan kau tak akan bisa menebaknya sampai kapanpun. Dan kau tak akan mengerti bahwa dalam hati, ia hanya bisa menyebut namanya berulangkali. Bahkan bisa jadi, apa yang ia genggam saat ini bukanlah apa yang ia fasihkan dalam hati. Bahkan bisa jadi, nama-nama peneduhnya kini hanyalah bagian dari pesta yang mengaburkan perasaannya akan sakit dan nyeri.
Dialah sang pemain yang hanya bermain dalam lingkaran yang tak bisa ia sentuh sedalam kerinduannya akan apa yang tak bisa ia katakan sekali lagi. Dialah sang pemain yang hanya bermain dengan nama-nama yang pada akhirnya hanya satu nama yang mampu dia eja tanpa harus bersandiwara.
Dan kesetiaan ada di balik kartu namanya yang penuh dengan gelora. Dan kesetiaan bersikukuh tinggal diantara hingar bingar kasihnya yang tumpah ruah. Dan kesetiaan tumbuh pada abjad-abjad yang kau satukan tanpa terpecah.
Jadilah ia sang pemain paling setia diantara taburan bunga-bunga yang mengelilingi. Jadilah ia sang pemain yang kini bermain dalam imaji yang kerap kali menyakiti. Jadilah ia sang pemain, benar-benar pemain yang kemudian dipermainkan.
“Itu adil?"
Kerdil!
No comments:
Post a Comment