Saturday, April 15, 2023

Perempuan Penyeduh Kopi

 



Aku adalah dedak dari kopi yang biasa diseduh setiap pagi. Endapan manis dan pahit yang masih tersisa dalam gelas. Aku pernah hanyut dalam rasa yang mereka bilang “nikmat” . Aku pernah tertawan dalam seduhan air panas yang menjadikan kopi dan gula menjadi satu rasa dalam indera perasa. Namun, aku juga pernah tertinggal menjadi ampas yang tidak bisa dinikmati lagi. Dibiarkan tinggal di dalam gelas kotor untuk kemudian dibilas dan hilang seketika.


Aku lalu takut untuk masuk kembali ke dalam gelas. Berbaur menjadi kopi dan gula untuk diseduh oleh air panas. Aku takut menjadi satu rasa yang terbiasa dibiarkan habis tanpa sisa. Aku takut dengan waktu yang kerap membiarkanku hanyut, namun tidak membuatku baik-baik saja. Aku takut untuk bertatap muka dengan penyeduh kopi yang membuatku jatuh kali ini.


Kau datang tadi malam. Meletakannku dalam gelas kosong yang sebetulnya enggan untukku tempati lagi. Kau datang tadi pagi dan membuat mataku sulit untuk terpejam kembali. Kau datang disaat aku enggan untuk dibawa pulang. Kau datang dan membuat tarian jarum jam terdengar lebih nyaring dari suara hatiku sendiri.


Kau perempuan penyeduh kopi tanpa gula. Kau biarkan aku hanyut apa adanya. Menjadi pahit yang bisa kau nikmati dalam satu rasa asli. Kau membuat aku menjadi dedak yang bisa diseduh berkali-kali. Kau menjadikanku ampas yang bisa mengenali dirinya sendiri. Kau adalah penikmat kopi sejati, sebab kau tidak membutuhkan gula untuk membuat lidahmu jatuh hati.


Sayang, kini aku bisa bersemangat lagi untuk memulai hari. Untuk menjadi secangkir kopi dalam gelasmu pagi ini. Terimakasih telah membuatku terbangun dan mengucapkan selamat pagi. Ajarkan aku untuk kembali menjadi segelas kopi yang tidak takut lagi untuk jatuh hati. Ajarkan aku menjadi puisi. Menjadi dedak-dedak kopi yang selamanya tetap dedak kopi. Aku ingin bisa mencintai lagi. Sekali lagi, sampai aku lupa bahwa aku pernah merasa “patah” dan “tidak berarti”. Ajarkan aku untuk menjadi kata “selamanya” dan “tidak terganti”. Aku hanya ingin merasa berharga dan tetap baik-baik saja. Ajari aku untuk mencintaimu, dalam kata “malu” yang aku sebut “rindu” dan dalam kata-kata “dusta” yang sebetulnya memang “cinta”. Aku jatuh cinta. Padamu penikmat kopi tanpa gula. Aku tergila-gila!


Monday, April 10, 2023

SURI (Bagian 34)

 



Aku sudah berada di depan pintu kamar, ketika Tasya mengantarku sampai ke sini. Dan saat pintu terbuka, mataku terbelalak tak percaya ketika melihat kamarku sudah didekorasi dengan sangat indah. Ada bunga-bunga mawar merah dikasur yang sudah tampak kering dan layu. Balon-balon berbentuk hati yang mulai berdebu, lampu warna-warni yang masih menyala dengan terang, dan tulisan “I love you” yang mulai tebal dengan debu. Aku tak kuasa lagi menahan tangisku.


“Ya Allah, Suri bawa aku mati saja!”


Tasya menenangkan aku. Dia lalu mengambil sepucuk surat yang berada di atas kasur. Surat yang juga sudah penuh dengan debu, karena kita mengosongkan kamar ini hampir dua minggu lebih dan kita memang tidak membiarkan pembantu untuk masuk ke dalam kamar. Tanganku lalu membuka surat itu dan mulai membacanya dengan berlinang airmata.


==================================================================

Untuk suamiku yang akan tetap menjadi suamiku. Aku bahagia sekali bisa mewujudkan mimpi terakhirmu, yaitu mengangkat kisahmu ke layar lebar dalam sebuah film. Bukan hanya itu, filmnya bahkan bisa mendapatkan nominasi FFI yang akan kita hadiri malam ini.


Aku tidak tahu lagi mimpi apa yang ingin kamu wujudkan setelah ini, tapi yang pasti mimpiku hanya satu, yaitu bisa menemanimu selamanya. Aku mengharapkan keajaiban segera tiba dan kita kembali menjadi suami istri yang sah. Aku ingin memiliki anak dari rahimku sendiri, dari benih orang yang sangat aku cintai. Tapi, entahlah apakah mimpi aku itu bisa terwujud atau kita hanya bisa pasrah dengan kata “mustahil” yang terus menghantui pikiranku.


Sayang, ada banyak kata-kata yang ingin aku ucapakan kepadamu. Hanya saja aku tidak pandai untuk merangkai kata. Aku hanya bisa ada di sampingmu dan mendukung apapun yang kamu mau. Aku hanya bisa menjadi payung yang melindungimu saat hujan. Aku hanya bisa menjadi selimut yang menghangatkanmu tatkala kamu kedinginan. Aku hanya bisa terlelap di sisimu dan tidak bisa berbuat apa-apa, padahal aku sangat ingin untuk mendapatkan sentuhanmu lagi.


Sayang, malam ini bolehkah aku kembali menjadi pengantinmu? Aku ingin memulainya dari awal. Aku tidak peduli lagi dengan perubahan yang terjadi dalam tubuhmu. Aku hanya sentuhan-sentuhan yang sudah lama hilang ketika pernikahan kita dibatalkan. Aku tahu, kamu pasti akan menolakku. Tapi, aku tidak akan putus asa untuk meminta hal itu kepadamu. Aku ingin satu kali ini saja kamu mengiyakan permintaanku. Satu kali saja, karena aku tidak akan memintanya lagi kepadamu. Aku berjanji dan kamu bisa memegang janjiku.


Maafkan aku yang belum bisa berdamai dengan takdir. Maafkan aku, karena aku belum bisa ikhlas untuk melepaskan apa yang sudah bukan milikku lagi. Aku minta maaf. Aku hanya takut kehilanganmu. Aku mencintaimu.

=======================================================


Tangisku pecah. Aku memeluk dan menciummi kertas itu. Betapa jahatnya aku, karena telah membuat Suri menderita seperti itu. Dia hanya ingin bercinta denganku dan aku selalu menolaknya. Aku benar-benar menyesal, karena belum sempat mewujudkan keinginan terakhir dia. Suri kini telah tiada dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.


“Udah yuk! Kita doakan saja. Kamu harus mulai menenangkan diri dan tidak sedih berkepanjangan. Nanti aku siapkan obat penenang.”

 

Tasya mulai menghiburku. Tangannya lalu berusaha membalikkan kursi roda untuk mengajakku keluar, namun aku menahannya.


“Bisa ambilkan baju tidur Suri dan parfumnya di lemari? Aku hanya ingin mencium wanginya lagi.”


Tasya mengangguk dan mengambil baju tidur dan parfum Suri. Dia kemudian menyemprotkan parfum ke baju itu dan memberikannya kepadaku. Aku langsung memeluk dan menciumi baju yang sudah beraroma wangi parfum yang biasa Suri pakai itu.


“Suri!! Bawa aku mati, Suri!! Aku ga kuat lagi!!”


Kepalaku kemudian terasa berat dan pandanganku menjadi hitam.


“Sayang!”


Mataku samar-samar mulai terbuka dan melihat banyak orang sudah berkumpul di depan mataku. Aku juga melihat Suri. Suara dan baunya terasa begitu dekat dan tidak asing lagi untukku. Sepertinya aku sedang bermimpi, tapi begitu sangat nyata.


“Su.. ri..!”


Ucapku terbata-bata, ketika  melihat Suri benar-benar sudah berada di depan mataku. 


“Alhamdulilah!”


Semua orang kemudian mengucapkan alhamdulilah, ketika aku sudah bisa membuka  mata dan dapat melihat ke sekelilingku. Tampak banyak orang berkumpul dengan memakai baju muslim, peci dan sarung. Aku melihat mereka tengah membaca buku yasin. Aku semakin bingung dengan apa yang terjadi di sini. 


“Alhamdulilah Ya Allah, akhirnya kamu siuman juga.”


Ucap Suri yang kini menangis dan memelukku dihadapan semua orang. Aku masih belum bisa berkata-kata, karena aku masih tidak mengerti apakah aku sedang berada didunia nyata atau aku sedang bermimpi.


“Apa aku sedang bermimpi?”


Tanyaku kepada Suri yang wajahnya kini bisa aku lihat sedekat ini. Tanganku lalu menyentuh kening, mata dan bibirnya. Semua begitu nyata. Aku semakin pusing dibuatnya.


“Kamu tidak sedang bermimpi sayang. Alhamdulilah kamu sekarang udah siuman setelah satu bulan koma. Maafin aku sayang waktu itu maksa kamu ziarah ke makam itu lagi dan pulangnya kita kecelakaan. Aku sangat-sangat bersyukur kita masih bisa selamat.”


Otakku semakin tidak bisa mencerna semua ini. Aku belum bisa mengerti semua perkataan Suri.


“Sebentar, aku jadi pusing begini. Bukannya aku tiba-tiba berubah menjadi perempuan lagi setelah pulang dari makam Mahmud? Lalu, aku juga udah nulis novel dan bukunnya masuk best seller? Novelnya juga udah difilmkan dan bahkan masuk nominasi FFI. Nah, di malam penghargaan FFI itu, filmnya menang, tapi tiba-tiba waktu aku dan kamu naik ke panggung, ada gempa. Kamu meninggal.”


Suri dan semua orang terdiam mendengar penjelasanku. Suri lalu mengambilkanku segelas air putih yang sudah dibacakan doa. Dia kemudian meminumkannya ke mulutku.


“Minum dulu biar kamu ga shock! Kamu udah satu bulan koma. Semua yang kamu ceritakan barusan hanya bunga tidur kamu selama ini. Kamu masih laki-laki. Aku juga masih hidup, belum mati. Novel kamu belum selesai juga, jadi belum bisa dijual, apalagi masuk best seller.”


Mendengar ucapan Suri, aku merasa bahagia sekaligus kecewa. Bahagia karena Suri masih hidup dan status kelaminku masih sebagai seorang laki-laki. Tapi, aku juga kecewa karena ternyata film Suri belum benar-benar ada seperti yang ada dalam mimpiku selama ini.


“Aku bahagia, karena kamu masih hidup. Itu saja yang aku syukuri sekarang.”


Ujarku, seraya terus memandangi wajah Suri yang aku rindukan selama ini.


“Aku yang seharusnya bilang begitu, karena sudah satu bulan ini kamu koma dan aku takut kalau kamu ga akan bisa membuka mata lagi. Tapi, sekarang aku bersyukur, karena ketakutanku ga terjadi. Alhamdulilah, alhamdulilah Ya Allah.”


Aku dan Suri berpelukan. Kita seperti dua orang yang sudah lama berpisah dan kembali dipertemukan. Rasanya sungguh luar biasa dan tidak bisa terlukiskan. Kita lalu menangis sesenggukan. Sebuah tangisan keajaiban yang membuat kita berdua dipertemukan kembali setelah kematian. Aku tidak peduli lagi dengan buku atau film yang ternyata hanya mimpi dan belum menjadi kenyataan, karena kehadiran Suri lebih berharga dari semua itu. Sebuah kehadiran yang selama ini aku anggap biasa-biasa saja, namun menjadi luar biasa ketika tiba-tiba dia tidak ada.


“Mulai detik ini, aku akan mensyukuri kehadiranmu setiap hari. Aku tidak mau ada waktu yang terlewat tanpa mengucapkan rindu dan I love you. Kita akan bersama-sama kemanapun kita pergi. Kamu sangat berarti Suri, karena kamu telah berkali-kali membuatku jatuh hati.”

***


Setelah hari itu, aku jadi tahu apa makna dari syukur yang sebenarnya. Aku jadi bisa lebih menghargai apa yang sudah aku miliki saat ini. Aku bisa bahagia dan merasa kaya dengan apa yang sudah diberikan Tuhan kepadaku. Dan aku juga lebih bisa untuk menghargai waktu. Aku tidak ingin lagi menyia-nyiakan waktu dan berusaha memanfaatkannya sebaik mungkin, terutama untuk orang-orang yang aku cintai. Aku seperti hidup kembali hari ini, dalam kesempatan kedua yang tidak akan pernah datang lagi.


“Sayang udah siap?”


Tanya Suri yang kini sudah berpakaian dengan rapi. Dia lalu menghampiriku dan mengecup keningku. Aku sangat tegang dan takut untuk menghadapi hari ini. 4 tahun setelah aku bangun dari koma, mimpiku benar-benar terwujud. Hari ini aku dan Suri akan menghadiri acara yang diadakan oleh FFI. Kali ini aku menghadiri FFI dengan statusku bersama Suri sebagai suami istri. Kita juga yang memproduseri dan menyutradarai film ini, sehingga kita dinobatkan dalam beberapa nominasi, seperti sutradara film terbaik, produser film terbaik dan film terbaik. Aku sangat gugup dan takut, karena bayangan mimpi buruk yang pernah aku alami terus menghantui pikiranku.


“Sebaiknya kita ga usah datang!”


Pintaku tiba-tiba kepada Suri. Aku tidak mau apa yang ada dalam mimpiku benar-benar terjadi. Aku takut terjadi gempa yang menewaskan Suri.


“Kenapa sayang? Bukannya malam ini yang kamu nanti-nanti selama ini?”


“Tidak! Aku ga mau terjadi gempa yang akhirnya membuat aku kehilangan kamu. Aku lebih memilih kehilangan piala dibandingkan orang yang aku cinta.”


Suri lalu menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum kepadaku.


“Kamu percaya takdir? Kalau aku sudah ditakdirkan untuk meninggal hari ini, aku pasti akan meninggal, sekalipun aku sedang berada ditempat tidur. Kamu jangan terlalu banyak memikirkan yang tidak perlu, nanti bisa jadi kenyataan. Mending kita bayangkan saja rasanya kalau kita menang. Bagaimana?”


Aku lalu mengangguk dan berjalan bergandengan untuk menghadiri malam penganugerahan yang sudah kita nanti-nantikan.


Sepanjang acara berlangsung, aku sangat gugup dan tidak bisa fokus. Aku seperti merasakan de javu, sehingga kepalaku terasa berputar, perut mual dan nafas terasa sesak. Suri yang melihat kondisiku menjadi sedikit khawatir.


“Kamu minum dulu sayang.”


Suri menyodorkan sebotol air mineral kepadaku. Aku lalu meminumnya dengan tangan dingin dan gemetaran. 


“Tarik nafas dalam-dalam, lalu hembuskan.”


Aku lalu mengikuti saran dari Suri. Aku menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Aku merasa sedikit lebih tenang setelah itu.


Tidak berapa lama kemudian, nama “SURI” disebut sebagai pemenang film terbaik tahun ini. Semua orang bertepuk tangan, namun kepanikanku semakin menjadi-jadi. Sekarang tubuhku terasa lemas dan gemetaran. Aku sangat takut untuk berjalan ke atas panggung. Aku masih teringat dengan gempa dalam mimpiku yang merenggut nyawa Suri. Aku tidak ingin itu terjadi.


“Ayo sayang!”

“Aku ga bisa!”


Jawabku ketakutan, namun Suri tetap memaksaku untuk berdiri dan naik ke atas panggung bersamanya. Aku kemudian mengiyakan keinginan Suri dan mulai berdiri dengan perasaan sangat goncang. Aku melihat mata setiap orang tertuju padaku dan Suri, seperti mata malaikat maut yang sebentar lagi akan menjemput. Aku tiba-tiba menghentikan langkahku ketika kita hampir sampai ke atas panggung.


“Aku ga bisa!”


Ulangiku sekali lagi kepada Suri, namun Suri hanya menarik tanganku untuk berjalan bersamanya naik ke atas panggung. Saat berada di atas panggung, aku seperti mendengar sesuatu yang akan menghantam ke arahku. Aku panik, dadaku terasa sesak dan pandanganku kabur.


“Arrrrrrgggghhhhh!”


Aku terserang panic attack.

***


“Sayang! Selamat ya, kamu menang!”


Aku sudah berada di Rumah sakit, ketika Suri menunjukkan Piala Citra yang kita dapatkan malam ini. Aku tersenyum ke arahnya dengan mata berkaca-kaca. Aku lalu menangis sesenggukan.


“Aku senang bukan karena melihat piala itu, tapi karena aku masih bisa melihatmu. Aku cuma mau kamu ada dalam hidupku. Aku rindu.”


Suri memelukku erat. Aku menciuminya seperti tengah menciumi harta karun yang baru saja aku temukan setelah hilang beberapa saat.


“Mulai saat ini, aku tidak akan melepaskan genggaman tanganku padamu, karena aku tidak pernah tahu, kapan waktu akan memisahkan aku dengan kamu. I love you, bidadariku.”

***






Friday, April 7, 2023

SURI (Bagian 33)

 



Aku masih tidak menyangka ketika nama “SURI” disebutkan sebagai nama film terbaik tahun ini. Tepuk tangan dan ucapan selamat aku dengar dimana-mana, sehingga membuatku menitikkan airmata, karena rasa syukur dan bahagia yang tak terkira. Aku dan Suri saling bertatapan dengan mata berbinar. Kita tidak percaya bahwa imajinasi yang kita lakukan sewaktu di Bali, kini menjadi kenyataan.


Dreams come true!


Ucap Suri sambil memeluk dan mengecup pipiku. Tanganku lalu menggandeng tangannya untuk berjalan bersama menuju panggung. Jantungku berdebar-debar, tanganku terasa dingin dan sekujur tubuhku terasa berkeringat, padahal ruangan ini ber AC. 

Saat aku dan Suri berjalan menuju panggung, aku merasa kita seperti tengah berjalan menuju altar pernikahan. Berjalan berdua untuk mengucapkan janji setia sehidup semati. 


“Assalammualaikum, Wr, Wb. Alhamdulilah, terimakasih banyak saya ucapkan kepada Allah. SWT, mantan istri saya Suri, keluarga, kru film, panitia FFI,  dan para penonton yang sudah mendukung film ini. Saya benar-benar tidak menyangka bahwa mimpi saya kini menjadi kenyataan. Saya menulis buku “Suri”, ketika saya dan Suri masih berstatus sebagai suami istri. Saat itu kita sedang berbulan madu di Bali. Suri adalah orang yang selalu mendukung mimpi-mimpi saya. Dia adalah bukti keajaiban dalam hidup saya. Ada banyak yang ingin saya ceritakan tentang Suri, namun saya pasti tidak akan cukup waktu untuk menjelaskannya di sini. Intinya, Suri masih saya anggap sebagai belahan hati yang tidak akan tergantikan sampai kapanpun. Dari Suri, saya belajar apa itu ikhlas. Apa arti mencintai tanpa harus memiliki. Apa itu kasih, tanpa harus ada ikatan suami istri. Terimakasih Suri, yang sampai detik ini masih membuatku jatuh hati.”


Aku lalu memeluk dan mengecup kening Suri dengan berlinang airmata. Tepuk tangan dan sorak sorai semua pemirsa yang hadir, membuatku tak kuasa untuk terus menangis sesenggukan dalam pelukannya. Dan disaat seperti itu, Suri tiba-tiba melepaskan pelukanku. Dia lalu mengambil sesuatu dalam tasnya dan menunjukkannya kepadaku.


“Maukah kamu menjadi teman hidupku? Sampai rambut kita memutih, kulit keriput dan kita sudah tidak punya gigi lagi? Maukah kita terus bersama, meskipun jenis kelamin kita tidak memungkinkan kita untuk hidup bersama? Maukah kamu tetap di sampingku selamanya, meskipun banyak halangan dan rintangan yang hendak memisahkan? Maukah kamu menjadi pengantinku malam ini, dengan restu dari semua yang hadir di sini? Maukah kita menikah, meski tanpa buku nikah?”


Aku terharu dan kaget mendengar ucapan Suri yang sangat berani untuk berterus terang tentang perasaannya, di tengah-tengah masyarakat yang sangat anti terhadap hubungan seperti ini.

Suri masih menunggu jawabanku, sedang aku masih bingung dengan apa yang harus aku katakan di tempat ramai seperti ini. Aku lalu menghela nafas panjang dan berusaha untuk tidak terganggu oleh sorak sorai dan tepuk tangan dari semua orang yang hadir di sini.


“Suri, aku tahu sejak aku kembali lagi menjadi perempuan, ini sangat berat untuk kita. Kita bahkan harus membatalkan pernikahan yang sebelumnya aku anggap sebuah keajaiban. Kita harus rela melihat buku nikah yang tidak lagi ada kata sah di dalamnya. Kita harus berjibaku dengan kenangan dan foto nikah yang membuat kita berpisah. Suri, jujur itu adalah saat paling menyakitkan dalam hidupku, karena aku harus melepaskan apa yang sudah melekat dalam hati. Melihatmu setiap malam dalam tangis yang terasa begitu mengiris. Aku bahkan harus menahan diriku, saat nafsu bergejolak ingin menyentuhmu, namun itu tidak memungkinkan karena kita sekarang adalah sesama perempuan. Suri, aku memang mencintaimu, tapi aku juga lebih mencintai-Nya yang masih memberiku kehidupan hingga saat ini. Tapi, aku pernah bilang kepadamu bahwa aku juga ingin menua bersamamu. Aku ingin selalu ada di sisimu dan mengucapkan selamat pagi setiap hari. Aku tidak ingin berpisah hanya karena status yang tidak lagi berkata sah. Aku mencintaimu bidadariku. Selalu dan selamanya aku masih tertawan rindu. I love you.”


Tepuk tangan kini terdengar semakin meriah, terutama ketika aku memakai cincin yang diberikan oleh Suri. Suri menangis haru, ketika dia selesai memakaikan cincin dijariku dan aku memakaikan cincin dijarinya. Kita lalu saling berpandangan dengan rasa cinta yang menggebu-gebu. 


“Cium! cium! cium!”


Suara dari semua orang yang hadir membuatku tersipu malu, karena mereka terus meneriakki aku dan Suri dengan kata cium. Mereka sudah tidak sabar untuk melihat kita berciuman di atas panggung. Tapi, aku tidak menggubris ucapan-ucapan itu, karena aku masih merasa tabu. Aku lalu mencium kening Suri dan kemudian berpelukan.


“GEMPAAA!!”


Semua orang tiba-tiba panik dan berlarian menuju pintu darurat.


“ARRRGGGGHHHH!!!!”


Pandanganku kemudian menjadi kabur dan aku tidak mengingat apa-apa lagi.

***


Aku masih terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit, dengan luka berat karena gempa berkekuatan 4,3 skala ricthter yang melanda Kota Jakarta tadi malam. Kepalaku masih terasa sakit dan sekujur tubuhku sulit untuk digerakkan. Samar-samar aku hanya melihat ibuku yang kini duduk di sampingku dengan mata sembab dan terus memanjatkan doa.


“Mah, Suri dimana?”


Tanyaku dengan suara terbata-bata. Aku hanya ingin memastikan bahwa Suri baik-baik saja. Aku sangat merindukan dia yang mungkin sedang mengalami rasa sakit yang sama dengan yang aku rasakan, karena kita banyak tertimpa reruntuhan bangunan.


“Mah, Suri dimana?”


Ulangiku sekali lagi. Namun ibuku hanya membisu dan tidak menggubris ucapanku. Dia hanya mengambil air putih yang sudah dibacakan doa dan meminumkannya kepadaku.


“Suri baik-baik aja.”


“Tapi, dia dimana?”


“Diruangan lain!”


Aku menghela nafas lega, karena mendengar bahwa dia baik-baik saja. Hanya saja, aku masih khawatir karena belum bisa melihat kondisinya secara langsung. Aku sangat merindukan Suri, terlalu merindukannya, sampai aku menitikkan airmata. Rindu yang tidak biasanya dan datang dengan tiba-tiba.


“Mah bisa video call ke orang yang nungguin Suri? Yang jaga dia siapa? Aku mau liat kondisi dia saja sebentar saja.”


Ibuku menggeleng dan berusaha menahan tangisan. Sikapnya yang tidak biasa seperti itu membuatku curiga. Ibu seperti tengah menyembunyikan sesuatu dariku. Namun, belum sempat aku berbicara lagi, kepalaku terasa semakin berat dan mataku berkunang-kunang. Aku tidak ingat apa-apa lagi.

***


Dua minggu sejak kejadian gempa yang membuatku sekarang duduk dikursi roda, aku baru bisa lagi menghirup udara segar. Aku sudah tidak sabar untuk menemui Suri, Tissa dan Arka yang kini menjadi keluarga kecilku. Aku ingin segera memeluk Suri dan mengatakan kepadanya bahwa aku sangat merindukan dia. Aku ingin memeluk Suri dan mengatakan bahwa kondisiku sekarang baik-baik saja. Aku ingin segera menemui Suri untuk mengatakan rencana berlibur ke Bali bersamanya, seperti ketika kita menikah dan berbulan madu di sana. Aku sudah tidak sabar untuk segera keluar dari mobil dan melompat untuk memeluk dia dan mengatakan bahwa aku tidak bisa jauh darinya walau sebentar saja. Dan kini, saat aku keluar dari mobil, aku hanya melihat tempat asing yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Sandiego Hills Memorial Park, aku tidak mengerti kenapa aku berada di sini.


“Kita ngapain ke sini?”


Tanyaku kepada ibuku dan kepada semua yang ikut bersamaku dalam mobil. Aku bahkan melihat banyak orang di luar, termasuk orang tua Suri, anak-anak angkatku, mantan-mantanku dan pegawai-pegawai yang kini memakai baju hitam sedang duduk tidak jauh dari tempatku berada.


“Suri mana? Kenapa ga kelihatan?”

***


Suri, namanya kini aku lihat di atas batu nisan. Nama yang baru kemarin sore aku lihat saat aku menerima penghargaan. Nama yang baru kemarin sore aku lihat dipapan-papan iklan. Nama yang baru kemarin sore melekat dalam ingatan karena sebuah kecupan. Nama yang baru kemarin sore memakaikan cincin pernikahan. Dan sekarang aku harus rela namanya di pahat di atas batu nisan.


“Suri?”


Semua orang lalu memeluk dan menenangkan aku yang masih diam tak percaya dengan apa yang aku lihat. Rasanya aku ingin mati saja. Aku tidak mau berada dihari ini untuk menghadapi kenyataan pahit ini. Kehilangan dia untuk selamanya.


“Suri? Apa benar itu Suri?”


Aku masih diam ditempatku. Aku sulit untuk bisa berkata-kata lagi. Hatiku terlalu sakit untuk bisa percaya. Aku belum bisa berlapang dada.


“Kamu ingkar janji! Kenapa kamu pergi Suri? Kita udah janji, kita mau hidup sampai tua. Kenapa kamu ninggalin aku sendiri Suri?? Kenapa??”

***


Rasa sakit berkenalan denganku secara tiba-tiba. Dia berjalan terluka dan memakai baju duka. Inikah yang dinamakan kehilangan? Perasaan yang tidak pernah menunggu sebuah kesiapan. Perpisahan yang kadang datang ditengah tawa dan suka cita. Merenggut bahagia dengan seketika. Oh, aku hampir gila dibuatnya!


Andai aku tahu bahwa aku akan kehilanganmu dengan begitu cepat, maka aku tak akan membiarkan satu detikpun berlalu tanpa mengucapkan “I love you”. Akan aku hirup wangi tubuhmu sampai aku sesak dan tidak bisa untuk bernafas. Akan aku peluk tubuhmu sampai pagi, sehingga kamu tidak bisa untuk beranjak kemana-mana.


Sekarang kau tiada dan aku bisa apa? Mengendus baumu pun aku sudah tidak bisa, apalagi memeluk dan menatap wajah cantikmu untuk terakhir kali. Aku hanya bisa menatap batu nisan dan gundukan tanah yang menidurkanmu tanpa aku. Sendirian, dan kau pun sendirian.


Aku tidak bisa berandai-andai lagi. Tugasmu memang sudah selesai. Tapi, gerimis dihatiku baru saja dimulai. Dan aku harus bersiap dengan hujan, dengan basah yang tak bisa aku bagi dua. Inikah ternyata akhir kisah kita? Berpisah dalam duka.

Suri, satu nama yang mengandung banyak arti. Tentang keajaiban, kebahagiaan, dan kesedihan. Tapi, lebih dari itu aku jadi mengerti apa arti mencintai. Memiliki yang mustahil untuk dimiliki. Dan berakhir dalam puisi-puisi yang kau bawa mati.


Selamat jalan, Suri!

Namamu abadi,

Sebagai pelangi dan bidadari,

Dalam hati..

***



Tuesday, April 4, 2023

SURI (Bagian 32)



“Apakah kamu sudah siap untuk melewati batas bersamaku?”


Tanya Suri yang kini sudah berdiri di depanku dengan mengenakan baju yang transparan. Aku jadi teringat kembali pada momen saat pertama aku melihatnya memakai pakaian seperti itu, yaitu ketika kita baru pertama kali menikah. Hari dimana aku merasakan kebahagiaan yang tak terkira karena adanya sebuah keajaiban dari Tuhan. Tapi, kini dia berdiri di depanku sebagai seseorang dengan status yang berbeda. Dan aku pun berdiri di depannya sekarang bukan lagi sebagai pasangan, tapi sebagai perempuan.


“Suri, maaf aku ga bisa!”


Aku lalu berpaling dari hadapan Suri dengan perasaan sedih, karena aku tidak bisa seleluasa dulu lagi. Hatiku goncang ketika harus memilih antara mengikuti birahi atau hati nurani. Aku malu jika harus mengkhianati Dia yang sudah ada untukku sampai detik ini. Aku tidak bisa melakukannya lagi dengan Suri, walaupun aku sangat menginginkannya.


“Jangan bohongi diri sendiri!”


Suri kini memelukku dari belakang, sehingga membuatku tidak berkutik. Tapi, aku kemudian teringat lagi kepada Tuhan yang mencintaiku, bahkan sebelum aku mengenal Suri. Aku lalu teringat lagi ketika hanya Tuhan yang masih merangkulku ketika tak ada seorangpun yang mau mengakuiku saat aku terpuruk. Aku tidak akan pernah lupa ketika Tuhan memberikan keajaiban dengan mengubahku menjadi seorang laki-laki, sehingga aku bisa menikahi Suri. Aku tidak akan pernah lupa, ketika Tuhan membuatku terbebas dari lilitan hutang dan membuatku menjadi seorang jutawan. Aku tidak akan pernah melupakan semua kebaikan Tuhan.

Aku kemudian melepaskan tangan Suri dan berlari keluar dari kamar.


Langkahku gontai dan aku tak kuasa untuk menahan tangis ketika harus menolak dan meninggalkan seseorang yang paling aku cintai, hanya karena aku lebih memilih Tuhan.

Aku juga mendengar tangis Suri yang masih berada dalam kamar.


“Kalau kamu pergi, aku anggap hubungan kita benar-benar berakhir dan aku ga mau kenal sama kamu lagi!!”

Teriakkan Suri membuat aku sulit untuk melanjutkan langkahku. Aku merasa berat jika harus berpisah selamanya dengan dia. Tapi, aku juga tidak bisa mengikuti kemauannya untuk melakukan kontak fisik disaat pengadilan sudah membatalkan pernikahan kita, karena aku kembali menjadi seorang perempuan.


“Suri, aku menolak untuk melakukan ini bukan karena aku tidak mencintai kamu lagi. Tapi, aku hanya ga mau melanggar aturan Tuhan. Rasa sayangku sama kamu ga ada yang berubah sama sekali. Aku juga masih berada di samping kamu setiap hari. Aku cuma ga bisa melakukan kontak fisik layaknya hubungan suami istri. Itu saja! Apa aku salah? Aku merasa udah bersalah waktu tadi kita terbawa suasana saat dibioskop. Jadi, sekarang tolong kita kembali kepada komitmen awal bahwa kita akan terus menyayangi tanpa harus melewati batas yang sudah dibuat Tuhan. Aku tahu ini pasti sangat sulit bagi kita karena kita memiliki kebutuhan biologis sebagai seorang manusia. Tapi, kita belajar mengendalikannya pelan-pelan agar nanti jadi terbiasa. Kita bisa melakukan masturbasi kalau mau.”


Tangis Suri kini berhenti ketika aku menyebut kata masturbasi di depannya. Dia lalu tersenyum dan merebahkan badan di atas kasur. Tangannya lalu meraih handphone dan Suri kemudian mulai menonton. Aku tidak tahu film apa yang sedang Suri tonton. Aku lalu menghampirinya dan merebahkan badanku di sampingnya.


“Nonton apa?”


Suri hanya tersenyum dan menunjukkan handphonenya kepadaku.


“Film lesbian?”


Suri mengangguk dan mulai menonton film lesbian “Bellow Her Mouth” yang memang banyak memperlihatkan adegan seks sesama perempuan. Aku hanya menelan ludah melihatnya, seraya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku mantan istriku itu.


“Kamu nonton film begitu nanti makin menjadi-jadi pengen melakukan. Nanti kamu kesiksa sendiri!”


Ucapku yang tidak habis pikir dengan Suri yang bukannya mengambil air wudlu dan langsung tidur agar hasrat seksualnya menurun, tapi dia malah menonton film yang justru akan membuat dia semakin terangsang.


“Biarin! Kan tadi kamu bilang, aku bisa masturbasi. Nanti aku mau masturbasi di depan kamu.”


Suri kembali menonton dan tidak menghiraukan ucapanku. Aku lalu tertidur membelakangi dia. Aku kemudian menutup telingaku dengan bantal agar tidak mendengar suara desahan-desahan dari film yang sedang Suri tonton.


Beberapa menit kemudian, aku merasakan seperti ada gempa. Ranjang tempat tidurku terasa bergoyang. Sontak aku langsung berbalik ke arah Suri dan aku sangat terkejut ketika melihat Suri kini sudah telanjang bulat di sampingku. Bukan hanya itu, tangan Suri kini tengan menggesek-gesek kemaluannya. Dia benar-benar melakukan masturbasi. Aku langsung membalikkan badan kembali dan memaksakan diri untuk tidur, meskipun celanaku juga mulai basah dan libidoku naik seketika.


“Astaghfirullahaladzim, gimana aku bisa kuat kalau begini!”


Gumamku dalam hati yang terus dipancing oleh Suri sehingga membuatku birahi.

***


Sudah beberapa bulan sejak filmku tayang dibioskop-bioskop. Kini aku menerima surat undangan dari panitia Festival Film Indonesia untuk menghadiri acara malam bergensi tersebut. Aku tidak menyangka bahwa film Suri yang sampai detik ini sudah menembus angka 10.000.000 penonton itu, kini akan bersaing dengan film-film lain yang tidak kalah bagus dan sangat memotivasi diajang FFI.


“Sayang, masih ingat ga dulu sewaktu di Bali, aku pernah meminta kamu untuk pura-pura menjadi MC dalam acara FFI? Lalu kamu menyebut film “SURI” sebagai film terbaik tahun ini dan aku berjalan ke atas panggung untuk menerima penghargaan. Kamu masih ingat ga?”


Suri lalu menguap mendengar aku yang nyerocos daritadi, padahal dia baru saja terbangun.

“Ngomong apa sih pagi-pagi?”


Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala karena Suri ternyata tidak mendengarkan ucapanku dari tadi.


“Ngomongin pantat, kenapa bisa bolong?"


Ucapku kesal karena merasa tidak didengarkan. Suri hanya tertawa dan memelukku manja.


“Hahaha, apaan sih! Kamu kenapa juga pagi-pagi udah sensian gitu?


“Ya habisnya aku nyerocos dari tadi, ternyata kamu ga denger.”


“Ya udah coba jelasin lagi. Sekarang aku bakal dengerin baik-baik.”


Suri kini tampak memasang wajah serius dihadapanku. Aku kemudian menjelaskan kepadanya perihal surat undangan dari panitia FFI. Aku juga mengingatkan kepada Suri tentang akting kita sewaktu di Bali, ketika aku pura-pura memenangkan piala FFI dalam kategori sebagai film terbaik. Dan kini, tanpa disangka-sangka aku kemudian diundang untuk menghadiri acara malam anugerah FFI, walaupun aku tidak tahu siapa yang akan memenangkan penghargaan sebagi film terbaik, namun aku sudah sangat bersyukur bahwa film berjudul “SURI” bisa masuk nominasi.


“Berarti kepura-puraan pada akhirnya bisa menjadi kenyataan?”


Tanya Suri seperti masih terkejut karena imajinasi ternyata bisa menjadi kenyataan.


“Iya, itulah yang dimaksud oleh Neville Goddard dalam bukunya The Law of Assumption. Kita hanya perlu menganggap imajinasi sudah terjadi, sehingga hal itu bisa benar-benar terjadi.”


Suri mengangguk-angguk mendengar penjelasanku. Dia lalu tersenyum dan mendekatkan wajahnya kepadaku.

“Kalau begitu, aku akan mencoba satu hal yang sangat aku inginkan selama ini. Semoga saja dengan berpura-pura sudah mewujudkannya, suatu hari apa yang aku impikan itu benar-benar bisa terwujud.”


Aku mengerutkan keningku dan merasa penasaran dengan apa impian Suri selama ini yang belum terwujud.


“Apa itu?”


“Kita pura-pura menjadi suami istri lagi bagaimana? Biar nanti bisa benar-benar terjadi!”


“Bagaimana caranya pura-pura untuk menjadi suami istri yang kamu maksud? Kita pura-pura menikah lagi di pelaminan?”


“Bukan!”


“Lalu apa?”


Suri hanya tertawa dan berbisik mesra.


“Kita bercinta!”

***


Bersambung…