Monday, October 29, 2018

TIGA SURAT SUARA



DEBAR
   
    Resah mengalir pada goresan yang menari di atas kertas. Matanya bercerita lebih banyak dari diam yang bersikukuh termangu menghitung waktu. Bawa aku pulang untuk membuka pintuku lebar-lebar. Kau harus tahu, kau perlu melihat. Ada resah menggantung di sudut pikir itu.

    Debar bersikukuh mengatasnamakan rindu, sedang kau masih berbisik-bisik menggarisbawahi tanda tanya yang meretas di balik senyum ayu.
Andai debar ini mampu bersenandung diantara jarum waktu, atau melipat rasa malu di depan simpul senyum kupu-kupu. Ajak aku berteriak seperti goresanmu yang timbul dipelupuk mata. Terlihat, teraba dan mampu digenapi oleh rasa.

    Sepertinya ada yang mengendap di balik debar-debar malam. Matamu ibarat siluet yang menerangi payung senja. Berbinar dan binar-binar itu menciptakan sejumput rahasia yang aku ucapkan tanpa kata-kata.

Suaranya adalah gema, sedang senyumnya ibarat gempa yang mengubur kesedihan. Bicara, hatiku tengah berbicara lebih nyaring dari tawa renyahmu di ujung pualam waktu.

    Benih-benih baru saja tumbuh dan kau bisa dengan mudah melihatnya. Tatap mataku dan aku akan bercerita lebih banyak dari sekedar rasa yang malu-malu.
Bening, hening dan aku tak bisa berkata-kata. Barangkali kau tahu tanpa harus aku beritahu.

Ini rahasiaku..
Rahasia yang aku pajang dipelupuk mata rindu
Ada namamu terselip diantara kata-kata rahasia yang tengah dirahasiakan.

Rindu itu..
Dan debar yang baru saja tumbuh
Adalah namamu..
Adalah hingar bingar yang tak bisa aku putar
Rindu, debaran dan sejumput kebahagiaan..
Lihat saja!
Coba katakan..
Rahasia!

(RSHS, 23 Oktober 2018)

Rembulan menetas di atas jaring laba-laba
Sunyi..
Ibarat gemerlap yang tengah menyenandungkan tarian musim semi.
Burung berkicau dan ranting-ranting tak berkenan untuk patah lagi

    Ada yang jatuh..
Bola pijar yang menjalar memenuhi rongga dada.
Penuh, pelik, bercahaya..
Namanya ada dimana-mana.

    Namanya bergerilya pada keruh nafas yang tengah mengembara.
Malamku hilang dibatas bayang-bayang.
Wajahnya bermukim disepanjang jalan waktu.

    Dan kaupun hadir dimana-mana.
Terlukis dimata, terngiang ditelinga, mengendap dikepala dan bersemayan dihati.
Ada apa?
Kenapa begini?
Apakah ini?

Kepalaku berputar..
Dan sekali lagi, wajahmu terlihat dimana-mana.
   
    Oh pagi, selimuti saja mentari yang tengah mengintip di balik bilik duri.
Ada yang tengah bernyanyi.
Ada yang sedang berkelana.

    Senyumnya adalah nafas yang aku hirup dalam-dalam.
Dia menawanku dalam etalase kerinduan.
Mendekapku malu-malu tanpa ada satupun kata-kata.

    Sayang, malamku kini serupa candu.
Dan pagi ibarat gejolak-gejolak lain dari rindu.
Tangkap resahku!
Sembunyikan gelisahmu!
Hangatkan rasaku hingga menetas menjadi rasa lain dihatimu.

    Apa kabar?
Dan pagi kerap menanyakanmu berkali-kali
Seperti saat ini.
Kini..

(Soekarno Hatta, 24 Oktober 2018)

    Dalam rengkuhan hujan, senja bercengkrama menangkap gaduh yang bersembunyi memeluk sunyi.
Daun-daun basah dan tanah bersorak-sorai diterpa dingin hati yang mengembun di parit jendela malam.
Redup..
Dan teduh matanya memayungi semburat cahaya kupu-kupu yang menggelitik di dalam perut.

Diamnya menengadahkan rasa yang menggapai-gapai ke atas pusara langit.
Buncahan-buncahan itu mencuat, berhamburan, bermekaran..
Dia menari-nari diantara nyanyian pelangi yang bersemi.
Indah..
Adalah sayup-sayup yang jatuh berguguran melintasi senyap rindu, perdu..

    Akar-akar berkelana dan redup memekik, menahan luapan-luapan yang hanyut di atas linangan persembunyian.
Matanya, bibirnya dan kulitnya menghipnotis adrenalin yang berpacu menghitung gerimis hujan.

    Senja menyaksikan dan hati memberi kesaksian. Di balik rinai rimbun suara yang tengah bersenandung,  jantungku berdebar-debar seakan tengah memberi tahu.
Debarannya menggelapar dan darahnya mendidih seakan ingin kau dinginkan.

    Ini suaraku. Sunyi yang kau lukis diantara jerami yang ingin digenapi.
Jadilah merona..
Dan basah mengalir dimana-mana.
Memandangi segaris matamu yang rindu, ayu..
Dan degup di dada semakin menggebu-gebu.

Jadilah pelabuhan hatiku, hai dermaga yang kini tengah jatuh cinta!
Kita berjalan menyemai hujan dan hujan menyematkan sunyinya diperaduan.
Aku ingin menuliskanmu di persimpangan jalan penantian.
Jadilah buritan!
Harapan..

(TAHURA, 25 Oktober 2018)


No comments:

Post a Comment