Sengaja hari itu aku tak pernah menyimpan warna lain selain putih. Dan langit berucap bahwa ia lebih membutuhkan banyak warna untuk bisa menciptkan sesuatu yang indah. Benar saja, sesaat setelah kepergianku, banyak mata menikmati keindahan warna-warna yang muncul sesaat di atas langit setelah hujan turun, pelangi.
Aku tak pernah menyesal atas keputusanku saat itu. Atas pilihanku pada warna putih polos yang tak pernah muncul dan hilang semaunya. Aku tak menyukai kesementaraan. Seperti kesementaraan pada pelangi yang tiba-tiba menghilang saat mata tengah terpesona tatkala memandangnya. Aku tak menyukai kepergian, perpisahan..
***
“Apa kabarmu June? Ini adalah Bulan Juni ke enam setelah aku tak pernah lagi mendengar suaramu di ujung telpon, atau melihat deretan kata-katamu pada pesan masuk di emailku.
Tapi, yang harus kamu ketahui bahwa aku selalu memperhatikan aktivitasmu pada foto-foto yang baru diunggah di facebook ibumu, lalu dengan seketika airmataku keluar. Airmata yang menandakan bahwa aku begitu merindukan satu sapa saja darimu, hanya satu sapa. Namun, nyatanya kamu tak pernah lagi menyapaku, karena mungkin dunia luar kini lebih menarik dibandingkan sesuatu yang pernah terjadi di masalalumu.”
Ini adalah surat ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan, setelah June menghilang tiba-tiba tanpa satu alasan yang jelas. Surat yang seringkali aku hanyutkan pada derasnya aliran sungai dan berharap akan sampai padanya, sehingga dia kemudian menghubungiku kembali. Orang mungkin akan mentertawakan tingkahku yang konyol ini. Kekonyolan yang seringkali bermula dari pemikiran orang tentang kemustahilan, ketidakmungkinan.
Namaku Black, aku adalah orang yang paling tergila-gila dengan imajinasi dan aku yakin bahwa suatu saat nanti imajinasiku akan terwujud.
Namaku Black, seorang pengkhayal tingkat tinggi yang sedang menunggu keajaiban itu tiba di depan mata.
Namaku Black, namun aku tidak hitam seperti namaku. Aku adalah seorang keturunan Tionghoa, dengan tinggi 185cm, kulit putih mulus dan mata sipit. Dan aku adalah seorang….
Perempuan.
***
“Aku mau membuat surat undangan pernikahan!”
Tiba-tiba Dez berhenti berjalan dan melihatku dengan muka kebingungan.
“Hah, kamu mau nikah??? Sama siapa, ko tiba-tiba???”
“Aku mau nikah dengan June, pada tanggal 19 Juni 2018!”
Aku mengucapkannya dengan penuh keyakinan di hadapan Dez dengan senyum mengembang diwajahku, seakan-akan pernikahan itu memang akan terjadi dan aku sangat tidak sabar menunggu hari itu tiba.
“Itu ga mungkin Black. Kamu ngaco!”
Aku tidak menggubris ucapan Dez. Aku hanya tersenyum dan meyakinkannya bahwa aku tidak sedang bercanda.
“Ga ada yang ga mungkin di dunia ini Dez.. Kamu liat aja nanti! Sekarang, kamu anter aku bikin undangan, lalu kita ke butik untuk pesan baju pengantin, lalu pesan cincin kawin, dan terakhir…”
Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Dez berdiri di hadapnku, dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kening mengkerut.
“STOOOOOP!!! Udah deh jangan ngaco!! Lama-lama aku gila sahabatan sama kamu!! Aku pulang duluan. Kamu juga pulang, jangan mengkhayal yang aneh-aneh, nanti gila!”
Dez lalu pergi tergesa-gesa dari hadapanku setelah mengucapkan kata-kata yang membuat senyumku berhenti sesaat. Aku kira dia akan mendukungku. Aku kira dia akan percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Tapi nyatanya dia sama dengan kebanyakan orang. Kebanyakan orang yang berpikir logis dan tidak ingin berpikir melebihi kapasitas otak kirinya. Namun, aku sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap Dez yang tidak pernah bisa mendukung atas semua mimpi dan kegilaanku. Aku tetap merealisasikan rencana yang telah aku buat sebelumnya, yaitu membuat undangan, lalu ke butik untuk memesan baju pengantin, dan terakhir ke toko perhiasan untuk memesan cincin kawin.
“Tak pernah ada yang berubah sejak pertama aku mengatakan padamu bahwa aku akan menikahimu. Tak pernah ada yang berubah sejak pertama kau mengatakan bahwa itu mustahil. Tak pernah ada yang berubah sejak kau beranjak pergi dan tak pernah muncul lagi dalam kehidupanku. Tak pernah ada yang berubah sedikitpun.. karena yang berubah hanyalah umur kita yang semakin menua..
Aku pernah berkata padamu bahwa yang paling aku takutkan adalah jika suatu hari kau akan melupakanku. Melupakan perasaan dan kasih sayang yang pernah tumbuh dihatimu untukku. Aku sangat ketakutan kala itu, sehingga aku memberikan hadiah “sesuatu yang hidup” diantara semua hadiah benda mati dariku untukmu. Aku berharap ketika hubungan kita tiba-tiba menjadi tidak baik atau berpisah dan kita tidak bisa berkomunikasi lagi, kau akan tetap mengingatku saat kau “melihatnya”dan “berinteraksi dengannya”.
Benda mati jelas berbeda dengan sesuatu yang “hidup”. Bisa saja barang-barang(benda mati) yang pernah aku berikan padamu kau buang, kau berikan pada orang lain atau kau lenyapkan begitu saja, tapi lain halnya dengan “makhluk hidup”. Kau begitu menyayanginya, kau merawatnya setiap hari, kau berinteraksi dengannya, kau memberi dia makan, kau memandikannya, kau mengajaknya bermain saat kau kesepian, dan kau benar-benar tidak bisa melupakanku karena saat kau bermain dengannya, kau akan ingat bahwa dia adalah salah satu hadiah dariku.
Aku tidak pernah tahu lagi kabar tentangmu atau tentangnya. Dia yang aku berikan padamu beberapa tahun yang lalu. Apakah dia masih hidup? Aku sangat bersyukur jika dia memang masih hidup.. karena mungkin jika dia benar-benar sudah tidak ada, maka tidak ada lagi yang bisa mengingatkanmu tentangku. Aku yang pernah mengisi hari-harimu yang kosong. Aku yang pernah membuatmu tertawa, menangis dan marah. Aku yang pernah berjuang mati-matian untuk merealisasikan semua keinginan dan mimpimu. Aku yang pernah kau rindukan dan pernah kau benci mati-matian.. Aku ingin kau mengingatku sekali lagi sebagai kebahagiaan, saat kau memeluknya dengan penuh kerinduan.. itu saja, Jingga.”
Bersambung..
No comments:
Post a Comment