Kisruh itu kini mulai berjarak, seperti kedatangan hening tadi malam. Dan ketika hati berkidung lebih nyaring dari lidah yang tak bisa lagi berkata-kata, maka Dia kemudian hadir melalui resah yang dijadikan-Nya lebih sejuk dari tetesan wudlu dini hari. Dia datang lagi, ketika hampa tak mampu lagi berjabat tangan dengan kemelut pikiran yang kalut.
Menghitung hari, dan semua kalimat seperti bersebrangan dalam pikiran. Beban itu, kebahagiaan yang mereka senandungkan di depan mata. Sedang aku masih saja terkungkung di balik jeruji ketakutanku sendiri. Menyayat diri hanya agar mereka bisa melihat lagi hari esok dengan wajah yang ceria. Aku adalah tumbal bagi setiap pasang mata yang tengah mendaki pohon masa depan. Aku tak pernah diperhitungkan.
Kembali kepada-Nya, lagi-lagi aku datang tatkala tak ada sehelai benangpun yang mampu menyelimuti dinginnya hidup tanpa kehangatan yang bisa menutupi. Di depan mereka, aku adalah lebah yang mampu menghasilkan madu. Mereka menyukai madu, bukan lebah. Kalau saja lebah tak mampu menghasilkan apa-apa, maka mereka akan pergi begitu saja.
Hidup adalah pertaruhan antara keyakinan dan keragu-raguan. Bukan seperti dua rasa dalam satu jiwa. Bukan ibarat cemas yang kau pelihara dalam rasa dan yakin yang kau yakini dalam pikir, karena jika begitu, maka kau tak akan pernah sampai kemana-mana, tapi kau akan terdampar pada gua ketakutan yang seringkali kau tepis setiap saat, tapi juga kau bayangkan tanpa terlewat.
Seringkali kita berjalan tak seirama. Hati ingin berlari menepi, sedang otak masih saja berarak dengan onak. Kadang-kadang kita menginginkan berlian, tapi rasa meyakini perak. Dan tentu saja, seringkali rasa mampu mengamini apa yang tak pernah kita mau. Rasa adalah jembatan antara harapan dan kenyataan, tapi seringkali kita tidak menyadarinya. Kita terlalu menggantungkan mimpi pada logika yang kerap berhitung dengan angka-angka. Dalam kemungkinan dan ketidakmungkinan yang kira-kira bisa digapai dengan akal sehat.
Aku ingin seirama, tanpa gaduh pada malam hari yang membuat mata terbelalak dengan rasa cemas. Aku ingin terbang dengan sayapku sendiri, dengan harap yang tak berakhir tragis. Aku ingin bisa menikmati setiap helaian udara yang masuk melalui pori-pori dan terlelap tanpa harus mencerna banyak hal yang menyeret tubuhku hingga tertatih-tatih. Aku lelah dan tak pernah ada yang mengetahuinya.
Kebahagiaan ibarat senja yang akan segera ditinggalkan oleh matahari. Senjaku adalah bahagia yang tak bisa mereka lihat dengan mata terbuka.
Sunyi dan sendiri adalah caraku mengerti tentang diri. Mengerti bahwa “kepedulian” terlalu mahal untuk bisa aku cicipi dengan kata mencintai.
Aku benar-benar lelah, namun mereka akan mengatakan bahwa aku “baik-baik” saja. Bahkan ketika mungkin kelak aku tiada, mereka hanya bisa berkata “Semoga masuk syurga!”
Cukup!
Dalam resah ini, Dia kemudian memelukku kembali dengan maaf yang melimpah. Dini hari yang hening, kisruhku dibasuh-Nya hingga menjadi linangan-linangan airmata penyesalan dan kerinduan. Aku malu menghadap-Nya. Aku tak kuasa menyebut-Nya kembali setelah pengkhiantan berulang-ulang yang menyakitkan.
Tapi, aku masih saja kembali, seperti ulangan-ulangan hari yang aku tumpuk dalam lemari tanpa mampu aku pahami dan hayati.
Apapun itu, satu keping gelisahku telah pergi. Dia menjumpaiku. Membersihkan debu-debu yang menebal di dinding kolbu.
Rabbku!