Aku sudah berada di depan pintu kamar, ketika Tasya mengantarku sampai ke sini. Dan saat pintu terbuka, mataku terbelalak tak percaya ketika melihat kamarku sudah didekorasi dengan sangat indah. Ada bunga-bunga mawar merah dikasur yang sudah tampak kering dan layu. Balon-balon berbentuk hati yang mulai berdebu, lampu warna-warni yang masih menyala dengan terang, dan tulisan “I love you” yang mulai tebal dengan debu. Aku tak kuasa lagi menahan tangisku.
“Ya Allah, Suri bawa aku mati saja!”
Tasya menenangkan aku. Dia lalu mengambil sepucuk surat yang berada di atas kasur. Surat yang juga sudah penuh dengan debu, karena kita mengosongkan kamar ini hampir dua minggu lebih dan kita memang tidak membiarkan pembantu untuk masuk ke dalam kamar. Tanganku lalu membuka surat itu dan mulai membacanya dengan berlinang airmata.
==================================================================
Untuk suamiku yang akan tetap menjadi suamiku. Aku bahagia sekali bisa mewujudkan mimpi terakhirmu, yaitu mengangkat kisahmu ke layar lebar dalam sebuah film. Bukan hanya itu, filmnya bahkan bisa mendapatkan nominasi FFI yang akan kita hadiri malam ini.
Aku tidak tahu lagi mimpi apa yang ingin kamu wujudkan setelah ini, tapi yang pasti mimpiku hanya satu, yaitu bisa menemanimu selamanya. Aku mengharapkan keajaiban segera tiba dan kita kembali menjadi suami istri yang sah. Aku ingin memiliki anak dari rahimku sendiri, dari benih orang yang sangat aku cintai. Tapi, entahlah apakah mimpi aku itu bisa terwujud atau kita hanya bisa pasrah dengan kata “mustahil” yang terus menghantui pikiranku.
Sayang, ada banyak kata-kata yang ingin aku ucapakan kepadamu. Hanya saja aku tidak pandai untuk merangkai kata. Aku hanya bisa ada di sampingmu dan mendukung apapun yang kamu mau. Aku hanya bisa menjadi payung yang melindungimu saat hujan. Aku hanya bisa menjadi selimut yang menghangatkanmu tatkala kamu kedinginan. Aku hanya bisa terlelap di sisimu dan tidak bisa berbuat apa-apa, padahal aku sangat ingin untuk mendapatkan sentuhanmu lagi.
Sayang, malam ini bolehkah aku kembali menjadi pengantinmu? Aku ingin memulainya dari awal. Aku tidak peduli lagi dengan perubahan yang terjadi dalam tubuhmu. Aku hanya sentuhan-sentuhan yang sudah lama hilang ketika pernikahan kita dibatalkan. Aku tahu, kamu pasti akan menolakku. Tapi, aku tidak akan putus asa untuk meminta hal itu kepadamu. Aku ingin satu kali ini saja kamu mengiyakan permintaanku. Satu kali saja, karena aku tidak akan memintanya lagi kepadamu. Aku berjanji dan kamu bisa memegang janjiku.
Maafkan aku yang belum bisa berdamai dengan takdir. Maafkan aku, karena aku belum bisa ikhlas untuk melepaskan apa yang sudah bukan milikku lagi. Aku minta maaf. Aku hanya takut kehilanganmu. Aku mencintaimu.
=======================================================
Tangisku pecah. Aku memeluk dan menciummi kertas itu. Betapa jahatnya aku, karena telah membuat Suri menderita seperti itu. Dia hanya ingin bercinta denganku dan aku selalu menolaknya. Aku benar-benar menyesal, karena belum sempat mewujudkan keinginan terakhir dia. Suri kini telah tiada dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.
“Udah yuk! Kita doakan saja. Kamu harus mulai menenangkan diri dan tidak sedih berkepanjangan. Nanti aku siapkan obat penenang.”
Tasya mulai menghiburku. Tangannya lalu berusaha membalikkan kursi roda untuk mengajakku keluar, namun aku menahannya.
“Bisa ambilkan baju tidur Suri dan parfumnya di lemari? Aku hanya ingin mencium wanginya lagi.”
Tasya mengangguk dan mengambil baju tidur dan parfum Suri. Dia kemudian menyemprotkan parfum ke baju itu dan memberikannya kepadaku. Aku langsung memeluk dan menciumi baju yang sudah beraroma wangi parfum yang biasa Suri pakai itu.
“Suri!! Bawa aku mati, Suri!! Aku ga kuat lagi!!”
Kepalaku kemudian terasa berat dan pandanganku menjadi hitam.
“Sayang!”
Mataku samar-samar mulai terbuka dan melihat banyak orang sudah berkumpul di depan mataku. Aku juga melihat Suri. Suara dan baunya terasa begitu dekat dan tidak asing lagi untukku. Sepertinya aku sedang bermimpi, tapi begitu sangat nyata.
“Su.. ri..!”
Ucapku terbata-bata, ketika melihat Suri benar-benar sudah berada di depan mataku.
“Alhamdulilah!”
Semua orang kemudian mengucapkan alhamdulilah, ketika aku sudah bisa membuka mata dan dapat melihat ke sekelilingku. Tampak banyak orang berkumpul dengan memakai baju muslim, peci dan sarung. Aku melihat mereka tengah membaca buku yasin. Aku semakin bingung dengan apa yang terjadi di sini.
“Alhamdulilah Ya Allah, akhirnya kamu siuman juga.”
Ucap Suri yang kini menangis dan memelukku dihadapan semua orang. Aku masih belum bisa berkata-kata, karena aku masih tidak mengerti apakah aku sedang berada didunia nyata atau aku sedang bermimpi.
“Apa aku sedang bermimpi?”
Tanyaku kepada Suri yang wajahnya kini bisa aku lihat sedekat ini. Tanganku lalu menyentuh kening, mata dan bibirnya. Semua begitu nyata. Aku semakin pusing dibuatnya.
“Kamu tidak sedang bermimpi sayang. Alhamdulilah kamu sekarang udah siuman setelah satu bulan koma. Maafin aku sayang waktu itu maksa kamu ziarah ke makam itu lagi dan pulangnya kita kecelakaan. Aku sangat-sangat bersyukur kita masih bisa selamat.”
Otakku semakin tidak bisa mencerna semua ini. Aku belum bisa mengerti semua perkataan Suri.
“Sebentar, aku jadi pusing begini. Bukannya aku tiba-tiba berubah menjadi perempuan lagi setelah pulang dari makam Mahmud? Lalu, aku juga udah nulis novel dan bukunnya masuk best seller? Novelnya juga udah difilmkan dan bahkan masuk nominasi FFI. Nah, di malam penghargaan FFI itu, filmnya menang, tapi tiba-tiba waktu aku dan kamu naik ke panggung, ada gempa. Kamu meninggal.”
Suri dan semua orang terdiam mendengar penjelasanku. Suri lalu mengambilkanku segelas air putih yang sudah dibacakan doa. Dia kemudian meminumkannya ke mulutku.
“Minum dulu biar kamu ga shock! Kamu udah satu bulan koma. Semua yang kamu ceritakan barusan hanya bunga tidur kamu selama ini. Kamu masih laki-laki. Aku juga masih hidup, belum mati. Novel kamu belum selesai juga, jadi belum bisa dijual, apalagi masuk best seller.”
Mendengar ucapan Suri, aku merasa bahagia sekaligus kecewa. Bahagia karena Suri masih hidup dan status kelaminku masih sebagai seorang laki-laki. Tapi, aku juga kecewa karena ternyata film Suri belum benar-benar ada seperti yang ada dalam mimpiku selama ini.
“Aku bahagia, karena kamu masih hidup. Itu saja yang aku syukuri sekarang.”
Ujarku, seraya terus memandangi wajah Suri yang aku rindukan selama ini.
“Aku yang seharusnya bilang begitu, karena sudah satu bulan ini kamu koma dan aku takut kalau kamu ga akan bisa membuka mata lagi. Tapi, sekarang aku bersyukur, karena ketakutanku ga terjadi. Alhamdulilah, alhamdulilah Ya Allah.”
Aku dan Suri berpelukan. Kita seperti dua orang yang sudah lama berpisah dan kembali dipertemukan. Rasanya sungguh luar biasa dan tidak bisa terlukiskan. Kita lalu menangis sesenggukan. Sebuah tangisan keajaiban yang membuat kita berdua dipertemukan kembali setelah kematian. Aku tidak peduli lagi dengan buku atau film yang ternyata hanya mimpi dan belum menjadi kenyataan, karena kehadiran Suri lebih berharga dari semua itu. Sebuah kehadiran yang selama ini aku anggap biasa-biasa saja, namun menjadi luar biasa ketika tiba-tiba dia tidak ada.
“Mulai detik ini, aku akan mensyukuri kehadiranmu setiap hari. Aku tidak mau ada waktu yang terlewat tanpa mengucapkan rindu dan I love you. Kita akan bersama-sama kemanapun kita pergi. Kamu sangat berarti Suri, karena kamu telah berkali-kali membuatku jatuh hati.”
***
Setelah hari itu, aku jadi tahu apa makna dari syukur yang sebenarnya. Aku jadi bisa lebih menghargai apa yang sudah aku miliki saat ini. Aku bisa bahagia dan merasa kaya dengan apa yang sudah diberikan Tuhan kepadaku. Dan aku juga lebih bisa untuk menghargai waktu. Aku tidak ingin lagi menyia-nyiakan waktu dan berusaha memanfaatkannya sebaik mungkin, terutama untuk orang-orang yang aku cintai. Aku seperti hidup kembali hari ini, dalam kesempatan kedua yang tidak akan pernah datang lagi.
“Sayang udah siap?”
Tanya Suri yang kini sudah berpakaian dengan rapi. Dia lalu menghampiriku dan mengecup keningku. Aku sangat tegang dan takut untuk menghadapi hari ini. 4 tahun setelah aku bangun dari koma, mimpiku benar-benar terwujud. Hari ini aku dan Suri akan menghadiri acara yang diadakan oleh FFI. Kali ini aku menghadiri FFI dengan statusku bersama Suri sebagai suami istri. Kita juga yang memproduseri dan menyutradarai film ini, sehingga kita dinobatkan dalam beberapa nominasi, seperti sutradara film terbaik, produser film terbaik dan film terbaik. Aku sangat gugup dan takut, karena bayangan mimpi buruk yang pernah aku alami terus menghantui pikiranku.
“Sebaiknya kita ga usah datang!”
Pintaku tiba-tiba kepada Suri. Aku tidak mau apa yang ada dalam mimpiku benar-benar terjadi. Aku takut terjadi gempa yang menewaskan Suri.
“Kenapa sayang? Bukannya malam ini yang kamu nanti-nanti selama ini?”
“Tidak! Aku ga mau terjadi gempa yang akhirnya membuat aku kehilangan kamu. Aku lebih memilih kehilangan piala dibandingkan orang yang aku cinta.”
Suri lalu menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum kepadaku.
“Kamu percaya takdir? Kalau aku sudah ditakdirkan untuk meninggal hari ini, aku pasti akan meninggal, sekalipun aku sedang berada ditempat tidur. Kamu jangan terlalu banyak memikirkan yang tidak perlu, nanti bisa jadi kenyataan. Mending kita bayangkan saja rasanya kalau kita menang. Bagaimana?”
Aku lalu mengangguk dan berjalan bergandengan untuk menghadiri malam penganugerahan yang sudah kita nanti-nantikan.
Sepanjang acara berlangsung, aku sangat gugup dan tidak bisa fokus. Aku seperti merasakan de javu, sehingga kepalaku terasa berputar, perut mual dan nafas terasa sesak. Suri yang melihat kondisiku menjadi sedikit khawatir.
“Kamu minum dulu sayang.”
Suri menyodorkan sebotol air mineral kepadaku. Aku lalu meminumnya dengan tangan dingin dan gemetaran.
“Tarik nafas dalam-dalam, lalu hembuskan.”
Aku lalu mengikuti saran dari Suri. Aku menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Aku merasa sedikit lebih tenang setelah itu.
Tidak berapa lama kemudian, nama “SURI” disebut sebagai pemenang film terbaik tahun ini. Semua orang bertepuk tangan, namun kepanikanku semakin menjadi-jadi. Sekarang tubuhku terasa lemas dan gemetaran. Aku sangat takut untuk berjalan ke atas panggung. Aku masih teringat dengan gempa dalam mimpiku yang merenggut nyawa Suri. Aku tidak ingin itu terjadi.
“Ayo sayang!”
“Aku ga bisa!”
Jawabku ketakutan, namun Suri tetap memaksaku untuk berdiri dan naik ke atas panggung bersamanya. Aku kemudian mengiyakan keinginan Suri dan mulai berdiri dengan perasaan sangat goncang. Aku melihat mata setiap orang tertuju padaku dan Suri, seperti mata malaikat maut yang sebentar lagi akan menjemput. Aku tiba-tiba menghentikan langkahku ketika kita hampir sampai ke atas panggung.
“Aku ga bisa!”
Ulangiku sekali lagi kepada Suri, namun Suri hanya menarik tanganku untuk berjalan bersamanya naik ke atas panggung. Saat berada di atas panggung, aku seperti mendengar sesuatu yang akan menghantam ke arahku. Aku panik, dadaku terasa sesak dan pandanganku kabur.
“Arrrrrrgggghhhhh!”
Aku terserang panic attack.
***
“Sayang! Selamat ya, kamu menang!”
Aku sudah berada di Rumah sakit, ketika Suri menunjukkan Piala Citra yang kita dapatkan malam ini. Aku tersenyum ke arahnya dengan mata berkaca-kaca. Aku lalu menangis sesenggukan.
“Aku senang bukan karena melihat piala itu, tapi karena aku masih bisa melihatmu. Aku cuma mau kamu ada dalam hidupku. Aku rindu.”
Suri memelukku erat. Aku menciuminya seperti tengah menciumi harta karun yang baru saja aku temukan setelah hilang beberapa saat.
“Mulai saat ini, aku tidak akan melepaskan genggaman tanganku padamu, karena aku tidak pernah tahu, kapan waktu akan memisahkan aku dengan kamu. I love you, bidadariku.”
***