Banyak hujan di bulan Mei. Seperti gerimis yang tak bisa tertidur pulas di atas guguran daun-daun kering. Aku suka wangi tanah basah selepas hujan, tapi aku juga suka dengan guguran daun-daun kering yang jatuh dari pohon yang meranggas. Aku menikmati apa yang gugur. Aku menghayati apa yang telah lepas dari tangkainya. Hingga kemudian ada yang datang lagi, tarian kelopak-kelopak jingga, pada lembaran waktu yang aku beri judul “Selamat Datang”.
Aku tak pernah bisa berpura-pura dengan rasa. Dengan sandiwara yang bisa membuat orang lain bahagia. Aku tak bisa menyambut kemarau ketika aku tengah menikmati hujan. Aku tak bisa berlari ketika aku tengah tertatih-tatih untuk berjalan. Aku ingin menjadi diriku sendiri.
Jangan paksa aku untuk bisa menjadi selembut bidadari atau sebijak Kartini, sebab aku bukanlah peri-peri cantik yang kerap duduk manis di atas nampan kemewahan. Aku bukan pula gadis bergincu tebal yang suaranya melengking terkikik-kikik tatkala dihujani gombalan dan rayuan-rayuan penuh umpan. Aku tak pernah berada dalam satu barisan yang mereka namakan “perempuan”.
Aku tak pernah ramah dengan kata “menikah”. Sebab aku masih ingin berkelana memecahkan teka-teki dalam kepala. Terlalu banyak benang kusut mengendap dalam hati. Aku ingin melepasnya satu persatu.
Aku masih enggan membuka pagar diri dan mempersilahkan masuk apa yang tak pernah aku hadirkan dalam mimpi. Aku masih suka berangan-angan, tentang bunga, tentang daun, tentang kupu-kupu, tapi bukan tentang kumbang atau macan. Aku suka kelembutan, wewangian, ketulusan, bukan nafsu dan kekangan dalam cemburu.
Aku sedang tidak baik-baik saja. Hingga aku tendang apa yang merangsak masuk, namun aku ucapkan selamat datang bagi yang baru saja pulang. Tapi, hatiku kini mati, sebab hidup terlalu keras untuk bisa aku perjuangkan sendiri.
No comments:
Post a Comment