Wednesday, September 25, 2019

Sapaan Dini Hari


    Kisruh itu kini mulai berjarak, seperti kedatangan hening tadi malam. Dan ketika hati berkidung lebih nyaring dari lidah yang tak bisa lagi berkata-kata, maka Dia kemudian hadir melalui resah yang dijadikan-Nya lebih sejuk dari tetesan wudlu dini hari. Dia datang lagi, ketika hampa tak mampu lagi berjabat tangan dengan kemelut pikiran yang kalut.

    Menghitung hari, dan semua kalimat seperti bersebrangan dalam pikiran. Beban itu, kebahagiaan yang mereka senandungkan di depan mata. Sedang aku masih saja terkungkung di balik jeruji ketakutanku sendiri. Menyayat diri hanya agar mereka bisa melihat lagi hari esok dengan wajah yang ceria. Aku adalah tumbal bagi setiap pasang mata yang tengah mendaki pohon masa depan. Aku tak pernah diperhitungkan.

    Kembali kepada-Nya, lagi-lagi aku datang tatkala tak ada sehelai benangpun yang mampu menyelimuti dinginnya hidup tanpa kehangatan yang bisa menutupi. Di depan mereka, aku adalah lebah yang mampu menghasilkan madu. Mereka menyukai madu, bukan lebah. Kalau saja lebah tak mampu menghasilkan apa-apa, maka mereka akan pergi begitu saja.

    Hidup adalah pertaruhan antara keyakinan dan keragu-raguan. Bukan seperti dua rasa dalam satu jiwa. Bukan ibarat cemas yang kau pelihara dalam rasa dan yakin yang kau yakini dalam pikir, karena jika begitu, maka kau tak akan pernah sampai kemana-mana, tapi kau akan terdampar pada gua ketakutan yang seringkali kau tepis setiap saat, tapi juga kau bayangkan tanpa terlewat.   

    Seringkali kita berjalan tak seirama. Hati ingin berlari menepi, sedang otak masih saja berarak dengan onak. Kadang-kadang kita menginginkan berlian, tapi rasa meyakini perak. Dan tentu saja, seringkali rasa mampu mengamini apa yang tak pernah kita mau. Rasa adalah jembatan antara harapan dan kenyataan, tapi seringkali kita tidak menyadarinya. Kita terlalu menggantungkan mimpi pada logika yang kerap berhitung dengan angka-angka. Dalam kemungkinan dan ketidakmungkinan yang kira-kira bisa digapai dengan akal sehat.

    Aku ingin seirama, tanpa gaduh pada malam hari yang membuat mata terbelalak dengan rasa cemas. Aku ingin terbang dengan sayapku sendiri, dengan harap yang tak berakhir tragis. Aku ingin bisa menikmati setiap helaian udara yang masuk melalui pori-pori dan terlelap tanpa harus mencerna banyak hal yang menyeret tubuhku hingga tertatih-tatih. Aku lelah dan tak pernah ada yang mengetahuinya.

    Kebahagiaan ibarat senja yang akan segera ditinggalkan oleh matahari. Senjaku adalah bahagia yang tak bisa mereka lihat dengan mata terbuka. 
Sunyi dan sendiri adalah caraku mengerti tentang diri. Mengerti bahwa “kepedulian” terlalu mahal untuk bisa aku cicipi dengan kata mencintai.

    Aku benar-benar lelah, namun mereka akan mengatakan bahwa aku “baik-baik” saja. Bahkan ketika mungkin kelak aku tiada, mereka hanya bisa berkata “Semoga masuk syurga!”
Cukup!
Dalam resah ini, Dia kemudian memelukku kembali dengan maaf yang melimpah. Dini hari yang hening, kisruhku dibasuh-Nya hingga menjadi linangan-linangan airmata penyesalan dan kerinduan. Aku malu menghadap-Nya. Aku tak kuasa menyebut-Nya kembali setelah pengkhiantan berulang-ulang yang menyakitkan.

    Tapi, aku masih saja kembali, seperti ulangan-ulangan hari yang aku tumpuk dalam lemari tanpa mampu aku pahami dan hayati.
Apapun itu, satu keping gelisahku telah pergi. Dia menjumpaiku. Membersihkan debu-debu yang menebal di dinding kolbu.
Rabbku!

Sunday, September 22, 2019

Untuk Biru


    Ketika malam bertanya kepada langit, “Siapakah yang paling tulus?”
Langit hanya bisa menjawab, “Biru!
Masih sama dan tak pernah ada yang berubah. Bukankah langit tengah memandangi dirinya yang kini berwarna hitam? Bukankah langit tengah bersenandung ditepian pantai yang saat ini juga berwarna gelap? Hanya ada gulungan ombak yang kadang-kadang terlihat putih. Tak pernah ada lagi warna biru yang bisa dilihat tatkala malam gelap gulita. 

    Langit butuh cahaya untuk bisa melihat dimana “biru-biru” yang lainnya berada. Langit perlu warna dan bukan hanya sekedar hitam untuk mengetahui mana kerang dan mana mutiara. Langit tengah berduka dan dimatanya semua tak lagi seirama. Biru, hilangkah sudah kehangatan itu?

    Mendalami kembali duka di atas petala yang tak lagi sama, Biru.. hatiku kisruh tak terelakan. Ku kira hijau adalah jembatan untuk menuai kebahagiaan. Ku kira hijau adalah teduh diantara gersangnya hati yang termaktub sepi. Ku kira hijau adalah pereda dari segala pilunya lara. Tapi, hijau hanyalah hijau. Seperti Jingga, ibarat dilema, hijau tak lain adalah cerminan dari mereka yang tengah berpura-pura. Aku mendapatkannya, raga yang tanpa isi. Sentuhan tanpa jiwa, dan pelukan yang serupa topeng di balik sandiwaranya yang sempurna.

    Biru, aku menggilainya. Dia yang mampu membuat setiap pasang mata terpana menatapnya. Dia adalah gemintang yang terdampar diantara kelamnya langit hitam. Dia adalah purnama yang aku lukiskan diantara perjumpaan duka dan bahagia. Dia adalah permata. Tapi Biru, dia hanya sebatas itu. Dia hanya sebatas apa yang aku lihat oleh mata dan aku tak mampu mendalami hati. Dia telah menjatuhkan raga, namun tidak dengan jiwa. Dia serupa not-not lagu yang tak bisa dibaca dan dimengerti. Dia adalah sajak yang serupa onak. Aku memeluknya seperti manusia tak bernyawa. Dia serupa manusia dalam keranda yang memelukmu di atas batu nisan. Dia hidup, tapi tidak menjatuhkan hatinya.

    Biru, jika kelak kau berkelana dengan dia yang kau sebut “sejati”, jangan kau seperti hijau kali ini. Hijau yang mampu dijelajahi, digenapi, dipeluk hingga kau mengira dia benar-benar “rela”, padahal jauh tersirat di matanya, dia mengatakan bahwa hati tak pernah benar-benar dimiliki. Biru, itu lebih menyakitkan dibandingkan ketika kau ditampar oleh penolakan. Kepura-puraan hanya akan menyisakan luka yang menganga.

    Biru, lihat cincin itu. Ada nama yang aku ukir jauh sebelum kau melangkah menghapus warna langit. Ada harapan yang tak pernah mampu aku utarakan kepada setiap pasang mata yang kau sebut keluarga. Dan kini kau akan berjalan bersama dia yang mungkin baru saja menyapamu tadi pagi, kemarin sore, atau tadi malam. Aku hanya bisa tersenyum dari jauh, merelakan biru yang tak akan lagi sehangat dulu.
Aku menamaimu rindu..
Biru.. selamat menempuh hidup baru!

Saturday, September 21, 2019

Bintang Hijau




Dan dia pun jatuh, seperti Jingga yang aku namai cinta, seperti Biru yang tak luput dari buaian rindu, dan seperti udara yang hilir mudik tiba-tiba.
Bintang berwarna hijau dan langit yang tiba-tiba gemerlap cahaya. Memeluknya hingga rasa terpana dalam etalase usia. Kita menjadi buta dalam buncahan, tuli dari suara-suara bisikan nurani dan mencandu waktu yang kerapkali mengeratkan perjumpaan.

    Aku mendapatkannya, entah hati atau raga, atau bahkan kepura-puraan yang dia tutupi dengan syarat yang mencekik akal sehat.
Kita tengah bermain dalam api. Aku ingin segera melarikan diri. Dia adalah ular berbisa yang kerap menari dan menaklukan hati. Dia tengah memeluk dengan sebilah golok yang dibungkus dengan kelembutan kata-kata dan kepura-puraan paras wajah. 

    Hijau lahir dari kacamata kekaguman, tumbuh karena siraman pertemuan dan jatuh karena cumbu yang kemudian berakhir rindu.
Matanya ganas, geraknya liar dan tariannya penuh dengan siasat. Aku terbelenggu dan juga terpikat, bintang hijau yang bersembunyi di balik kerang kepolosan. Entah sampai kapan kita beramain dalam pentas kebohongan. Aku dengan hasratku dan dia dengan obsesinya.

    Kita adalah dua orang tanpa satu tujuan yang jelas. Dia ingin berlari ke timur dan aku ingin terbang ke barat. Aku ingin makhluk bernyawa, sedang dia hanyalah pemuja harta.
Kita tak pernah menemukan titik temu. Kita terikat karena nafsu yang menjerat. Aku lelah, namun aku tak bisa melewatkannya. Dia atmosfer baru yang baru saja meretas jadi candu. Aku menggilainya dan dia menjatuhkan rasanya. 

    Kita adalah sepasang bintang yang tak pernah bisa berterus terang. Dia lagu tanpa lirik, dan harmoni yang tak bisa disenandungkan. Aku ingin mengakhiri sesuatu yang tak pernah dimulai. Aku ingin memulai sesuatu yang sulit diakhiri. Aku jatuh dan dia menangkapku. Kita tengah menjalaninya, jalinan tanpa nama. Kita tak terikat, namun penuh dengan hasrat.

    Aku ingin melihatnya setiap kali membuka mata, hingga bunga-bunga tumbuh bermekaran dan kupu-kupu bersenandung jatuh memadu kasih. 
Ada apa dengan rasa? Dengan salah yang kemudian menjadi tak bersalah. Dengan “sayang” yang lantas menjadi belaian-belaian kemesraan. Ada apa? Kapan kita memulainya? Aku jatuh cinta.



Saturday, September 14, 2019

Mojang Sunda



    Apa yang terlintas dalam benak pembaca ketika mendengar tentang gadis sunda atau seringkali disebut Mojang Priangan?
Pasti yang terlintas pertama kali adalah kata “Cantik”, dan memang tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan orang mengatakan seperti itu. Meskipun definisi cantik bagi setiap orang itu berbeda-beda, namun secara garis besar orang-orang menilai perempuan cantik itu adalah perempuan yang berkulit putih atau kuning langsat atau sawo matang, hidung mancung, bentuk wajah oval, dan tubuh langsing.

    Kenapa kali ini aku membahas tentang Mojang Sunda, karena akhir-akhir ini aku sangat senang sekali mendengar lagu-lagu sunda, tarian sunda dan segala macam tentang budaya orang sunda, dan salah satu daya tarik dari semuanya tidak lepas dari Mojang Sunda yang membawakannya, seperti penyanyinya yang rupawan dengan suara halimpu (merdu), atau penarinya dengan wajah ayu dan keluwesan gerakannya, semua seakan menjadi nilai lebih bagi kebudayaan sunda itu sendiri.

    Berbicara kembali tentang lagu dan budaya sunda, anak angkatku juga tengah berkecimpung dibidang itu. Dia seringkali menyanyi dan menari jaipong, baik dalam acara-acara festival ataupun ketika diundang dalam acara-acara tertentu. Dia juga bergabung dalam sanggar tari  jaipong. Pertama kali melihat video dia menyanyi dan menari, aku sungguh kagum. Aku sempat berpikir bahwa dia telah salah memilih SMK dengan jurusan Teknik Pembuatan Kain sebagai studi lanjutannya, karena sebetulnya bakat dan minat dia lebih banyak dibidang seni. Hal ini diperkuat dengan kemampuan dia dibidang matematika dan fisika yang terbilang masih kurang. Aku mengetahuinya beberapa hari yang lalu ketika dia belajar mengerjakan PR Matematika bersamaku dan saat itu aku tampak seperti seorang guru yang galak karena dia benar-benar susah mengerti pelajaran eksak dan perkalian dasarpun dia masih tertinggal jauh.

    Mengetahui bahwa Dea kurang paham pelajaran Matematika dan Fisika tidak serta merta membuatku men-judge dia bodoh, tapi aku mengerti bahwa kemampuan dia lebih banyak pada bidang yang lain, seperti menari. Dia memiliki kemampuan kinestetik yang tidak aku miliki, karena dulu aku sangat sulit sekali menghafal gerakan tubuh, baik saat olahraga atau ketika megikuti karate, sedangkan bagi Dea, menghafal gerakan tubuh itu sangat mudah. Dari sini aku bisa menarik kesimpulan bahwa setiap anak memiliki kemampuan dan bakat yang berbeda-beda dan kita tidak sepatutnya men-judge seseorang dengan sebutan negatif ketika dia lemah dalam salah satu bidang, tapi justru kita harus mencari tahu keahlian dan minat dia di bidang yang lainnya. Tapi, lepas dari semua itu, matematika atau hitungan dasar harus bisa kita kuasai, karena hitung-hitungan dasar akan selalu dibutuhkan dimanapun, baik saat belajar, berdagang atau ketika bekerja. Itu yang aku tekankan kepada Dea, bahwa dia wajib menguasai perkalian dan pembagian, tidak boleh tidak. Aku cukup keras ketika berperan sebagai seorang guru, karena aku ingin dia bisa mengerti, paham dan bisa lebih disiplin.

    Kembali pada pembahasan tentang Mojang Sunda, Dea merupakan Mojang Sunda yang banyak disukai oleh orang yang melihatnya, meskipun sebagian besar mereka mengira Dea keturunan chinese, tapi dia adalah Mojang Sunda asli (meskipun tidak pernah ada yang bisa memastikannya, karena silsilah orang tua kandungnyapun masih abu-abu). Tapi, apapun suku dan ras dia yang sebetulnya, dia lahir dan besar sebagai orang sunda dan dia sangat menyukai budaya sunda, sehingga sebutan Mojang Sunda sangat pas baginya.
Karena Dea, aku jadi sering mendengar lagu sunda dan melihat tarian sunda. Aku bahkan jadi tahu beberapa kata-kata dalam bahasa sunda yang sebelumnya tidak aku ketahui, seperti “Balaka”, artinya terbuka. Intinya, Dea sangat sunda sekali,hehe.
Kalau melihat kembali ke masalalu saat aku masih sekolah, pelajaran Bahasa Sunda aku sering mendapat nilai pas-pasan dan aku merasa pelajaran Bahasa Sunda lebih sulit dibandingkan Bahasa Inggris.

    Dea, selalu identik dengan kata “sunda” dikepalaku. Ketika mendengar lagu sunda atau ketika melihat tarian sunda, maka dengan seketika aku akan ingat kepada Dea. Sehingga bisa dikatakan bahwa masing-masing orang memiliki identitas tersendiri dalam ingatan kita. Seperti ketika aku melihat sesuatu yang berbau chinese, maka aku akan ingat E, atau ketika aku melihat pantai, maka aku akan ingat kepada Biru, dan terakhir ketika aku mendengar kata “Jakarta”, fashion, kucing, maka dengan seketika aku akan ingat kepada cinta pertamaku “Jingga”.

    Dan untuk Mojang Sunda, maka aku akan menyematkan kata itu untuk Dea. Seperti salah satu lirik lagu di bawah ini yang menggambarkan tentang gadis sunda:


Mojang Priangan 

Angkatna ngagandeuang,
berjalan dengan lemah gemulai
Bangun taya karingrang
tidak ada beban
Nganggo sinjang dilamban
memakai kain diwiru
Mojang priangan
gadis priangan

umat imut lucu
senyum-senyum lucu
sura-seuri nyari
riang gembira
Larak-lirik keupat
lirik sana-sini
mojang priangan
gadis priangan

Diraksukan Kabaya
berpakaian kebaya (pakaian khas sunda)
Nambihan cahayana
menambah cahaya (maksudnya di wajah)
Dangdosna sederhana
berdandan sederhana
Mojang priangan
gadis priangan

Mojang anu donto
Gadis yangn molek
Matak sono nu nempo
rindu yanng melihat (maksudnya kalo orang liat bikin ketagihan)
mun tepung sono ka...
jika bertemu rindu ke
mojang priyangan
gadis priyangan

Gareulis maranis
cantik, manis
Disinjang lalenjang
(sinjang=kain khas yang dibuat rok)
Estu surup nu nempo
senang yang melihat 
mojang priangan
gadis priangan




Saturday, September 7, 2019

My Model



    Halo September, maafkan akhir-akhir ini aku jarang sekali menulis karena kesibukan yang semakin menjadi-jadi. Kali ini aku akan menceritakan sedikit tentang model baruku yang seringkali menuai pujian dari teman-temanku.
   
    Masih tentang dia, ya dia yang tidak lain adalah anak angkatku. Namanya Dea, memiliki anak angkat seperti dia seperti memberikan berkah tersendiri bagiku, bagaimana tidak, Dea memiliki paras yang cantik dengan kulit putih, sehingga ketika dijadikan model olehku, dia tampak begitu menawan. Awal-awal pemotretan, aku melakukan seadanya ditoko, namun hasilnya luar biasa, karena beberapa produk yang dipakai oleh Dea tiba-tiba laris terjual.

    Hingga kemudian kita berencana melakukan pemotretan di Kiara Payung, pada akhir Agustus, dia terlihat begitu antusias. 
Hari itu tanpa disengaja kita memakai baju berwarna navy dengan jeans biru, nyaris seperti janjian, padahal kita tidak janjian memakai baju dengan warna yang sama. Dia terlihat lebih feminim memakai atasan dengan bahu yang terbuka. 
Awalnya kita belum menemukan spot yang cocok untuk pemotretan, sehingga kita memilih untuk beristirahat sejenak di Masjid. Selesai shalat, aku menyuruh dia menutup mata dan berencana memakaikan dia eye liner.

    “Udah sama aku aja..”

Mulanya dia ingin memakai eye liner itu sendiri, namun aku bersikeras untuk melakukannya dengan tanganku sendiri.

    “Udah diem, tutup matanya biar sama aku aja.”

Dia kemudian menurut saja dan menutup matanya. Aku lalu memakaikan eyeliner itu dengan sangat tidak rapi, sehingga ketika dia membuka mata dan melihat ke depan cermin, kita tertawa bersama.

    Waduuuuuh… “

Dia kemudian membetulkannya dan terlihat sangat rapi.

    “Wah, bagus tu rapi.. kamu bisa juga ternyata.”

Pujiku yang melihat dia ternyata bisa dandan.

    “Aku emang bisa dandan, soalnya kan aku penari jadi aku suka dandan sendiri.”
   
Mendengar ucapannya, aku jadi malu sendiri, tapi aku pikir ya sudahlah dan memang lebih bagus kalau dia bisa dandan, sehingga ketika melakukan pemotretan, aku tidak perlu membayar temanku yang biasa merias untuk mendandani dia.

    Setelah dari Masjid, kita kemudian menemukan spot yang bagus untuk pemotretan, yaitu dipojokan yang sepi, terdapat banyak daun kering yang berguguran dan diujungnya ada arena bekas outbond yang sudah terbengkalai dan tidak terpakai.
Dia tampak sangat bahagia melakukan pemotretan kali ini, begitupun denganku. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tiga, kita kemudian berencana pulang, namun sebelumnya aku mengajak dia untuk makan di luar. 
   
    Karena hari itu adalah weekend, jadilah semua cafe penuh bukan main, termasuk Ngopdul yang biasanya tidak seramai sekarang. Aku memang kurang suka tempai ramai dan terlalu berisik, sehingga setelah muter-muter, kemudian kita makan di Sop Djanda tanpa ada lagi pilihan karena hari sudah semakin sore.

    Ketika kita baru saja selesai makan, dia kemudian terlihat sangat panik.
    “Waduh, gelang aku mana???”

Gelangnya hilang dan kita tidak menemukannya dimana-mana. Memang itu bukanlah gelang emas, tapi perak dan sebetulnya kita bisa membelinya lagi karena harganya tidak mahal, namun menurut dia, model seperti itu sudah tidak ada lagi. 

    “Kita cari yuk di Kiara Payung, kayanya jatuh di sana waktu kamu nabur-naburin daun ke kepala..”

Mendengar aku mengajak dia kembali ke Kiara Payung, dia terlihat semangat walaupun sedikit ragu-ragu.

    “Seriusan mau balik lagi ke sana? Tapi, bakal ketemu ga ya?”

Aku meyakinkan dia kalau gelang itu pasti ketemu.

    Insyaallah ketemu, yang penting kita ikhtiar dulu.

Jam lima sore kemudian kalung itu ketemu juga di bawah pohon yang tadi dia naiki ketika pemotretan. Dia girang dan aku ikut bahagia melihatnya. Kita kemudian mengambil beberapa foto sebelum pulang menjelang magrib.

    Dan betul kata orang bahwa sore menjelang magrib itu, jin dan sebangsanya baru ke luar dan berkeliaran. Ini terbukti ketika Dea tiba-tiba menjerit seperti sedang dipeluk oleh makhluk halus. 
Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika malam hari, Dea melihat penampakan dari dua foto yang kita ambil di Kiara Payung. Aku merinding melihatnya dan tidak ingin melakukan pemotretan lagi di sana.

    Setelah dari Kiara Payung, aku ingin menceritakan kisah lainnya ketika Dea juga ikut berangkat ke Subang, tapi sepertinya nanti saja aku menceritakannya.
Intinya adalah Dea memang seorang gadis cantik dan banyak disukai oleh orang-orang, dia memang cocok menjadi model, tapi lebih dari itu, dia hanyalah seorang bocah yang usianya terpaut beda 15 tahun denganku. Ya, dia masih terbilang anak kemarin sore. Dan ternyata aku lebih nyaman berada disekitar orang-orang yang lebih dewasa dariku dibandingkan dengan anak-anak. Well, maksudnya bukan aku tidak nyaman berada di dekatnya, tapi mungkin untuk hal yang lebih pribadi, entah untuk sharing, sahabat atau apapun itu, aku lebih senang dengan orang-orang yang lebih dewasa atau dengan mereka yang sudah berpikir dewasa, bukan dengan bocah yang masih alay, dengan bahasa-bahasa ABG nya, dengan keranjingan Tik Tok nya atau dengan cinta monyetnya yang terlihat sangat lebay
Tapi, lepas dari sisi ABG nya, aku masih bersyukur dengan kehadiran dia dan ibunya. Mereka adalah cerita baru yang melengkapi kehidupanku pada usia 30, usia yang sudah sangat matang dikatakan sebagai orang dewasa. Ya, dewasa, menua dan aku tidak bisa memutar ulang semuanya ke masa muda.