Kemarahan datang lagi melalui kebohongan yang dia sembunyikan pelan-pelan. Dia berkilah bahwa dia tidak benar-benar ingin menemuinya, karena dia memang hanya ingin datang ke acara wisuda pelatihnya yang tidak lain adalah saudara dari pacarnya.
Dari awal dia sudah membohongiku. Diawali dengan dia mengatakan bahwa dia tidak memiliki pacar, lalu kemudian dia memposting satu tahun dia jadian dengan pacarnya, lalu aku melihat foto-foto pacaran yang tidak layak dilihat untuk ukuran pacaran seumuran dia,dll. Hingga beberapa kali dia mengatakan bahwa dia sudah putus dan ternyata belum putus.
Aku tidak suka dibohongi dan puncaknya adalah kemarin lusa, ketika aku harus melihat postingan dia di instagram, dimana dia bolos sekolah dan datang ke acara itu. Dia bahkan sudah menyuruh ibunya ikut berbohong. Aku lalu meluapkan kekecewaanku kepada ibunya. Aku juga memblockir nomornya. Aku sudah benar-benar marah. Hingga kemudian dia mengirimkan sms dan membicarakan beberapa hal pribadi, aku terpaksa membuka kembali blockir whatsapp dia. Aku sudah menegaskan kepadanya untuk yang terakhir, apakah dia akan memilih sekolah atau pacaran, karena jika masih mau pacaran, maka aku akan memutuskan sekolahnya. Kejam? Menurutku tidak. Aku butuh komitmen, kedisiplinan dan fokus. Seharusnya dia memang sudah mengetahui itu sejak awal.
Keesokan harinya, aku ke rumahnya membawa dua orang keponakanku untuk mengantarkan sepatu dan sorenya kita berempat pergi ke bioskop sekalian jalan-jalan, tapi seharian itu suasana hatiku belum juga pulih. Aku masih memendam kemarahan terhadapnya dan aku sulit memberikan kepercayaan lagi kepada anak yang sudah membohongiku berkali-kali.
Kamu tahu siapa pacarnya? Dia bukan laki-laki seumuran dia. Usianya menurut ibunya 23 tahun, lulusan SMP dan sekarang bekerja di pabrik. Laki-laki itu bahkan beberapa kali berani memaki-maki dan berkata kasar kepada Dea. Aku mengetahui semuanya dari ibunya. Entahlah, aku cape membahas hal ini. Dea tidak bisa dipegang ucapannya. Dia bisa menjalin hubungan dengan orang itu yang menurut dia hanya sebatas chatting di whatsaap dan jarang bertemu, tapi di sisi lain, Dea juga bisa menjalin hubungan sembunyi-sembunyi dengan yang lainnya. Jadi, kalau sudah seperti itu, kamu bisa menilai dia bagaimana?
Kali ini aku bukan hanya marah kepada Dea, tetapi juga kepada ibunya, karena ibunya juga berbohong kepadaku sewaktu Dea pergi ke acara wisuda, ibunya mengatakan bahwa Dea sedang tidur. Walaupun ibunya sudah meminta maaf, tapi aku sulit sekali menjadi biasa kembali.
Bayangkan, disaat aku tengah memikirkan tentang rumah yang akan dia tinggali, disaat aku menguras waktu dan kebahagiaanku untuk kelangsungan hidupnya, ternyata dia kembali mengecewakan dengan berbohong. Aku sampai geram dan mengatakan untuk apa memiliki pacar jika tidak berguna sama sekali. Apa pacarnya memberi biaya untuk sekolah? Memikirkan dimana dia akan tinggal? Memikirkan banyak hal untuk kelangsungan hidupnya? Bahkan yang sederhana, memberi uang untuk quota internet saja pacarnya tidak mampu. Lalu apa gunanya pacar seperti itu? Hidup perlu BIAYA, bukan hanya CINTA.
Dea memang sudah memilih sekolah dan memutuskan dia. Dia mengirim screenshoot ketika dia memutuskan pacarnya. Apa aku percaya begitu saja? TIDAK. Aku sudah lelah memikirkan dia, sehingga semalam aku langsung memblockir dia kembali. Rasanya aku terlalu jauh masuk dalam kehidupannya, sehingga aku lupa untuk menjalani kehidupanku sendiri. Aku sekarang tidak peduli lagi apapun yang akan dia lakukan, karena dia susah untuk diberitahu. Entah dia akan pacaran sembunyi-sembunyi, atau apapun, dia yang akan menanggung konsekuensinya, karena jika sampai dia kepergok berbohong lagi, maka aku akan langsung berhenti membiayai sekolahnya dan aku tidak ingin mengenalnya lagi.
Hidup adalah pilihan dan kesempatan. Seharusnya dia bisa bersyukur dengan beberapa kesempatan yang datang dalam hidupnya, seperti kesempatan sekolah, punya ini dan itu, bahkan punya keluarga baru. Seharusnya dia bisa menilai mana yang lebih berharga, mana yang lebih memberikan manfaat bagi dia dan ibunya. Dia harus bisa menurunkan sisi egoisnya dan bisa menyayangi ibu dan orang-orang yang telah membesarkannya hingga dia bisa tumbuh seperti saat ini.
Dia adalah anak yang kurang bersyukur tentang banyak hal dan itu yang tidak aku sukai. Dia mengeluhkan kenapa hidup dari keluarga seperti sekarang,dll. Aku justru bersimpati kepada ibu angkatnya yang bisa membesarkannya seorang diri ditengah kesulitan hidup. Aku lebih menghargai ibunya yang bisa menghargai pengorbanan orang lain. Tidak seperti Dea yang sudah bertengkar berkali-kali dengan ibunya hanya untuk laki-laki kurang ajar itu.
Kamu tahu alasan perempuan sesulit itu melepaskan laki-laki? Bahkan berani bertengkar dengan seorang ibu? Sebagian besar perempuan mengaku bahwa keperawannannya telah hilang oleh laki-laki tersebut, atau dia kecanduan karena sudah melakukan kontak fisik pertama kali dengan pacarnya, atau bahkan dia dipelet, dll. Wallahuallam, hanya Dea dan Tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, yang pasti kali ini aku benar-benar kecewa dan kemarahanku juga tak bisa reda.
No comments:
Post a Comment