Sunday, May 31, 2020

Semut Merah



    Dulu, dia menyukai senja. Matahari terbenam yang luput dari mata-mata yang memandang arti ketiadaan dari jauh. Riak air dan pasang surut gelombang serupa not-not lagu yang dia mainkan pada gitarnya yang kerap bersua akan kerinduan.

Dari jauh, hatinya bercerita akan harapan. Dari deru pasir-pasir yang berbisik, dia berikrar tentang keinginannya memeluk separuh dari purnama malam yang terbenam.


    Dulu, langit masih berwarna biru dan senja masih berwarna jingga. Kiasan-kiasan jamak yang termaktub dibelakang lukisan berdebu rindu. Pada “entah” yang kali ini dia simpan di belakang pintu lemari baju, dia telah melupakanku.


    Dengannya, dia memahat abjad-abjad bertinta emas. Pada “restu” yang tak pernah bisa aku gapai dengan tarian kupu-kupu. Dia berjalan pada alur baru yang dulu dia takuti setengah mati. Dan kini dia tengah menunggu panen kemenangan dari isak tangis bayi yang akan datang sebagai pelengkap kebahagiaan.


    Apa yang kini tersirat di atas senyum itu? Satu gigitan semut merah yang kini membekas dalam resah. Satu babak baru dari akhir yang kini tengah aku mulai.

Aku kira “melepas” adalah kata lain dari “bebas”. Aku kira adanya pilihan-pilihan adalah cara tercepat untuk dapat melupakan. Aku kira banyaknya kupu-kupu adalah cara termudah untuk bisa melupakanmu.


    Kau datang atas nama keheningan. Pada hari yang tak pernah aku rencanakan. Pada titik-titik asing yang membelah kelopak mataku untuk kemudian melihatmu. Kau tahu alur itu. Masa yang kini tak mudah beranjak dari angka-angka di atas kalender baru.

Kau berjalan bergandengan, pada sejarah luka yang mulai terasa semakin menganga. Aku tak pernah mengira bahwa gigitan semut merah akan sesakit ini. Aku tak bisa membayangkan, satu makhluk kecil yang dulu tidak terlihat oleh mata, kini mulai menjadi nestafa.

Kehilangan adalah pengingat dan pemberontak dari hati yang semula terasa baik-baik saja.


    Aku tak ingin lagi berandai-andai pada kalimat pengandaian. Pada kata “hai” dan “apa kabar?” yang kini jauh lebih sulit aku gapai di atas metahari terbit. Cukup sudah aku mengenang rasa sakit sebagai cinderamata dari pesta yang telah membantai rasa bahagia.

Di sini aku memang tengah memeluk banyak kupu-kupu, tapi jauh di dasar samudera masalalu, namamu masih terucap sebagai satu kecupan rindu. 

“Aku mencintaimu!”.

No comments:

Post a Comment