Menengadahlah ke atas langit dan lihat bulan September menjatuhkan angka-angkanya lebih cepat dari kura-kura yang tengah berlari dari ketakutannya akan sepi.
Satu persatu angka jatuh, hingga kau akan sampai pada logika yang memberitahumu bahwa apa yang kau genapi kini hanyalah sisa-sisa dari puing waktu masalalu.
Diam ditempatmu dan ratapi apa yang kau bisa. Tak usah kemana-mana, hingga kursi roda dan uban menceritakan bahwa banyak sekali detik dan jam yang kau tinggalkan di balik kesedihan.
Kau termangu, sedang mereka bergerak maju. Fisikmu bergerak dan berpindah-pindah, bahkan kau mampu menyihir jutaan mata dengan apa kau keluarkan dalam kepala, namun masih ada satu yang kau tanam di sana tanpa siapa-siapa, tanpa peduli akan pergerakan waktu, tanpa mengerti tentang siapa yang kau tunggu.
Kau adalah aku. Dan aku adalah logika yang tengah mengomentari tentang apa itu rasa. Seperti pada kopi hitam yang terasa pahit, aku selalu ingin menambahkannya gula, bahkan susu agar terasa gurih, sedang kau masih saja menikmati hitamnya dalam rasa pahit dan tak ingin menambahkan apa-apa.
Nikmati saja sakitnya hingga waktu memberikan jarak dan mengisolasimu pada ruang hampa dimana tak ada putaran dan keseimbangan.
Rasa tak pernah menua, bahkan dia masih mengira saat ini masih berada di tahun yang sama, meskipun kalender bersikeras membantahnya, namun rasa tak pernah kemana-mana, tak beranjak dari tempatnya.
Dan September datang lagi, menyisakan pergumulan antara rasa dan logika. Antara kau dan aku yang sejatinya adalah satu.
Logika tengah berkata bahwa kenangan tak lebih dari anak tangga yang harus di lewatkan. Satu persatu yang kau lewati ujungnya akan mengantarkanmu pada titik teratas hingga kau bisa melihat apa itu masa depan. Titik teratas di mana mata bisa menatap langit biru, awan- awan putih dan burung yang berterbangan.
Sedang rasa masih ingin berada di tempatnya. Dia berdalih bahwa ujung dari segala sesuatu akan berakhir di bawah, bukan di atas. Seperti ketika matamu terpikat dengan apa yang kau lihat, maka yang berdebar adalah dadamu, bukan kepalamu. Seperti ketika memulai anak tangga pertama, kau memang akan mendaki ke atas, tapi itu bukanlah ujungnya. Karena ujung dari pendakianmu berada jauh di bawah, di dalam tanah, itulah kematian.
Siapkan waktumu kali ini. Hentikan putaran jarum jamnya. Aku ingin berkata tanpa tergesa-gesa. Aku ingin menelanjangimu tanpa rasa malu. Aku ingin mesra dengan gelora-gelora, tanpa kata dosa.
Temui aku pada September yang telah fasih mengeja kata rindu. Jangan biarkan siluet malam mengikatmu pada keraguan antara kembali atau pergi. Tinggalkan hitamnya dan kembalilah. Namamu masih rindu, masih biru.
No comments:
Post a Comment