Senja kembali bercerita tentang rasa. Tentang wewangian yang lalu tumbuh menjadi frasa. Bait-bait rahasia yang dihadirkan dari ingatan berjam-jam yang tak akan bisa teralihkan.
Ada apa? Wanginya seakan menjadi pupuk yang menumbuhkan bunga-bunga. Suaranya ibarat laksa yang tengah aku nikmati di angkasa. Indah, merdu dan tulus itu lantas mengakar pada haluan pikiran yang tidak bisa beralih selain daripadanya.
Aku ingin membaca kembali kalimat-kalimat yang dikirimnya setiap malam. Untaian baku yang tak lain adalah teks-teks biasa yang aku anggap bahagia. Sunyinya, sepi yang dia utarakan dalam rangkulan pengorbanan, kini tengah menjadi pahlawan dalam gejolak rindu yang dianggap tabu oleh waktu.
Mungkin terlalu dini jika aku melukiskan bagaimana bersinarnya labirin rindu itu. Sketsa dari babak baru yang tak ingin aku ulangi lagi. Kenapa “wangi” lantas berkuasa pada akar rasa yang mereka anggap tak biasa? Kenapa “wangi” lalu menjadi duri pada keindahan yang hanya bisa dinikmati sendiri? Kenapa “wangi” menjadi teka-teki bagi rahasia yang tak bisa diutarakan dengan bahasa ketertarikan? Kenapa “wangi” menjadi batas bagi apa yang tengah dirasakan hati dengan realita yang harus dihadapi? Kenapa “wangi” harus tercium lebih dini?
Malam tak akan bisa mengumbar abjad-abjad yang bergejolak di kepala. Seperti sunyi yang enggan menjadi “ekspedisi” bagi nyanyian hati yang ingin sampai kepada matahari.
Diamnya, sinyal yang tak bisa aku baca di depan layar kaca. Kenapa seperti ini? Kenapa lelah menyala-nyala, namun bahagia?
Ah, andai ada lagi teks-teks yang bisa aku baca di depan layar. Tarian indah dari jemarinya yang tengah memandangku dari kaca jendela maya. Atau barangkali ada lagi waktu di mana kita bisa saling bertukar rindu. Saling menyapa lewat getaran yang tak akan pernah bisa diutarakan.
Malam bercengkrama lebih lama dari biasanya. Ada penantian tersemat pada barisan “menunggu” yang masih diam ditempatnya. Sapaan belum terlihat diantara ratusan notif whatsapp di handphone ku. Dia mungkin tengah berjibaku dalam alunan takbir yang membuat jiwa pilu. Atau mungkin dia tengah memandangi waktu tanpa ada sedikitpun rindu. Entahlah, sebab yang pasti, kini dia tengah menjadi candu di kepalaku. Feromon bahagia yang ingin segera aku lepaskan ke udara. Aku tak ingin lagi sampai ke jurang itu. Sebab rasa kadang-kadang siap memangsa dengan bisa yang bertopengkan kata “cinta”. Aku tak ingin sia-sia.
Tuhan, beri aku peta sebagai petunjuk jalan!
Aku tidak ingin lagi dibutakan!
No comments:
Post a Comment