Aku tak pernah tahu apa itu warna. Unsur yang menjadi identitas pengenal diri. Aku suka berubah dan berpindah. Bersembunyi di balik hingar bingar tawa manusia. Diam diantara sunyi yang ditakuti para pengembala hati. Aku tak pernah tahu di mana rumahku dan siapa diriku. Aku masih melihat topeng-topeng berhias di depan cermin yang aku lihat setiap pagi.
Kau tahu bagaimana cara rasa sakit berbahasa? Jiwa yang tumbuh dalam melodi ketakutan. Senyuman yang lalu layu oleh tragedi masalalu. Aku kehilangan rindu itu.
Aku ingin memeluk masa kecil dalam skenario ceritaku sendiri. Tumbuh dalam rangkaian kasih sayang yang begitu mahal untukku tebus saat ini. Aku ingin menjadi pemeran utama dalam panggung sandiwara yang tak pernah ramah dalam menyapa. Aku ingin mengubah semuanya.
Aku ingin seperti mereka, tertawa dengan wajahnya, menari dengan tubuhnya sendiri. Aku tidak ingin menjadi bunglon. Aku lelah bersandiwara. Aku dibesarkan dalam bara api. Tumbuh dalam hantaman dan kerasnya roda kehidupan. Tak ada pelukan atau kecupan di malam hari. Tak ada untaian kasih yang bisa meninabobokan gundahnya hati.
Aku telah berjalan dalam ribuan kilometer pengorbanan. Jarak yang tak pernah bersua untuk menghantarkan kehangatan. Dingin. Aku adalah bagian lain dari air-air yang mereka simpan di dalam lemari es. Beku. Aku sadar akan diriku.
Aku ingin senyuman. Embun yang jatuh diantara dedaunan. Masa kecil yang riang, tanpa dentuman ketakutan. Kini sesal merantau lebih jauh dari waktu yang aku cemburui. Berpijak tanpa tahu apa yang dipijak. Berjalan tanpa tahu ke mana harus berjalan. Aku tersesat.
Beri aku rasa nyaman. Jeda yang bisa memberiku ruang untuk bernafas. Hari-hari yang tak lagi dipenuhi oleh skenario untuk berpikir. Aku butuh kebebasan. Bebas tanpa sekat yang mengikat. Aku sekarat.
No comments:
Post a Comment