Thursday, August 13, 2015

HUJAN





Aku ingin menamaimu hujan. Meletakanmu pada awan bergemuruh yang hitam. Hingar-bingar kota mungkin cukup untuk membangunkanmu agar segera berlari dan pergi.
Aku mengamati gerakmu jauh dari kesunyian yang tampak rapuh. Diam termangu pada reruntuhan hati yang mulai terbengkalai.
Mungkin berkali-kali aku harus mengingat bagaimana caranya untuk pulang, namun aku masih tersesat pada rasa yang sama. Pada sebuah ruang yang pernah kita tinggali bersama. Pada bahasa-bahasa, pada senyum dan lara yang mungkin hanya aku yang terus mengenangnya.
Sayang, ada hujan dimatamu. Aku begitu pilu, namun bukankah seharusnya begitu? Hujan mungkin bisa mengetuk hatimu, membasahi gersangnya jiwa yang terus menorehkan luka.
Kemarin, tak ada mendung diwajahmu. Kau menari dengannya di bawah sinar rembulan. Memilah dan memilih gemintang yang berkerlap-kelip pada hamparan malam. Tak ada hujan, tak ada kesedihan. Sedang aku masih menunggu detik demi detik yang membunuh waktu. Sesekali terbangun, berharap ada sepatah, dua patah kalimat darimu yang begitu aku harapkan, namun tak pernah ada.
Dan lilin-lilin itu kemudian padam. Lelehannya masih terasa begitu membakar bola mata yang berpijar. Semuanya berlalu, begitu saja. Terlalu biasa.
Sedang untuknya, tepat pada tanggal 25 kau dengannya berpesta. Pada 24 yang membuatnya jamak, kau menghadiahiku onak.
Lara dan luka. Bukankah selalu sama? Setiap tahun pada tanggal yang sama kau bahkan lupa. Kau hadiahi aku dengan janji dan merampasnya lagi tanpa hati. Itu keji.
Sayang, kini hujan menggenangi rumahku. Bukan hanya setetes demi setetes yang singgah, tapi tak terhitung. Apakah kau tau? Ah, mungkin kau masih sibuk mengurusi hujan dimatamu yang baru turun.
Hujan telah memporak porandakan pondasi senyum dan tawa yang aku bangun sejak lama. Aku bahkan tak bisa berenang dan muncul ke permukaan hanya untuk sekedar melihat matahari terbit. Hujan membiarkan aku untuk menelusuri lorong-lorong curam yang tak pernah aku jamah di bawah tanah. Hujan telah mengingatkanku, menyapu sedikit belas kasihan dan menunjukkan padamu bahwa aku bisa melawan.
Sayang, ada hujan dimatamu, tapi maaf, aku tak bisa mengeringkannya, karena aku jauh lebih basah darimu.
Ucapan maaf yang sekedar maaf telah melumpuhkan apa yang aku namakan ketulusan. Mulut dan hatimu berselisih. Kau meminta maaf, tapi untuk kemudian mengusirnya pergi. Keji.
Bilamana hati telah memberimu isyarat, tidaklah berat kau katakan maaf yang tanpa syarat. Tidaklah sulit kau senandungkan maaf, tanpa kata-kata pahit yang meruntuhkan hasratku untuk bangkit.
Sayang, berbaurlah sejenak dengan hening yang tanpa bising. Hayati dan dengar suara-suara nyaring yang pernah membuatku terasing. Pahami, maknai, jangan berlari atau menyuruhku pergi.
Jiwa telah menyuarakan bahasanya lebih halus seperti benang tak tampak pada layang-layang yang tengah terbang.
Kenali sakitku, rasakan nyerinya. Lihatlah, lihat lebih dekat, mendekat.
Kau lihat?
Aku sudah menjadi mayat..

Saturday, August 8, 2015

KARMA


Senja tak akan bisa sekali-kali mengelabuiku. Pun arak-arakan awan putih yang aku lihat detik ini. Amarah dan cemburu adalah dalang yang mengikis sebagian besar bahasa dari hati. Sebuah bola pijar yang sekejap telah menghanguskan apa yang aku pelihara dalam kasih.
Aku telah menuliskanmu pada catatan harianku. Pada buncahan-buncahan bahagia yang pernah aku rasakan kala itu. Aku mempersilahkanmu masuk dan merumah pada sarang jiwa yang tak pernah terjamah. Aku memilihmu, aku menandai sebuah cahaya pada ribuan cahaya yang berkerlap-kelip di semesta. Bahagia, benar-benar bahagia.
Lalu, aku lupa bahwa aku tengah terlupa. Dua dunia yang melenyapkan hasratku untuk berjalan searah, lurus. Aku mengikutimu, mencoba memahami apa yang kau mau. Lantas aku dapat mengetahui apa itu warna, apa itu rasa. Begitu sederhananya, kita berjalan beriringan, kita tuliskan kalimat-kalimat yang kau namakan isyarat.
    Sayang, kenapa secepat ini aku harus terbangun dan membuka mata? Alam menunjukkanku bahwa semusim telah berganti. Bahwa skenario hidup tak akan selamanya seiring dengan apa yang aku mau. Kenapa secepat ini aku sadari bahwa hati akan mudah beralih? Bahwa akar hatimu tak sedalam apa yang aku miliki. Bahwa pertemuanmu dengannya membuat semuanya berubah. Begitu berubah.
Sayang, buka matamu dan lihatlah. Apa saja yang pernah kau ingat tentangku? Apa tak ada sedikitpun hal baik yang bisa kau ingat? Apa moment-moment indah itu sudah usang termakan waktu? Apakah dinginnya malam-malam yang kita lewati dalam kehangatan telah musnah dan tenggelam? Apakah foto-foto yang masih aku simpan tak sedikitpun mengingatkanmu bahwa “cinta” itu pernah ada? Bahwa kini kebencian yang kau lihat hanyalah fatamorgana dari cinta yang tengah dibakar lara.
    Aku tak bisa menerimanya. Tak akan bisa. Dia telah merampas senyumku yang baru merekah. Kau telah meracuniku dengan kebohongan. Kau pergi, menghilang, lalu kemudian datang, padahal aku bukanlah hiburanmu ditengah terik siang. Aku bukan mainanmu atau boneka mati yang tak punya rasa dan asa.
Aku begitu ingin mencabik-cabikmu, meludahinya, dan melemparkan kalian pada ruang hampa yang penuh dilema dan lara. Meski semalam kau katakan bahwa semuanya telah berakhir, dan kau menanyakan padaku apa aku puas? Tidak.
    Apa kau bisa merekatkan kembali hatiku yang retak? Yang beberapa bagian kepingannya hilang entah dimana. Apa kau bisa menghidupkan kembali jasad yang sudah mati? Apa kau kira petir yang menghantammu saat ini sudah sebanding dengan badai yang meluluhlantakkan kehidupanku? Tidak.
Kehidupan telah mengajarkan bahwa ikhlas adalah jawaban terbaik dari segala luka dan nyeri. Namun, ikhlas tak pernah bisa membuatmu berhenti berlari dari gemerlap dan liarnya teka-teki malam. Bahwa “kesempatan” tak pernah menghaluskan pikirmu yang terlanjur beringas. Bahwa sebuah hantaman mungkin akan sedikit membuatmu terkejut, namun seketika itu pula kamu sadar bahwa kamu tengah menjalani hidup. Bahwa dibalik senyum dan tawamu dengannya, ada doa dan permohonanku pada Tuhan. Bahwa hidup tak akan selamanya “baik-baik saja”.
    Apa yang bisa kau mengerti saat ini? Rasa sakit tak cukup untuk membuat bumi berhenti berputar pada porosnya. Airmatamu tak akan mampu mengganti surutnya air di lautan. Luka dan nyerimu tak sedalam jurang yang kau gali untuk menguburku. Semua tak bisa kau samakan dalam keseimbangan. Tak akan bisa.
Tak malukah kau umbar pedih dan lukamu pada mereka? Tak malukah kau membuat dia mencariku untuk menusukkan sebilah belati pembalasan?
Duduk, diam, dan tenanglah sayang. Waktu akan membasuh luka itu. Kau nyeri, pun aku. Kita hanya sedang saling melemparkan api. Namun, aku tak ingin membakarmu, dengan mudah memusnahkanmu. Entah denganmu, atau dengannya.
    Pada garis tepi yang lain, aku membuka ruang usang itu. Ada senyummu, senyumku, senyum kita. Lalu, kosong. Dia yang kau sebut kekekalan cinta telah membuatku lumpuh dan buta. Dia merampas ruang satu-satunya tempat aku merumah. Dia merampas bunga-bunga mekar pada sebagian hari yang harus aku lalui. Dia merampasmu, dan membuatmu berlari pergi.
Dadaku begitu bergejolak, berontak.
Namun, kemarin telah berlalu, pun amarah-amarah yang membuat logikaku musnah. Tuhan lalu mengungkap rahasia-Nya. Kau terluka, pun dia. Karma.  





Kecewa
Bunga Citra Lestari

Sedikit waktu yang kau miliki
Luangkanlah untukku
Harap secepatnya datangi aku
Sekali ini ku mohon padamu
Ada yang ingin ku sampaikan
Sempatkanlah..

Hampa, kesal dan amarah
Seluruhnya ada dibenakku
Tandai seketika
Hati yang tak terbalas
Oleh cintamu..

Ku ingin marah, melampiaskan, tapi ku hanyalah sendiri di sini
Ingin ku tunjukkan pada siapapun yang ada
Bahwa hatiku kecewa..

Sedetik menunggumu di sini, seperti seharian
Berkali ku lihat jam ditangan
Demi membunuh waktu
Tak ku lihat tanda kehadiranmu
Yang meyakiniku
Kau tak datang

Thursday, August 6, 2015

SELINGKUH

   



Bahkan petir saja perlu proses untuk kuat. Keramik-keramik cantik yang sering kau lihat, butuh api untuk kuat. Semua orang tahu, manusia butuh luka untuk kuat. Aku pernah berkali-kali jatuh cinta, sampai jatuh lagi dan jatuh cinta lagi dan jatuh lagi. Pun dirimu di sana, sebelum ataupun sesudah ada kita diantara kau dan aku.
Aroma tubuhmu menyeruak, meninggalkan sisa maaf yang tersudut. Ngilu rasanya, tapi kupikir pasti lebih baik jika kusimpan sendiri. Yang aku pikirkan hanya membuatmu tersenyum dan tertawa pada hari yang kau bilang “terakhir”. Entah aku berhasil atau tidak. Atau kau juga sedang bersembunyi sepertiku?
Hati manusia memang rumit. Isi kepalamu juga rumit. Tidak ada yang perlu dijelaskan, karena ini bukan lagi tentang tanganku dan tanganmu. Mungkin rasa rinduku pada-Nya, sehingga Dia memanggilku lebih nyaring dari suara hatiku sendiri.
Hidup memang permainan. Bukan tentang si jago dan si pintar, tapi tentang siapa yang lebih mengerti bahwa banyak hal yang tak bisa dimengerti. Namun, hati bukanlah tempat bermain, kau tau itu.
Karena jatuh cinta tidak sebercanda itu. Karena memilihmu tidak seperti memilih pakaian ditoko. Karena menyayangimu adalah kelemahanku.
Sayang, aku minta maaf. Aku tau ini berat untuk kita. Kita sama-sama kehilangan. Tapi aku telah memilih. Seperti yang kau bilang disuratmu. Jaga dirimu baik-baik. Cintai dirimu seperti kau mencintaiku. Aku bahagia sekali hari ini. Terimakasih

Senja, 16 November 2014

    Itu suratmu. Surat yang masih bertengger pada barisan pertama di emailku. Jingga, begitu aku menamakannya. Dia tidak begitu menarik. Wajahnya biasa saja. Otaknya pas-pasan dan hal-hal lainnya yang mungkin hanya orang yang sedang jatuh cinta saja yang mempertahankan, merebut kembali, lalu mengejarnya. terkesiap berlari, membabi buta.
Namanya Jingga. Dia tidak indah. Dia adalah parasit paling cerdik yang bisa menarik siapapun ke pusaranya. Menjebak bunga-bunga tak berakar untuk memberikan energi padanya, memeliharanya, membiarkan dia tumbuh, hingga kau lupa bahwa kau telah melukai dirimu sendiri, layu, mengering, mati dan terhempas angin.
Jingga, suratmu hanya sebatas surat isapan jempol kaki. Bukankah setelah itu lalu kau datang lagi, mendaratkan harapan-harapan tanpa perisai hati. Mencoba memupuk kembali rasa yang telah aku tenggelamkan pada bejana-bejana tanpa nampan. Namun, sepertinya kau selalu bersiap. Menghisap deretan magnet-magnet kecil yang bisa membuatmu semakin kokoh dan kau mencampakan bunga-bunga layu dan kering yang tak bisa lagi kau ambil saripatinya.
    Jingga, hati bukanlah tempat bermain. Bukankah itu yang pernah kau ucapakan?? Namun, kau selalu melumat ludahmu sendiri. Menjilatnya berkali-kali, hingga kau lupa bahwa ada hati yang kau lukai dengan lincahnya. Bahwa ada airmata yang terus bergerimis tatkala kau menghunus dia tanpa kata-kata.
Dini hari yang tak akan pernah terlupa, ketika jari-jari-Nya bekerja. Dia menunjukkanku. Dia memperlihatkannya. Dia menampakkan padaku tentang pengkhianatan, tentang pemanfaatan.
Bukankah baru kemarin kita kembali merajut asa?? Bulan April dan Mei tepat ditahun ini, kita bercengkrama dalam senyuman. Kita bersama-sama melepas rindu, berpetualang. Lalu setelahnya?? Kau menghilang..
    Jingga, adalah benar dia sempurna. Adalah benar dia yang kau sebut “kekekalan cinta”. Dan adalah benar bahwa kau bisa lebih banyak mendapatkan manfaat darinya. 3 tahun bagimu bisa begitu saja berlalu dan bulan-bulan seumur jagung dengannya dengan mudah menghipnotismu. Baiklah, kau bisa menyetirnya sekarang. Dia tengah terbuai.
Lalu, sesaat aku lupa diri dan aku beringas menghantammu. Aku kobarkan marah yang tengah berapi-api. Aku ledakkan. Doa, airmata, sakit hati dan dendam yang terkesiap memicu diri membuatku tak mengenali di mana ujung nyeri.
Ingin aku menjejalimu, mendudukanmu pada kursi ingatan yang kita letakkan pada memoar lama yang tersimpan. Aku begitu marah, teramat marah, hingga aku tak bisa merasakan panasnya sengatan mentari dan panasnya api pada tungku perapian. Aku tengah menjelma, pada rupa merah menyala, pada binar-binar mata yang kelak bisa memenjarakanmu pada penjara karma.
    Benar katanya, pun kata mereka. Kau adalah jalang, pecundang hati tanpa harga diri. Kau adalah malaikat, tapi sebatas topengnya saja. Kau adalah penyihir. Kaulah bunglon, sang hedonis yang berjalan tanpa kaki, tanpa jati diri.
Ingin sekali aku berandai-andai, membuatmu pincang dan membiarkan matamu buta. Bukankah dengan begitu kau tau apa arti ketidakberdayaan. Apalagi yang bisa kau perbuat jika kau lumpuh dan buta?? Masihkah kau akan bermain?? Tertawa-tawa dalam airmata oranglain.
    Jingga, kali ini kau menang. Tapi bukan berarti aku kalah. Diamku adalah permohonan, sedihku adalah peringatan dan marahku anggaplah itu setan. Namun, hari ini Dia mengetuk hatiku, membuka pintunya lebar-lebar dan memelukku. Dia tersenyum. Aku menangis sejadinya, Dia menghiburku, Dia memanjakanku dan Dia berkata, “Aku bersamamu, kau tak sendirian!”
Dia itu teman, Dia kekasih yang penuh ketulusan, Dialah Tuhan.

( 1 Agustus, dini hari yang panjang)

CEMBURU





Adalah aku, bagian dari gelap malam yang kini terjaga. Mencoba bermain pada sisi lain di tepian logika
Siapa dia???
Pada batas pemisah antara nalar dan amarah, aku bertanya..
Namun, dinding tak bisa menjawab, pun atap-atap kamar yang tetap bungkam, diam..
Lalu, mata terpejam, tapi geram
Ada sebongkah lara yang terlanjur menggurita,
Lara bak bola api yang berpijar menyala-nyala..
Namun panas bak kobaran mentari di lintasan semesta

Adalah aku, tempatmu bermain dadu..
Berspekulasi dengan angka-angka untuk menebak cinta
Sedang kau adalah hedonis kota, penjarah kerdil-kerdil dungu penikmat asmara..
Hey, akulah penikmat dan pengamat tarianmu di balik layar,
Liar dan binal kau masih berkelakar..
Meliuk-liuk pada catatan biru bertinta nafsu,

Hey, kau betah di sana???
Ya di sana..
Ah, tapi kenapa dengannya???
Dengannya kenapa???
Siapa dia???
Dia siapa???
Ah gila...
Lagi-lagi apinya menyala
Meletup-letup,
Tiba-tiba
(30 Juli 2015)

Bahasa Merah Jingga

 



Sejauh ini angin berbicara pada waktu. Mengibaskan kabut salju berwarna ungu. Dingin yang menyesapi jalan-jalan beraspal penuh nyeri. Bunga yang bermekaran di bawah langit jingga tanpa hujan yang mengguyur biru dihamparan padang tandus pilu.

Oh, badai tengah berkecamuk senja ini, menukik dan menghardik penggembala bermata buta. Jingga dan senja,  keduanya tak lagi ada. Mega telah menutup barisan langit berlatar abu, mendung.

Ada secarik kertas terhempas, menyisir daun-daun kering jalanan tempat kita mengadu lara. Terbang jauh mengudara, mencari satu warna, Jingga.
Jingga, angin dan kupu-kupu, sayap den gemerlap, hujan dan kesepian, semua mengharu biru di rumah kenangan. Menunggu langkahmu bergerak membuka pintu. Menanti suaramu menyapa dipuncak rindu. Jingga, sapa aku!
   
18 Februari 2015
Aku masih diam ditempatmu meninggalkan jejak. Berjam-jam lamanya aku diam. Apakah kau tahu, rindu yang seperti apakah yang ingin aku perlihatkan padamu? Ah, tapi sepertinya itu tak akan membuatmu menoleh dan sejenak mendengarkan apa yang ingin aku katakan. Aku pun melangkah, aku menghampirinya.

19 Februari 2015
Aku melihatnya. Ya, dia yang hampir tiga tahun ini mengharapkan kedatanganku. Dia yang begitu berlebihan menyembunyikan rasa itu. Aku beku. Masih dengan bahasaku, aku begitu menggebu menceritakan semua tentangmu, tentang kerinduan-kerinduan yang tak sempat aku tumpahkan padamu. Dia diam, dia tersenyum, dia masih sama, dia selalu berbicara dalam kalimat tanpa kata-kata, tapi aku dapat mengenalinya, aku mengartikan ekspresi itu. Dia cemburu.
Hingga kita melihat hamparan laut pada malam itu, aku masih beku, diam termangu ditempatku. Tepat di belakangku, dia menatapku. Kita bercengkrama tanpa kosakata. Dia padaku dan aku padamu. Aku mencoba mensejajarkan garis pandang, dia menghampiriku. Dia menatapku dari dekat, aku menghiraukannya. Lalu kita mulai berbaur dengan hamparan laut dan nyiur di pesisir, membiarkan diri ini larut dan tertidur pada hamparan alam dan payung teduh semesta. Kita bahagia.


Hingga waktu menetaskan kalimatnya, aku kehilangan semestaku yang berpayung teduh. Dia yang menamaiku biru. Usai sudah, semuanya berlalu.
Mulanya, dia tak mengharapkan kedatangan kedua ini. Sesuatu yang menurutnya “tiba-tiba”, karena rasa masih berjelaga di dadanya. Dia menemuiku dalam sorot mata yang lain. Dia terpaksa. Dalam keterpaksaan, aku masih bersikeras dengan egoisme diri. Memaksanya tinggal, namun dia membelakangiku dan aku memunggunginya. Semua hambar, kosong. Namun, aku masih bersiap di kotanya, mencoba berpacu dengan adrenalin waktu. Jumat, sabtu, minggu, senin. Satu malam dengannya, namun tiga hari dalam kesendirian. Terkungkung dalam bejana penuh amarah. Aku menumpahkan amarah itu lewat kata-kata, membunuhnya dalam bahasa. Hingga senja yang menamai dirinya jingga, mengajakku berjalan sore itu. Ya, pada sore yang ketiga di hari minggu, aku baru berkelana dengan semesta. Aku berpesta dengan debur ombak dan keramaian alam, lalu jingga menghardikku karena aku baru menyapanya kali ini. Aku begitu terpukau kala itu. Hingga larut malam aku masih terpaku dan bercinta dengan kesendirian di tepi pantai. Indah.
Senin, aku berpacu dalam pijaran mentari kala itu. Menyebrangi laut, memecah biru, berteriak di lepas samudera hingga berbaur dengan alam berpasir putih dan menyelami seluk beluk latarnya yang kokoh dan rimbun berwarna hijau. Aku, laut, dan kesendirianku. Lengkap sudah, akupun berlalu, mulai lagi merenda kenangan, walau tanpa kupu-kupu merah jinggaku dan tanpa dia yang memanggilku biru.