Semalam airmata jatuh lagi tanpa alasan yang jelas. Hingga pukul 00.00, mataku masih belum bisa terpejam, padahal fisik sudah sangat lelah. Kesedihan berawal ketika aku membagikan foto masa kecilku di status whatsapp dan banyak yang menyukainya, termasuk salah satu temanku. Dia yang baru saja berduka karena ibunya meninggal dunia, kemudian memberikan komentarnya tentang masa kecil. Dia ingin kembali ke masalalu, karena menurutnya masa kecil sangat indah meskipun secara materi, dia tidak berkecukupan seperti sekarang. Aku juga mengiyakan pendapatnya, hingga kemudian jadilah kita chatting panjang lebar tentang masa lalu dan baper bersama.
Menjelang tidur, hatiku malah makin tersayat, terlebih lagi ketika mengulang-ulang ingatan menyakitkan yang pernah aku alami, entah ketika mencintai, ketika ditinggalkan, atau bahkan ketika dikhianati. Entah kenapa malam tadi aku menjadi sangat cengeng dan begitu mengasihani diri sendiri. Aku merasa kasih sayang begitu teramat jauh dariku. Yang aku bicarakan dengan relasiku hanya seputar bisnis, dan tidak pernah ada hal lain selain masalah pekerjaan. Hatiku sudah mendingin dan kenyang oleh kekecewaan.
Aku pernah memotivasi diri untuk terus bahagia dan tidak mengingat-ingat hal yang menyedihkan lagi, akan tetapi sebagai seorang perempuan yang dominan dengan otak kanan, aku tidak begitu bisa memanage perasaanku sendiri.
Ada banyak benang kusut di dalam kepala yang kemudian jatuh pada hati dan melukainya berkali-kali. Ada banyak ingatan mengendap di sana, tentang perhatian dan kasih sayang yang jarang sekali bisa aku rasakan walau sesaat.
Aku pernah dicintai dan mencintai. Aku pernah meninggalkan dan ditinggalkan. Hidup memang selalu tentang keseimbangan, keadilan. Tidak pernah ada yang salah dengan apa yang pernah terjadi, karena yang salah ada dalam diriku. Tentang bagaimana aku bereaksi terhadap sebuah kejadian. Disanalah letak pembeda satu orang dengan yang lainnya, yaitu tentang “respon” mereka.
Pelarian kesedihanku adalah dengan mengkhayal, lalu aku membuat lagu, tulisan atau lukisan, tidak ada yang lain. Aku tidak suka bercerita kepada orang lain tentang kesedihan. Biar saja mereka menganggap kalau aku selalu bahagia, karena dengan begitu aku juga tidak akan terlalu merasa iba dengan diri sendiri.
Aku ingin bisa terlahir kembali dengan perasaan bahagia yang belum sempat aku cecap dimasa dulu. Masa kecil seperti anak-anak pada umumnya yang kerap bermanja-manja kepada orang tua, bukan masa kecil yang kaku dan sangat dingin. Ya, aku merasa keluargaku (terutama dari ayah) adalah sekumpulan orang-orang yang tidak bisa memberikan perhatian secara langsung. Ayah, kakek, dan semuanya aku lihat kaku dan dingin, sehingga kini aku juga menjadi pribadi yang seperti itu.
Betapa tidak terbiasanya aku ketika dulu sahabatku menyuapiku, aku merasa risih, namun aku merasa diperhatikan. Ketika dia memeluk saat aku sedih, aku merasa itu adalah pelukan yang baru saja aku rasakan saat aku dewasa. Ketika dia memegang tangan saat aku tidur hingga aku terbangun dengan tujuan agar aku kuat dan tidak merasa sendirian, aku merasa menjadi lebih bersemangat dalam menjalani hari-hari tersulitku. Sejak itulah, aku baru tahu rasanya diperhatikan dan diberikan kasih sayang langsung (maksudnya ada interaksi fisik dalam memperhatikan, tidak seperti keluargaku yang kaku dan dingin). Sahabatku saat kuliah itulah orang pertama yang membuatku mengerti betapa bahagianya diperhatikan. Hingga aku kehilangan dia, aku kemudian sadar bahwa jarang ada orang yang setulus itu.
Akhir-akhir ini aku sering memimpikan dia. Aku masih ingat, saat dikosan bersama teman-teman lain, dia menyuapiku, meskipun mulanya aku tidak terbiasa, tapi aku bahagia. Dia adalah anak bungsu dan tidak memiliki adik. Usia dia dan aku beda satu tahun. Dia lebih tua dariku, sehingga dia menganggap aku sebagai adiknya.
Saat ulang tahunku yang ke dua puluh, aku memberikan potongan kue pertamaku kepadanya (saat merayakannya di panti asuhan bersama teman-teman kampus), padahal saat itu juga ada laki-laki yang memang tengah menyukaiku dan memberikan kejutan ulang tahun itu, tapi aku lebih menyayangi sahabatku. Sahabatku seakan memberikan sesuatu yang tidak aku dapatkan dimasa kecil.
Aku kehilangan diriku saat dia kemudian menghilang. Aku seakan tidak menjadi diriku sendiri sejak tahun 2010 hingga sekarang. Aku yang periang, sering tertawa dan membuat lelucon, kemudian lenyap tanpa sisa. Aku melanjutkan hari-hari selanjutnya dengan bekal rasa sakit. Perhatian dan kasih sayang yang tulus yang baru saja aku rasakan ternyata tidak bisa bertahan lama. Aku menjadi sakau oleh perhatian, hingga sejak saat itu aku menjadi pemburu kasih sayang dan harus membayar mahal dari apa yang aku mau itu.
Sudah sepuluh tahun rupanya dan aku hampir lupa dengan diriku yang periang saat menjadi sahabatnya. Betapa bahagianya saat tawa datang setiap hari. Saat dia menyuapiku, saat kita bermain kartu bersama-sama dan yang kalah, wajahnya akan diolesi bedak dingin, saat dia memeluk dan menguatkanku yang tengah bersedih karena ayahku, saat pelukannya membuatku tenang dan senyumnya membuatku bisa bertahan dalam situasi tersulit saat itu. Aku benar-benar ingin mendapatkan kembali ketulusan itu saat ini, ketika orang-orang dengan sangat egois mementingkan diri dan kebahagiaannya sendiri.
Bolehkah pagi ini aku meminjam kembali kebahagiaan? Hal yang sudah 10 tahun ini menjadi sebuah kekosongan dalam hidup. Bolehkah aku bertemu dengan orang-orang yang ada kata “tulus” dalam hatinya dan bukan “pemanfaatan”?. Bolehkah aku menggadaikan airmata untuk sebuah senyum dan tawa? Bolehkah karakter sanguin ku kembali dan menukarnya dengan sifat melankolis yang kini betah diam bersemayam?
Bolehkah aku bahagia, Tuhan? Jika boleh, maka kirimkanlah kebahagiaan yang benar-benar bisa membuatku bahagia tanpa airmata.
(Sambil mendengarkan lagu I'll Never Again-Lady Gaga & Jealous-Labrinth)
https://www.youtube.com/watch?v=I5l85r30c6Mhttps://www.youtube.com/watch?v=w0bXkWOgssE
No comments:
Post a Comment