Duduk sinar matanya berpendar. Elang yang mengibaskan sayap-sayap kehangatan disela lara yang menggembala. Hangat.. seperti waktu yang menyublim tanpa permisi dipermulaan terik pagi.
Dia..
Ku sebut dia sebilah pedang yang menyabit hati.. mengerami bagian-bagian
dari masa yang hendak menetas kala purnama. Dia.. Ku sulam namanya disebingkai
kenangan tak berbentuk. Biar Aku pahat tarian matanya yang tengah menyelami
bait jiwa.
Aku tertegun. Terpesona sesaat pada rasa
tanpa nama. Membeku sejenak mengagumi semilir angin dihelaian daun syurga.
Dia.. dia belum beranjak dari dakap ragu yang meluruh disepenggal kisah lalu. Ahh
biar saja dia masih terbaring di sana.. terpejam di bawah cahaya lilin tanpa
api. Aku menatapnya.. masih menatap raut itu.. Elang.
Benar
katamu aku terpenjara.. Benar katamu, kau menawanku pada cahaya. Lirih
mendermaga aku tersapu jeda.. hmm, Elang… benar saja kini aku tertawan.
Jelaskan saja pada barisan hijau yang
merumput.. teriakkan saja pada gemercik hujan yang merintik.. Eja namaku yang
kau sebut pada bahasa puisi tak bertepi..
Aku selami lerai keranda anai.. aku kaji
perangai kosong diri, tapi kau masih berjelaga pada mimpi.. mencekal kungkungan
nafas yang merenda pelangi hati..
Elang,
bilamana yang kau sisipi adalah tentang andaikata, maka rangkai saja jendela-jendela
yang kau bahasakan lara..
Peluh sahaja pada tarian biru ombak yang
memburu… kisah itu.. rengkuh liar bahasa yang terpenggal.. Kisruh jauh menyebut
namanya dalam doa..
Rindu yang mengepakkan halus bahasa
kalbu..
Elang.. terang matanya benderang..
Berpijar mengejar gurauan fajar..
Aku terpesona..
Terpenjara bait-bait kata..
Mata yang megeja..
Mata yang menyala..
Mata yang membidik mata-mata..
Ini bahasa..
Ini bilamana..
Ini andaikata..
Ini cinta..
No comments:
Post a Comment