Aku ingin menamaimu hujan. Meletakanmu pada awan bergemuruh yang hitam. Hingar-bingar kota mungkin cukup untuk membangunkanmu agar segera berlari dan pergi.
Aku mengamati gerakmu jauh dari kesunyian yang tampak rapuh. Diam termangu pada reruntuhan hati yang mulai terbengkalai.
Mungkin berkali-kali aku harus mengingat bagaimana caranya untuk pulang, namun aku masih tersesat pada rasa yang sama. Pada sebuah ruang yang pernah kita tinggali bersama. Pada bahasa-bahasa, pada senyum dan lara yang mungkin hanya aku yang terus mengenangnya.
Sayang, ada hujan dimatamu. Aku begitu pilu, namun bukankah seharusnya begitu? Hujan mungkin bisa mengetuk hatimu, membasahi gersangnya jiwa yang terus menorehkan luka.
Kemarin, tak ada mendung diwajahmu. Kau menari dengannya di bawah sinar rembulan. Memilah dan memilih gemintang yang berkerlap-kelip pada hamparan malam. Tak ada hujan, tak ada kesedihan. Sedang aku masih menunggu detik demi detik yang membunuh waktu. Sesekali terbangun, berharap ada sepatah, dua patah kalimat darimu yang begitu aku harapkan, namun tak pernah ada.
Dan lilin-lilin itu kemudian padam. Lelehannya masih terasa begitu membakar bola mata yang berpijar. Semuanya berlalu, begitu saja. Terlalu biasa.
Sedang untuknya, tepat pada tanggal 25 kau dengannya berpesta. Pada 24 yang membuatnya jamak, kau menghadiahiku onak.
Lara dan luka. Bukankah selalu sama? Setiap tahun pada tanggal yang sama kau bahkan lupa. Kau hadiahi aku dengan janji dan merampasnya lagi tanpa hati. Itu keji.
Sayang, kini hujan menggenangi rumahku. Bukan hanya setetes demi setetes yang singgah, tapi tak terhitung. Apakah kau tau? Ah, mungkin kau masih sibuk mengurusi hujan dimatamu yang baru turun.
Hujan telah memporak porandakan pondasi senyum dan tawa yang aku bangun sejak lama. Aku bahkan tak bisa berenang dan muncul ke permukaan hanya untuk sekedar melihat matahari terbit. Hujan membiarkan aku untuk menelusuri lorong-lorong curam yang tak pernah aku jamah di bawah tanah. Hujan telah mengingatkanku, menyapu sedikit belas kasihan dan menunjukkan padamu bahwa aku bisa melawan.
Sayang, ada hujan dimatamu, tapi maaf, aku tak bisa mengeringkannya, karena aku jauh lebih basah darimu.
Ucapan maaf yang sekedar maaf telah melumpuhkan apa yang aku namakan ketulusan. Mulut dan hatimu berselisih. Kau meminta maaf, tapi untuk kemudian mengusirnya pergi. Keji.
Bilamana hati telah memberimu isyarat, tidaklah berat kau katakan maaf yang tanpa syarat. Tidaklah sulit kau senandungkan maaf, tanpa kata-kata pahit yang meruntuhkan hasratku untuk bangkit.
Sayang, berbaurlah sejenak dengan hening yang tanpa bising. Hayati dan dengar suara-suara nyaring yang pernah membuatku terasing. Pahami, maknai, jangan berlari atau menyuruhku pergi.
Jiwa telah menyuarakan bahasanya lebih halus seperti benang tak tampak pada layang-layang yang tengah terbang.
Kenali sakitku, rasakan nyerinya. Lihatlah, lihat lebih dekat, mendekat.
Kau lihat?
Aku sudah menjadi mayat..