Monday, May 25, 2020

Noktah Senja



   

    Kepada senja ditahun ke delapan, aku ingin bercerita tentang rintihan hati yang meleburkan dirinya kepada bias-bias kasih sayang semu. Kepada mereka, siluet kebahagiaan yang tak bisa bergerak di bawah cahaya pagi. Kepada tangan-tangan yang tak sanggup menggapai ketika hidup telah luput oleh genangan airmata.


    Kepada surat-surat yang tak pernah sampai. Kepada kado-kado ulang tahun yang tak pernah satupun aku terima. Dan kepada kesedihan yang paling setia ada hingga babak dimana langit tak bisa lagi membendung ceritanya. Aku kemudian tahu, bagaimana cara mereka menilai keberadaanku. Aku lalu sadar, sejauh mana aku diharapkan untuk menggenapi apa itu kebahagaiaan. Aku mengerti bahwa aku hanyalah bentuk lain dari materi yang kerap dirindukan ketika nilainya terbentuk melebihi ekspektasi.


    Kau tahu rasanya menjadi kubangan airmata dipuncak musim kemarau? Kau tahu rasanya gugur diantara musim semi? Kau tahu rasanya menjadi bayangan ketika satu persatu manusia berjalan bergandegan? Kau tahu apa itu cadangan? Fatamorgana yang kau lihat nyata, namun ternyata rekayasa.


    Malam mungkin telah bosan menjadi tempatku merintih dalam kesakitan. Pagi mungkin tak mau lagi kembali, ketika aku masih terlelap tidur di bawah sinar matahari. Jam-jamku menjadi kacau oleh dentuman pengabaian. Aku lelah oleh drama yang mereka katakan bahagia. Aku tak bisa mengenali satupun rasa yang mereka tuangkan di atas buku hitung-hitungan matematika.


    Aku ingin beranjak dari kerumunan manusia-manusia bertopeng ketulusan. Aku ingin pergi dari lalu lalang hati yang kerap menyakiti tanpa mau mengasihi.

Kau tahu? Aku bukan ilalang dan rumput liar yang bisa berdiri tegak setelah diinjak berkali-kali. Aku bukan bunga teratai yang kerap kering meski dibasahi berulangkali. Kisahku bukan komedi yang bisa ditertawakan oleh bidadari-bidadari pengerat materi. Ceritaku bukan simfoni yang mengalun lembut di atas lautan tragedi.


    Tuhan, apa itu keadilan yang sejati? Apa yang kau maksud dengan hukum tabur tuai selama ini? Kenapa aku tak pernah panen kebahagiaan dari bibit kasih sayang yang telah aku tanam dan sirami? Kenapa selalu lahir iblis-iblis bertopeng malaikat dari uluran tangan yang aku berikan setiap saat? Kenapa mereka menghadiahiku onak dari gandum-gandum yang telah aku buat menjadi roti?


    Senja memaksaku mengerti bahwa aku tak pernah benar-benar dicintai. Waktu memberiku peluru agar aku tahu tahu bahwa tak pernah ada satupun yang merasakan apa itu rindu. Dan harta membuatku membuka mata bahwa mereka tidak pernah memiliki rasa cinta.

No comments:

Post a Comment