Saturday, January 30, 2021

TOXIC

       

Memasuki tahun keempat sejak aku mengenalnya, ternyata tidak banyak yang berubah darinya. Dia masih berbisa seperti biasanya. Racun yang tak bisa disembunyikan dari perangainya yang manipulatif dan selalu menganggap manusia adalah lahan yang bisa diperas dan ditindas.


    Kita menjalin sebuah pertemanan yang berbeda ras dan agama. Aku mengira tidak ada yang salah dengan perbedaan itu. Aku senang mendengar cerita-ceritanya saat menjelang natal atau imlek. Kadang-kadang dia memang menyenangkan, namun sisi gelapnya lebih banyak dari yang aku kira. Sisi gelap yang sebetulnya tidak aku permasalahkan jika seandainya dia mau berubah. Tapi, dia tidak sejinak itu.


    Di dalam kepalanya yang dia kejar selalu tentang keuntungan. Selain uang, seks juga begitu mudah dia lakukan jika itu berkaitan dengan uang. Aku tidak pernah paham, apakah uang adalah satu-satunya kebahagiaan baginya? Hutang budi, berbelas kasih dan empati seakan tidak pernah ada dalam kamusnya.


    Aku pernah mempertahankan pertemanan yang menurutku tidak sehat, karena dia sering memperlihatkan hal-hal negatif dan sering merugikan orang lain. Dia sering membangga-banggakan dirinya dan menganggap orang lain berada di bawah dia. Dia sering menjanjikan kebaikan, namun tidak pernah dia tepati, seperti memberikan kado ulang tahun. Dia pembohong yang unggul, walaupun tak bisa dipungkiri sebagai manusia kita pernah berbohong sekali atau dua kali dalam keadaan terpaksa, tapi berbeda dengan dia, dalam hal-hal tidak pentingpun dia akan berbohong, misalnya dia diberikan hadiah oleh A dan dia berkata kepada keluarganya bahwa itu dari B. Dia bahkan sering melakukan hack terhadap nomor whatsapp dan dalam hal ini dia terbilang ahli.


    Kali ini aku merasa tidak ada yang perlu lagi dipertahankan dalam pertemanan ini, terutama saat sikap dia berubah karena saat ini dia sedang banyak uang (uang dari salah satu lembaga keuangan yang dia katakan tidak akan dibayar). Ini yang membuatku heran, dia sangat suka merampas hak orang lain tanpa berpikir bahwa itu salah. Jika pada normalnya orang yang meminjam uang akan membayar dan tidak membayar apabila dia bangkrut atau ada masalah (jika ini terjadi, maka biasanya orang akan mencicil), tapi dia sejak awal sudah berniat tidak akan membayar.


    Pertemanan yang baik adalah sebuah jalinan yang bisa membawa kepada kebaikan dan tidak merugikan satu sama lain. Aku berharap semoga dia bisa mendapat hidayah dan mengubah perilakunya menjadi lebih baik. Dan untuk kali ini, aku merasa cukup sampai di sini. Berteman dengan racun tidak semudah yang dibayangkan, karena jika kita tidak kuat, maka lama kelamaan kita akan mati oleh racun itu sendiri, MENGERIKAN.

Thursday, January 21, 2021

Hedonisme Cinta



Siang ini, di Kota Metropolitan, Jakarta. 

Jalanan ibukota tampak meraung-raung, bak singa lapar ditengah kemacetan kota, dengan udara panas bak pijaran api yang tengah melumat keringat orang-orang yang berlalu-lalang di atasnya.

Wajah Jakarta siang ini cukup mengagetkanku. Dipusat perbelanjaan yang lumayan besar ini, setiap pasang mata hampir tersedot oleh pesona dagangan-dagangan yang dipajang mewah di depan tokonya. Dengan cahaya lampu yang begitu terang, dekorasi yang tertata rapi, dan model baju yang up to date dengan merk ternama, serta harga yang fantastis, membuat setiap orang yang melihatnya rela merogoh kocek yang tidak sedikit demi memenuhi standar pergaulan modern orang-orang Jakarta. Tak terkecuali dengan Ila, seorang perempuan muda, yang saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa disalah satu Universitas ternama di Kota Jakarta. Fashion baginya seperti udara yang saat ini aku hirup. Maka, tak heran jika sedari tadi aku melihat tangannya begitu gesit mengambil satu persatu dagangan yang ada disetiap toko yang ada di mall ini. Dia mencoba beberapa pasang sepatu, baju, serta tas-tas dengan hiasan berkilau yang membuat aku silau karena harus berhitung dengan angka-angka yang telah terkuras begitu banyak hingga ujungnya selalu menyisakan nol besar untukku menggigit jari di akhir bulan.

Inikah wajah kusut ibukota? Yang membuat orang yang selalu mengatasnamakan cinta tunduk dan patuh hingga terkapar tak berdaya? Sepertiku yang kini tertunduk lesu di atas kursi panjang di depan toko yang selalu bersahabat dengan kaum wanita, “Victoria Secret”.

Aku masih harus menunggunya yang kini tengah memilih beberapa parfum dan celana dalam. Wajahnya tampak berseri-seri, dengan senyum lebar dan semangat 45 yang menggebu-gebu, membuatnya tak lelah berjam-jam berpetualang dari satu mall ke mall yang lain.

    “Sayang, kenapa diem aja sih?”

Ila yang baru saja ke luar dari toko dengan tentengan belanjaan yang lebih dari tiga itu, kini mulai memperhatikanku yang sedari tadi tidak banyak bicara dan lebih sering untuk memintanya duduk atau istirahat terlebih dahulu.

    “Aku cape.”

Senyumnya semakin lebar ketika melihat aku yang tampak lusuh dengan keringat bercucuraan dan tangan yang dipenuhi dengan tentengan belanjaan-belanjaan dia. 

    “Ah payah kamu, segitu aja capek!”

Dia lalu menarik tanganku seraya membawaku menuju salah satu toko pakaian pria.

    “Sayang, ini bagus deh buat kamu, suka ga?”

Ila menunjukkan sweater berwarna abu-abu pilihannya itu kepadaku. Dengan wajah memelas dan tanpa ekspresi, aku mengiyakan pilihannya.

    “Suka.”

Aku lalu merogoh dompet dan mengeluarkan beberapa uang seratus ribuan, lalu membayarnya, selesai. Itulah pekerjaanku setiap kali Ila mengajaku untuk pergi jalan-jalan ke mall, selain menenteng barang-barang belanjaannya, aku juga harus selalu siap sedia dengan kertas-kertas berangka didompet atau kartu-kartu siap gesek yang biasa dipakai untuk membeli apapun, karena  kalau sampai tidak ada, maka aku akan disuguhi wajahnya yang cemberut, sikap tidak ramah, bahkan yang paling parah adalah kata “putus”.

***

    Ini sudah memasuki tahun ketiga sejak aku mengenal Ila, namun tak pernah ada yang berubah dari dia, pun dari diriku sendiri. Aku masih melihatnya sebagai ratu belanja yang tak pernah berhenti meminta ini itu layaknya seorang anak kecil yang tak pernah mengenal kata puas. Kadang aku sempat berpikir tentang hubungan macam apakah ini? Dia dengan segudang keinginan-keinginannya yang selalu berkaitan dengan uang dan aku dengan sifat posesif, takut kehilangan, serta mengagung-agungkan cinta, akhirnya membawa aku dan dia pada sebuah hubungan layaknya seorang majikan dan kacungnya. Seperti siang ini, ketika aku terjebak diruangan berwarna ungu, tempat dia merebahkan badannya karena kelelahan, lalu dia menyuruhku pulang, setelah meminta beberapa lembar uang seratus ribuan untuk ke salon, namun aku menolak untuk pulang karena masih sangat lelah.

    “Aku pulang besok aja, cape. Pulang pergi naik kendaraan umum, panas. Nanti aku sewa kosan harian aja buat nginep, besok kamu ga harus nemenin aku juga kalau ga bisa kemana-mana.”

Air mukanya lantas berubah seketika. Dia tampak geram ketika aku tidak bisa menuruti perintahnya. 

    “Aku bilang pulang, besok aku ga bisa ke mana-mana!”

Tanpa menatap wajahku, dia masih bersikeras menyuruhku pulang, namun aku tidak bisa mengiyakan perintahnya kali ini. Sebagai orang yang tengah kasmaran dan harus menjalani hubungan jarak jauh, maka sudah sewajarnya aku masih ingin berada di sini, menumpahkan segala perasaan rindu dan berlama-lama dengan orang yang aku cintai. Namun, beda halnya dengan dia. Aku mungkin tidak pernah ada dalam pikirannya, karena pikirannya sudah penuh dengan daftar keinginannya yang harus selalu dibeli dengan uang.

    “Aku tadi bilang, aku mau sewa kosan aja buat istirahat dan kamu ga perlu nemenin aku jalan-jalan juga besok.” 

Dia lalu berbalik dan menatap mataku tajam.

    “Kamu keras kepala banget sih. Ya aku ga enaklah ninggalin kamu sendirian gitu. Udah pulang aja, nanti kemaleman!”

Suara dia kini meninggi dan urat-urat diwajahnya semakin tegang. Dia adalah orang yang cepat naik pitam dan aku terbiasa menjadi sasaran paling empuk untuknya menumpahkan kemarahan. Aku lantas berdiri dan menatap matanya lekat-lekat dengan perasaan kecewa yang menjadi-jadi.

    Apa kamu ga kangen sama aku? Orang lain itu seneng banget kalau bisa ketemu sama pacarnya dan pengen berlama-lama, tapi kamu? Yang kamu pikirin cuma keinginan-keinginan kamu, bukan aku!”

Aku lalu beranjak ke luar dari kamarnya dengan perasaan campur aduk. Dia lalu mengejarku seraya berteriak dan menghamburkan uang pemberianku tadi, hingga berserakan di atas tangga.

Aku tidak mempedulikannya dan terus berjalan, hingga aku sampai di ruangan tamu, dia lalu  melemparkan handphone miliknya ke arahku hingga terdengar suara benturan yang sangat keras, namun aku masih tidak menoleh dan berjalan hingga menuju halaman rumahnya dan langkahku terhenti karena pagar rumah itu terkunci.

    “Sial!”

Umpatku kesal, lalu aku mendengar suara tangisan tak jauh dari belakangku. Aku lantas menoleh, dan melihat Ila tengah duduk di kursi seraya menangis. Hatiku tak kuasa melihatnya, lalu Aku  bergegas menghampirinya dengan perasaan bersalah.

    “Handphone aku hancur dan ga bisa nyala. Aku ga tau nanti harus bilang gimana sama ibu.”

Aku menatap handphone yang kini sedang ia tangisi. Layarnya pecah dan bentuknya sudah tidak beraturan. Aku diam dan tidak bisa berkata apa-apa. Pandanganku lalu dialihkan ke atas untuk menahan airmata yang akan jatuh.

    “Aku beli handphone kredit aja sama kamu, gimana?”

Aku lalu mengangguk tak berdaya.

***

    Ketika mendengar satu lirik lagu yang mengatakan bahwa wanita adalah racun dunia, aku langsung setuju dengan ungkapan itu. Bagaimana tidak, wanita yang begitu indah, lembut dan mempesona ternyata menyimpan racun yang berbisa. Seperti halnya Ila, sejak dia meminta agar aku membelikannya handphone dengan cara kredit, sejak itu pula aku yang harus membayar cicilannya. Kadang kala, terbesit dalam pikiran bahwa dia hanya memanfaatkanku saja, namun tiba-tiba pikiran itu kalah oleh gejolak cinta dan nafsu yang meluap. Ila, dialah kegilaan yang sering orang katakan sebagai cinta pertama.

    Hingga pada satu titik, apa yang aku miliki terus terkikis dan hampir habis, maka aku menjual apapun yang aku miliki demi memenuhi keinginannya. Namun, ketika dia mengetahui kondisiku yang mulai terombang-ambing oleh pasang surut rupiah, dia kemudian mengatakan satu hal yang meruntuhkan segala angan-anganku.

    “Aku mau putus!”

Dia berdalih bahwa aku posesif, cemburuan dan hubungan seperti ini tidak akan sehat apabila dilanjutkan.

Aku yang tidak bisa menerima keputusannya, lantas datang tiba-tiba ke rumahnya, bersujud di depan dia, seraya memohon-mohon agar tidak ditinggalkannya. Dia berang, lantas memukuliku dengan benda-benda keras yang ada di kamarnya, namun aku tidak melawan sedikitpun. Tubuhku memar-memar, namun  Aku masih diam di pojok kamarnya sebelum dia menarik kembali ucapan putus itu. Lalu setelah menunggu cukup lama, dia pun luluh, dan menerimaku kembali, dengan masa percobaan selama tiga bulan. Jika aku masih cemburuan, posesif dan mengungkit masalalu dia, selama dalam masa percobaan itu, maka hubungan ini benar-benar selesai. Deal, aku menyetujuinya dan hari itu berakhir dengan jalan-jalan lagi ke mall.

***

    “Aku mau tobat.”

Sebuah pesan singkat masuk tiba-tiba, tepat satu minggu setelah pertemuanku dengan Ila.

Aku terdiam cukup lama dan terus menatap kalimat singkatnya dilayar handphone. Taubat? Kata-kata itu langsung menyambar seperti petir disiang bolong. Bagaimana tidak, kata taubat bagi pasangan wanita dari seorang wanita merupakan titik akhir yang paling akhir dari sebuah hubungan. Pipiku lalu basah, namun aku kuatkan diri untuk menayakan alasannya.

    “Kenapa? Ko tiba-tiba?”

Tak lama kemudian, dia lalu menjawab pertanyaanku dengan kalimat yang singkat, padat dan jelas.

    “Aku merasa udah jauh sama Tuhan. Aku mau tobat. Aku rindu sama Dia!”

Hening, namun hatiku ricuh. Mendengar kata Tuhan, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku lantas tersenyum, dan membalas pesan darinya untuk terakhir kali.

    “Ya udah kalau gitu, aku ikhlas melepas kalau itu karena Tuhan.”


***

    Dusta. Tak ada yang lebih menyayat hatiku tatkala aku melihat dengan mata kepalaku sendiri beberapa fotonya dengan seorang perempuan berambut pendek yang kemudian aku ketahui bahwa dia bernama Mila, teman kuliahnya yang sudah bekerja sebagai IT disalah satu perusahaan asuransi di Jakarta. 

Dadaku terasa bergejolak dan amarahku tidak bisa dibendung lagi. Bagaimana tidak, setelah dia mengucapkan kata taubat, dia lantas mengajakku kembali ke dalam hingar bingar dunianya yang penuh gemerlap dan aku kembali masuk dalam perangkapnya sebagai budak nafsu. Namun kemudian dia raib ditelan waktu dan aku temukan dia dalam pangkuan seorang wanita bernama Mila.

Kali ini, tak ada yang bisa meredakan amarah yang berbalut nyeri.  Tepat dini hari, tatkala mata masih tak bisa terpejam, tanganku mulai menulis sepucuk surat untuk meredakan rasa sakit setelah didzolimi.


    Assalammualaikum, Wr, Wb


Om dan tante yang saya hormati, kali ini saya memberanikan diri untuk menulis surat, karena saya tidak bisa tidur sama sekali. Saya ingin menceritakan sesuatu yang mungkin akan sangat melukai hati om dan tante. Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Baiklah, saya akan mulai menceritakannya.

Tiga tahun yang lalu, saya pertama kali mengenal Ila. Dari ceritanya waktu itu, saya mengetahui bahwa dia telah beberapa kali menjalin hubungan dengan wanita, hingga akhirnya Ila menjalin hubungan dengan saya. Ini adalah pengalaman pertama saya memiliki hubungan spesial dengan seorang wanita. Mulanya tabu, tapi lama-lama sayapun tidak tahu malu.

Seiring berjalannya waktu, Ila mulai menunjukkan sisi lainnya yang baru saya ketahui. Gaya hidupnya yang hedonis, membuat saya harus mengeluarkan uang yang selama ini saya dapatkan dengan susah payah. Bukan hanya itu, dia bahkan berani memukul dan membentak-bentak saya di depan umum, padahal orang tua sayapun tidak pernah memukuli saya. 

Ketika persediaan uang saya menipis, saya bahkan rela menjual barang-barang saya demi dia, namun ketika saya benar-benar berada dititik paling bawah dari segi ekonomi, dia kemudian meninggalkan saya dengan dalih bertaubat. Saya kemudian mengiyakan. Namun, tak lama kemudian, ketika dia mengetahui bahwa keuangan saya mulai membaik, dia kemudian kembali kepada saya untuk meminta ini dan itu, namun dia menolak untuk menjadi pacar saya lagi. Lalu, beberapa saat setelah itu, dia menghilang secara tiba-tiba. Dan malam ini, saya akhirnya mengetahui bahwa dia telah menjalin hubungan dengan teman kuliahnya yang bernama Mila.

    Sekali lagi, saya meminta maaf karena telah melukai hati om dan tante, namun sikap Ila sudah sangat keterlaluan, selain telah menjerumuskan saya kedalam percintaan sesama jenis, menguras materi saya, dia juga sempat melempar saya dengan handphone miliknya hingga pecah dan kemudian menggantinya dengan handphone serupa dengan cara kredit dan hingga detik ini saya yang mencicilnya.

    Semoga setelah om dan tante mengetahui perilaku Ila yang seperti ini, Om dan tante bisa lebih memperhatikannya, terutama dalam hal materi, agar tidak ada lagi korban-korban lainnya seperti saya. Bersama ini pula saya melampirkan foto-foto sebagai bukti dari apa yang telah saya ceritakan. Sekali lagi saya ucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya.


Wassalam,

***

    Jalanan masih basah karena guyuran hujan tadi malam. Aku masih menatap lalu-lalang kendaraan yang lewat di depan mataku dengan tatapan yang kosong. Surat sudah aku kirimkan melalui travel agar bisa sampai hari ini juga, namun aku masih ragu apakah surat itu akan sampai kepada orang tuanya atau dia yang akan membuka lalu membuangnya.

Dengan perasaan yang masih berkecamuk dan mata sembab, akhirnya aku melihat satu email masuk yang membuat mataku berkaca-kaca ketika membacanya,

    “Suratnya sudah sampai, terimakasih! Aku yang mengambil surat itu, lalu aku berikan langsung kepada ayah karena tertulis nama pengirimnya adalah dari CV. Berkah Syukur dan aku mengira bahwa itu surat dari rekan bisnis Ayah, namun ternyata bukan. Ayah kemudian marah seraya menangis. Akhirnya hubunganku dengan Mila harus berakhir dengan cara seperti ini, kamu puas? Aku sekarang merasa hancur, sehancur-hancurnya. Gara-gara hal ini juga, aku kemudian dijodohkan dengan seorang laki-laki pilihan orangtua dan itu terasa menyakitkan. Terimakasih sekali lagi, kamu sudah berhasil!”

***

    Aku percepat langkahku menuju pesawat yang sudah berada di depan mata. Satu persatu anak tangga telah aku lewati, hingga akhirnya aku harus benar-benar masuk ke dalam dan terbang menuju tempat baru yang jauh dari sini. Aku kemudian menoleh, lalu melambaikan tangan pada masalalu.


Selepas jarak kita jauhkan,

Lalu sepasang kenangan jatuh berguguran

Maka, dipintu mana lagi akan aku temui waktu?

Sedang hatiku masih tertawan oleh bejana masalalu 

Masalalu yang masih tertera nama itu,

Rindu..

   

 

   

 

TILEM

 


Stasiun Bandung, 10 Februari 2012

    Sebuah koran terbuka di atas kursi. Samar-samar aku melihatnya dari jauh, sepertinya berita duka cita yang sering aku lihat di koran-koran pada umumnya. Namun, kali ini ada yang mendorongku untuk melihat koran itu lebih dekat dan membacanya dengan seksama. Dengan rasa penasaran, aku mengambil koran itu dan membacanya. Di sana tertulis ungkapan terimakasih dari pihak keluarga korban yang meninggal dunia karena tenggelam saat melakukan arung jeram di Sungai Cikandang, Pakenjeng, Garut selatan. Ungkapan terimakasih tersebut ditujukan kepada pihak-pihak yang telah membantu melakukan pencarian hingga jasad korban berhasil ditemukan dihari keempat semenjak korban dinyatakan hilang. 

    Anna Maria, namanya seakan menjadi hidup dalam bayangan. Kesedihannya, ketakutannya, rasa sakitnya dan semua yang dia alami pada saat menjelang kematian kemudian bisa aku rasakan seketika. Entah apa yang terjadi. Pikiranku menjadi kosong dan lamunan seakan menyita detik demi detik yang aku lalui di stasiun ini.

    “Teh, keretanya udah datang!”

Sepupuku Putri membuyarkan lamunanku dan mengajakku untuk segera masuk ke dalam kereta api. Tanganku kemudian mengambil koran tadi dan hendak membawanya pulang, namun Putri melarangnya karena bisa jadi itu adalah koran milik orang lain yang tertinggal.

    Di dalam kereta, aku tidak berhenti merasakan sebuah kesedihan yang mendalam. Sebuah perasaan yang tidak masuk akal karena aku sama sekali tidak mengenalnya. Aku kemudian teringat temanku yang tinggal di Garut, Sulaiman yang kemungkinan tahu di mana Sungai Cikandang itu berada.

    “Assalammualaikum, Man tau Sungai Cikandang?”

Aku mengirimkan pesan kepada Sulaiman yang memang tinggal di Garut. Ada hasrat dalam diriku yang berusaha mencari tahu lebih banyak tentang almarhum dan lokasi kejadian di mana dia meninggal saat itu.

    “Waalaikumsalam, kebetulan teh itu kan daerah tempat aku tinggal. Kalau rumahku, naik lagi dari Sungai Cikandang. Ada apa teh?”


Mendengar jawaban Sulaiman seperti itu, hati aku girang bukan main. Aku sudah berniat datang ke sana, namun tadi sempat bingung karena tidak mengetahui tempatnya, tapi kali ini ada temanku yang tinggal di sana sehingga aku bisa meminta bantuannya untuk menjemputku.

    Kereta api berhenti di Stasiun tujuanku pada pukul 21.00. Suasananya sudah mulai sepi dan udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Putri pulang ke Majalaya, sedangkan aku ke Dangdeur, sehingga kita berpisah di stasiun.

Sesampainya di rumah, aku melihat ibuku sedang sms-an dengan temannya yang berprofesi sebagai paranormal. Aku sudah tidak suka dengan temannya itu, namun ibuku masih saja meladeni cerita bualan dan curhatannya. Kemudian, setelah ibu aku tidur, aku mengirimnya pesan agar dia tidak mengganggu ibuku lagi, namun dia bersikeras menjelaskan hal-hal berbau mistis yang menurutku tidak masuk akal. Aku lalu meminta dia membuktikan kalau dia bisa mengetahui hal-hal yang berbau ghoib.

    “Coba kalau bapak memang jago, datangkan Anna Maria, mahasiswi yang baru saja meninggal karena arung jeram!”

Sebetulnya aku bukan mau menantang dia, tapi aku hanya muak saja dengan tingkah dukun itu. Dan tanpa disangka, dia lalu mengirimkan pesan yang membuatku terkejut.

    “Baik, ditunggu ya nanti jam 00.00, arwahnya sudah ada di sana. Nanti bapak kabari lagi!”

Membaca jawaban dukun itu, aku kaget karena sebetulnya aku tidak meminta arwah perempuan itu datang ke rumahku malam ini dan memang aku juga berkeyakinan bahwa tidak ada roh yang gentayangan di dunia ini.

Aku kemudian masuk ke dalam kamar, namun mataku tidak bisa terpejam. Tepat pukul 00.00 aku dikagetkan oleh lampu kamarku yang tida-tiba mati, lalu menyala, lalu mati lagi, begitu seterusnya. Aku kemudian ke luar dan berpikir bahwa lampu kamarku akan mati atau sedang korslet. Aku pindah ke kamar depan yang memang kosong. Namun, baru saja mataku terpejam, lampunya kemudian mengalami hal serupa seperti lampu di kamar belakang, nyala dan mati, terus menerus. Bukan hanya itu, sekilas aku melihat banyangan orang lain di cermin besar yang ada di kamar. Sontak aku lari dengan cepat ke kamar ibuku dan tidur di sana dengan perasaan penuh ketakutan. Ibuku sempat marah karena membangunkannya yang saat itu tengah tidur bersama keponakanku yang masih balita.


    Keesokan harinya hingga seminggu setelah malam itu, aku tidak pernah bisa tidur di malam hari dan bahkan siang hari pun saat aku ingin tidur siang, aku minta ditemani ibu aku karena merasakan ketakutan yang luar biasa.

Karena merasa lelah dengan keadaan ini, aku kemudian meminta saran seorang ustad yang direkomendasikan oleh dosenku.

Ketika aku mendatanginya, dia sedikit terkejut karena ada arwah yang mengikutiku sedari tadi dengan wajah pucat pasi, kulit di wajah dan seluruh tubunhnya mengelupas dan dia tidak berhenti menangis.

    “Hah?? Maksud Bapak bagaimana? Arwah itu mengikuti saya? Bukankah di dalam ajaran agama kita tidak ada yang namanya roh gentayangan? Kalaupun ada, itu hanyalah jin korin yang menyerupai wajah kita. Bukan begitu?”

Pak Ustad hanya tersenyum mendengar pertanyaan dan pernyataan dariku. Dia kemudian mengehela nafas, memejamkan matanya sebentar, lalu menjawab pertanyaanku dengan sangat hati-hati.

    “Wallahuallam, roh memang urusan Allah. Memang benar, jarang sekali ada roh gentayangan, namun bukan berarti tidak ada. Ada beberapa kasus langka yang terjadi di luar akal sehat, contohnya seperti saat ini. Dia belum ikhlas meninggal dunia. Dia harus disempurnakan. Dia akan mencari orang yang memiliki beberapa kesamaan dengannya untuk bisa menyampaikan pesan itu.”

Aku diam cukup lama mendengar penjelasan dari Pak Ustad. Dadaku berkecamuk dan pikiranku masih belum bisa menerima penjelasan dari Pak Ustad. Aku tidak membantahnya, aku hanya diam, namun sepertinya dia menyadari bahwa aku masih ragu dengan ucpannya.

    “Ada banyak hal yang memang tidak bisa dimengerti oleh logika. Jangan banyak berpikir lagi, karena tugas kita sekarang adalah menyempurnakan dia.”

Setelah berpikir cukup lama, aku kemudian mempertimbangkan ajakan Pak Ustad untuk datang langung ke Sungai Cikandang dan bertemu Anna Maria di sana pada pukul 00.00. Menurut Pak Ustad, Anna Maria masih tersesat dan sering menangis pada malam hari di bebatuan di pinggir sungai. Jadi, kita harus datang ke Sungai pada malam hari dan menolong arwah itu untuk bisa pulang.


    Malam jumat seperti yang dijanjikan oleh Pak Ustad, aku bersiap-siap untuk pergi ke Sungai Cikandang. Tidak banyak yang aku bawa untuk datang ke sana, terlebih lagi Sulaiman, tunangannya dan anak-anak pesantren akan menjamu aku di sana. Namun, tepat pukul delapan pagi, Pak Ustad tiba-tiba membatalkannya dan meminta aku untuk mengundurnya karena menurutnya akan cukup berbahaya jika kita berangkat hari ini. Aku sangat kesal mendengarnya, sehingga aku memutuskan untuk berangkat sendiri menggunakan kendaraan umum. 

    Perjalanan menuju Pakenjeng cukup jauh, aku harus naik tiga kali angkutan umum untuk sampai di sana. Sesampainya di sana, Sulaiman dan teman-temannya menjemput dengan menggunkan motor menuju rumahnya yang berada di atas gunung.

Jalan menuju rumah Sulaiman sangat terjal, licin dan berkelok. Aku sempat jatuh satu kali karena terpelincir. Suasana Sungai Cikandang, Desa Neglasari begitu asri. Aku kemudian melewati sungai yang telah merenggut nyawa Anna Maria. Rasanya begitu menyayat hati. Arusnya begitu deras dan menurut Sulaiman, sungai ini cukup angker dan berbahaya karena menurut mitos yang ada, ada makhluk raksasa sejenis ikan siluman yang seringkali memakan korban, bahkan saat air sungai ini meluap, makhluk itu seringkali menampakkan diri. Mitos ini sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda.

    Sesampainya di rumah Sulaiman, aku dijamu dengan baik oleh keluarganya. Tetangga dan teman-teman Sulaiman bahkan datang mengunjungiku. Aku cukup terkenal dikalangan mahasiswa-mahasiswi STT Garut karena sering menjadi pembicara Kewirausahaan di sana dan juga di salah satu radio di Kota Garut.

Setelah bercerita tentang kejadian yang aku alami, Sulaiman mengajakku bertemu dengan salah seorang ustad yang menjadi sesepuh di Desa Neglasari. Aku sempat kesurupan saat diobati oleh Pak Ustad.

    “Neng, ieu the sanes lelembutan jalmi itu wae anu ngiring, tapi aya oge anu hoyong nyilakakeun eneng ameh pupus sapertos istri ieu. (Neng, ini bukan hanya arwah dia yang ikut, tapi ada juga yang ingin mencelakakan neng agar meninggal seperti perempuan ini).

Aku sangat kaget mendengar penjelasan dari Ustad Eman. Aku tidak bisa menebak, siapa yang ingin agar aku mati. Tapi, memang akhir-akhir ini aku sempat melakukan hal-hal yang di luar logika, salah satunya adalah memesan satu unit lahan makam di Sandiego Hills, tempat di mana Anna Maria dimakamkan.

   

    Ustad Eman telah melarangku untuk turun ke sungai dan aku pun menuruti perintahnya. Namun, tepat pada pukul 23.00 aku terbangun dan merasakan dorongan yang sangat kuat untuk turun ke sungai. Dengan tanpa rasa takut, aku membuka pintu rumah Sulaiman tanpa sepengetahuan mereka. Aku berjalan menyusuri jalan pegunungan yang licin, terjal dan minim penerangan. Angin bertiup sangat kencang, membuat dedaunan  dan ranting pepohonan yang aku lewati sepanjang jalan seakan melambai-lambai. Suara katak, air yang mengalir, dan jangkrik terasa begitu mencekam malam di tengah-tengah hutan yang masih begitu rimbun dan angker. Aku melewati sebuah gua tua dengan aliran air yang tergenang di depannya. Tidak ada rumah-rumah penduduk yang terlihat satupun. 

    “Sepertinya aku tersesat, soalnya kemarin aku tidak melewati jalan ini bersama Sulaiman.”

Gumamku dalam hati. Aku mulai diliputi oleh kecemasan, namun kakiku tidak bisa berhenti berjalan, hingga tepat pada pukul 23.45, aku bisa melihat sungai itu dari jauh. Aku kemudian menyusuri tebing dan bebatuan yang cukup licin untuk sampai ke Sungai.

    Saat sedang melamun dan melihat derasnya arus sungai, aku dikejutkan oleh suara seorang wanita di belakangku.

    “Shalat heula neng, ieu mukenana. Istri nu kamarimah tuh diditu, di Leuwi Peer.(Shalat dulu neng, perempuan yang kemarin itu berada di sana, di Leuwi Peer)” 

Mulanya aku ketakutan, tapi kemudian aku mengambil mukenanya dan shalat di atas batu. Sejuk dan damai rasanya. Hingga tiba-tiba ada sebuah ledakan tepat di depan mataku. Sepertinya berasal dari dasar sungai. Sebuah mulut bertaring tajam terbuka dengan sangat lebar. Lebarnya hampir seperti sebuah rumah. Lidahnya bergerak kearahku melilit tubuhku. Dia menghisapku dengan begitu kuat sehingga aku masuk ke dalam rongga mulutnya. Aku kemudian tidak sadarkan diri.

    Saat aku membuka mata, aku merasa linglung. Pencahayaan di tempat ini semua berwarna hijau. Aku melihat banyak orang lalu lalang di depanku, namun tidak seperti orang pada umumnya yang memiliki kaki. Mereka seperti perpaduan dari dua makhluk, yaitu setengah manusia dan setengah ular. Tapi cara mereka berjalan tidak seperti ular, akan tetapi seperti melayang dengan ekor yang pendek. Ada satu orang yang aku lihat tampak memakai mahkota dan mereka menyebutnya Pun Biang yang artinya adalah “Ibu saya”.


    Senyap, kemudian mereka berdiam diri cukup lama. Dari jauh aku melihat seorang perempuan berbaju putih lusuh menangis dengan tubuh terikat rantai besi. Kulit wajahnya banyak terkelupas. Dia berdiri di pojok ruangan. Tak lama kemudian, seorang pria datang membawa dua buah golok dan mengasahnya dengan mimik wajah yang bengis. Dia berjalan ke arahku dengan wajah penuh amarah. Keringat dingin mengalir dengan cukup deras. Badanku gemetar. Aku sungguh ketakutan. Aku mengira dia akan membunuhku, tapi ternyata dia memberikan golok itu pada pria di sebelahnya yang berambut kriting. Pria itu masih memunggungiku. Aku penasaran siapa dia. Dia lalu mulai berbicara dengan penuh amarah yang berapi-api.

    “Aku cukup bersabar ketika kamu mempermalukanku, tapi saat hati ibu aku yang terluka, aku tidak bisa diam lagi.”

Ray! Aku tak menyangka dia ada di sini. Dia adalah sahabat dekat yang sempat melamarku tiba-tiba pada akhir tahun 2011. Dan tanpa persetujuan, dia datang melamar ke rumah bersama keluarganya. Ibunya jauh-jauh pulang dari Arab Saudi dan sudah membeli cincin untuk pernikahan kami. Mulanya aku menolak, namun ibuku memaksa aku untuk menerimanya karena dia sangat baik dan memang tinggal aku saja yang belum menikah, meskipun waktu itu usiaku masih 21 tahun. Seminggu setelah aku menerimanya, aku memutuskan dia karena dia banyak berbohong. Aku bahkan memblokir pertemanan dengannya disosial media. Dia sangat marah, namun aku sudah meminta maaf dan dia sendiri yang mengatakan bahwa dia sudah memaafkan, tapi nyatanya dia masih menyimpan dendam.

    “Mau kamu apa?”

Mendengar pertanyaanku, dia malah tersenyum bengis dan memegang dua buah golok yang begitu tajam di depan mataku.

    “Aku ingin kamu jadi budak siluman dan dianggap mati didunia nyata seperti wanita itu, atau kamu mati yang sebenar-benarnya mati?”

Pilihan yang mengerikan bagiku. Aku seperti sedang sekarat di bawah ancamannya. Tangan dan badanku semakin dingin, keringat terus mengalir. Aku teramat ketakutan. Di tengah rasa takutku, Anna Maria yang berada tidak jauh dariku kemudian digiring oleh makhluk besar berbulu lebat dan berwarna hijau. Dia menjerit dan menangis, tapi tidak ada yang bisa menolongnya.

    “Cepat jawab!”


Ray kini membentakku. Dan aku menangis sejadinya. Aku pejamkan mata dan memohon kepada Allah dengan penuh pengharapan. Aku belum siap mati, apalagi menjadi budak siluman. Saat aku membuka mata, golok sudah berada dileherku. 

    “Inalillahiwainailaihirajiun.”

Sayup terdengar suara orang-orang mengucapkan kalimat itu. Dadaku masih terasa sesak. Pandanganku gelap. Badan rasanya dingin dan kaku. Badanku seperti terikat. Saat aku menggerakkan tangan dan kaki, terdengar suara-suara orang berteriak.

    “Aaaaaaarghhhhh, hidup lagi!!!”

***

    Aku mati suri. Warga menemukankanku mengambang di sungai pada pagi hari. Pa Ustad mengatakan biasanya korban akan tilem atau mati jasadnya di dunia nyata, padahal dia masih hidup di alam siluman. Aku lalu penasaran dengan sosok Anna Maria yang masih tertinggal di sana.

    “Lalu bagaimana nasib Anna Maria? Aku melihat dia ada di alam siluman!”

Pa Ustad tertunduk lesu dengan mimik yang sedih.

    “Jasadnya di dunia nyata sudah hancur dan dikubur di dalam tanah!”

Aku masih belum puas dengan jawaban Pak Ustad.

    “Tapi, bukankah dia masih tersesat? Apa perlu kita mentalqinkan dia agar bisa beristirahat dengan tenang? Kemarin menurut Ustad Irman, kita bisa mentalqinkan dia karena dia belum ikhlas.”

Ustad Eman menggelengkan kepala seraya tersenyum.

    “Wallahuallam. Talqin itu mengajarkan orang islam yang hendak meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat tauhid. Laa ilaaha illallaah (Tiada Tuhan selain Allah), sementara dia berbeda agama dan jasadnya juga sudah dikuburkan. Biarlah nanti pemuka agama yang seagama dengan dia saja yang menuntun dan mendoakannya. Yang penting sekarang neng selamat dari niat jahat mantan pacar neng dan siluman itu. Alhamdulilah.”

    Masih banyak pertanyaan dalam kepalaku yang belum bisa terpecahkan. Kenapa dua ustad yang aku temui berbeda pendapat? Kenapa karena aku dan Anna Maria berbeda agama, ustad menjadi kesulitan untuk membantu menyempurnakan arwah yang masih tersesat di dunia?

Ah entahlah. Yang pasti kali ini aku masih punya PR besar untuk menyelesaikan urusanku dengan Ray. Aku tidak ingin mati sia-sia.


Wednesday, January 20, 2021

KAMUFLASE

 



Aku tak pernah tahu apa itu warna. Unsur yang menjadi identitas pengenal diri. Aku suka berubah dan berpindah. Bersembunyi di balik hingar bingar tawa manusia. Diam diantara sunyi yang ditakuti para pengembala hati. Aku tak pernah tahu di mana rumahku dan siapa diriku. Aku masih melihat topeng-topeng berhias di depan cermin yang aku lihat setiap pagi.


Kau tahu bagaimana cara rasa sakit berbahasa? Jiwa yang tumbuh dalam melodi ketakutan. Senyuman yang lalu layu oleh tragedi masalalu. Aku kehilangan rindu itu.


Aku ingin memeluk masa kecil dalam skenario ceritaku sendiri. Tumbuh dalam rangkaian kasih sayang yang begitu mahal untukku tebus saat ini. Aku ingin menjadi pemeran utama dalam panggung sandiwara yang tak pernah ramah dalam menyapa. Aku ingin mengubah semuanya.


Aku ingin seperti mereka, tertawa dengan wajahnya, menari dengan tubuhnya sendiri. Aku tidak ingin menjadi bunglon. Aku lelah bersandiwara. Aku dibesarkan dalam bara api. Tumbuh dalam hantaman dan kerasnya roda kehidupan. Tak ada pelukan atau kecupan di malam hari. Tak ada untaian kasih yang bisa meninabobokan gundahnya hati.


Aku telah berjalan dalam ribuan kilometer pengorbanan. Jarak yang tak pernah bersua untuk menghantarkan kehangatan. Dingin. Aku adalah bagian lain dari air-air yang mereka simpan di dalam lemari es. Beku. Aku sadar akan diriku. 


Aku ingin senyuman. Embun yang jatuh diantara dedaunan. Masa kecil yang riang, tanpa dentuman ketakutan. Kini sesal merantau lebih jauh dari waktu yang aku cemburui. Berpijak tanpa tahu apa yang dipijak. Berjalan tanpa tahu ke mana harus berjalan. Aku tersesat.


Beri aku rasa nyaman. Jeda yang bisa memberiku ruang untuk bernafas. Hari-hari yang tak lagi dipenuhi oleh skenario untuk berpikir. Aku butuh kebebasan. Bebas tanpa sekat yang mengikat. Aku sekarat.