Siang ini, di Kota Metropolitan, Jakarta.
Jalanan ibukota tampak meraung-raung, bak singa lapar ditengah kemacetan kota, dengan udara panas bak pijaran api yang tengah melumat keringat orang-orang yang berlalu-lalang di atasnya.
Wajah Jakarta siang ini cukup mengagetkanku. Dipusat perbelanjaan yang lumayan besar ini, setiap pasang mata hampir tersedot oleh pesona dagangan-dagangan yang dipajang mewah di depan tokonya. Dengan cahaya lampu yang begitu terang, dekorasi yang tertata rapi, dan model baju yang up to date dengan merk ternama, serta harga yang fantastis, membuat setiap orang yang melihatnya rela merogoh kocek yang tidak sedikit demi memenuhi standar pergaulan modern orang-orang Jakarta. Tak terkecuali dengan Ila, seorang perempuan muda, yang saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa disalah satu Universitas ternama di Kota Jakarta. Fashion baginya seperti udara yang saat ini aku hirup. Maka, tak heran jika sedari tadi aku melihat tangannya begitu gesit mengambil satu persatu dagangan yang ada disetiap toko yang ada di mall ini. Dia mencoba beberapa pasang sepatu, baju, serta tas-tas dengan hiasan berkilau yang membuat aku silau karena harus berhitung dengan angka-angka yang telah terkuras begitu banyak hingga ujungnya selalu menyisakan nol besar untukku menggigit jari di akhir bulan.
Inikah wajah kusut ibukota? Yang membuat orang yang selalu mengatasnamakan cinta tunduk dan patuh hingga terkapar tak berdaya? Sepertiku yang kini tertunduk lesu di atas kursi panjang di depan toko yang selalu bersahabat dengan kaum wanita, “Victoria Secret”.
Aku masih harus menunggunya yang kini tengah memilih beberapa parfum dan celana dalam. Wajahnya tampak berseri-seri, dengan senyum lebar dan semangat 45 yang menggebu-gebu, membuatnya tak lelah berjam-jam berpetualang dari satu mall ke mall yang lain.
“Sayang, kenapa diem aja sih?”
Ila yang baru saja ke luar dari toko dengan tentengan belanjaan yang lebih dari tiga itu, kini mulai memperhatikanku yang sedari tadi tidak banyak bicara dan lebih sering untuk memintanya duduk atau istirahat terlebih dahulu.
“Aku cape.”
Senyumnya semakin lebar ketika melihat aku yang tampak lusuh dengan keringat bercucuraan dan tangan yang dipenuhi dengan tentengan belanjaan-belanjaan dia.
“Ah payah kamu, segitu aja capek!”
Dia lalu menarik tanganku seraya membawaku menuju salah satu toko pakaian pria.
“Sayang, ini bagus deh buat kamu, suka ga?”
Ila menunjukkan sweater berwarna abu-abu pilihannya itu kepadaku. Dengan wajah memelas dan tanpa ekspresi, aku mengiyakan pilihannya.
“Suka.”
Aku lalu merogoh dompet dan mengeluarkan beberapa uang seratus ribuan, lalu membayarnya, selesai. Itulah pekerjaanku setiap kali Ila mengajaku untuk pergi jalan-jalan ke mall, selain menenteng barang-barang belanjaannya, aku juga harus selalu siap sedia dengan kertas-kertas berangka didompet atau kartu-kartu siap gesek yang biasa dipakai untuk membeli apapun, karena kalau sampai tidak ada, maka aku akan disuguhi wajahnya yang cemberut, sikap tidak ramah, bahkan yang paling parah adalah kata “putus”.
***
Ini sudah memasuki tahun ketiga sejak aku mengenal Ila, namun tak pernah ada yang berubah dari dia, pun dari diriku sendiri. Aku masih melihatnya sebagai ratu belanja yang tak pernah berhenti meminta ini itu layaknya seorang anak kecil yang tak pernah mengenal kata puas. Kadang aku sempat berpikir tentang hubungan macam apakah ini? Dia dengan segudang keinginan-keinginannya yang selalu berkaitan dengan uang dan aku dengan sifat posesif, takut kehilangan, serta mengagung-agungkan cinta, akhirnya membawa aku dan dia pada sebuah hubungan layaknya seorang majikan dan kacungnya. Seperti siang ini, ketika aku terjebak diruangan berwarna ungu, tempat dia merebahkan badannya karena kelelahan, lalu dia menyuruhku pulang, setelah meminta beberapa lembar uang seratus ribuan untuk ke salon, namun aku menolak untuk pulang karena masih sangat lelah.
“Aku pulang besok aja, cape. Pulang pergi naik kendaraan umum, panas. Nanti aku sewa kosan harian aja buat nginep, besok kamu ga harus nemenin aku juga kalau ga bisa kemana-mana.”
Air mukanya lantas berubah seketika. Dia tampak geram ketika aku tidak bisa menuruti perintahnya.
“Aku bilang pulang, besok aku ga bisa ke mana-mana!”
Tanpa menatap wajahku, dia masih bersikeras menyuruhku pulang, namun aku tidak bisa mengiyakan perintahnya kali ini. Sebagai orang yang tengah kasmaran dan harus menjalani hubungan jarak jauh, maka sudah sewajarnya aku masih ingin berada di sini, menumpahkan segala perasaan rindu dan berlama-lama dengan orang yang aku cintai. Namun, beda halnya dengan dia. Aku mungkin tidak pernah ada dalam pikirannya, karena pikirannya sudah penuh dengan daftar keinginannya yang harus selalu dibeli dengan uang.
“Aku tadi bilang, aku mau sewa kosan aja buat istirahat dan kamu ga perlu nemenin aku jalan-jalan juga besok.”
Dia lalu berbalik dan menatap mataku tajam.
“Kamu keras kepala banget sih. Ya aku ga enaklah ninggalin kamu sendirian gitu. Udah pulang aja, nanti kemaleman!”
Suara dia kini meninggi dan urat-urat diwajahnya semakin tegang. Dia adalah orang yang cepat naik pitam dan aku terbiasa menjadi sasaran paling empuk untuknya menumpahkan kemarahan. Aku lantas berdiri dan menatap matanya lekat-lekat dengan perasaan kecewa yang menjadi-jadi.
“Apa kamu ga kangen sama aku? Orang lain itu seneng banget kalau bisa ketemu sama pacarnya dan pengen berlama-lama, tapi kamu? Yang kamu pikirin cuma keinginan-keinginan kamu, bukan aku!”
Aku lalu beranjak ke luar dari kamarnya dengan perasaan campur aduk. Dia lalu mengejarku seraya berteriak dan menghamburkan uang pemberianku tadi, hingga berserakan di atas tangga.
Aku tidak mempedulikannya dan terus berjalan, hingga aku sampai di ruangan tamu, dia lalu melemparkan handphone miliknya ke arahku hingga terdengar suara benturan yang sangat keras, namun aku masih tidak menoleh dan berjalan hingga menuju halaman rumahnya dan langkahku terhenti karena pagar rumah itu terkunci.
“Sial!”
Umpatku kesal, lalu aku mendengar suara tangisan tak jauh dari belakangku. Aku lantas menoleh, dan melihat Ila tengah duduk di kursi seraya menangis. Hatiku tak kuasa melihatnya, lalu Aku bergegas menghampirinya dengan perasaan bersalah.
“Handphone aku hancur dan ga bisa nyala. Aku ga tau nanti harus bilang gimana sama ibu.”
Aku menatap handphone yang kini sedang ia tangisi. Layarnya pecah dan bentuknya sudah tidak beraturan. Aku diam dan tidak bisa berkata apa-apa. Pandanganku lalu dialihkan ke atas untuk menahan airmata yang akan jatuh.
“Aku beli handphone kredit aja sama kamu, gimana?”
Aku lalu mengangguk tak berdaya.
***
Ketika mendengar satu lirik lagu yang mengatakan bahwa wanita adalah racun dunia, aku langsung setuju dengan ungkapan itu. Bagaimana tidak, wanita yang begitu indah, lembut dan mempesona ternyata menyimpan racun yang berbisa. Seperti halnya Ila, sejak dia meminta agar aku membelikannya handphone dengan cara kredit, sejak itu pula aku yang harus membayar cicilannya. Kadang kala, terbesit dalam pikiran bahwa dia hanya memanfaatkanku saja, namun tiba-tiba pikiran itu kalah oleh gejolak cinta dan nafsu yang meluap. Ila, dialah kegilaan yang sering orang katakan sebagai cinta pertama.
Hingga pada satu titik, apa yang aku miliki terus terkikis dan hampir habis, maka aku menjual apapun yang aku miliki demi memenuhi keinginannya. Namun, ketika dia mengetahui kondisiku yang mulai terombang-ambing oleh pasang surut rupiah, dia kemudian mengatakan satu hal yang meruntuhkan segala angan-anganku.
“Aku mau putus!”
Dia berdalih bahwa aku posesif, cemburuan dan hubungan seperti ini tidak akan sehat apabila dilanjutkan.
Aku yang tidak bisa menerima keputusannya, lantas datang tiba-tiba ke rumahnya, bersujud di depan dia, seraya memohon-mohon agar tidak ditinggalkannya. Dia berang, lantas memukuliku dengan benda-benda keras yang ada di kamarnya, namun aku tidak melawan sedikitpun. Tubuhku memar-memar, namun Aku masih diam di pojok kamarnya sebelum dia menarik kembali ucapan putus itu. Lalu setelah menunggu cukup lama, dia pun luluh, dan menerimaku kembali, dengan masa percobaan selama tiga bulan. Jika aku masih cemburuan, posesif dan mengungkit masalalu dia, selama dalam masa percobaan itu, maka hubungan ini benar-benar selesai. Deal, aku menyetujuinya dan hari itu berakhir dengan jalan-jalan lagi ke mall.
***
“Aku mau tobat.”
Sebuah pesan singkat masuk tiba-tiba, tepat satu minggu setelah pertemuanku dengan Ila.
Aku terdiam cukup lama dan terus menatap kalimat singkatnya dilayar handphone. Taubat? Kata-kata itu langsung menyambar seperti petir disiang bolong. Bagaimana tidak, kata taubat bagi pasangan wanita dari seorang wanita merupakan titik akhir yang paling akhir dari sebuah hubungan. Pipiku lalu basah, namun aku kuatkan diri untuk menayakan alasannya.
“Kenapa? Ko tiba-tiba?”
Tak lama kemudian, dia lalu menjawab pertanyaanku dengan kalimat yang singkat, padat dan jelas.
“Aku merasa udah jauh sama Tuhan. Aku mau tobat. Aku rindu sama Dia!”
Hening, namun hatiku ricuh. Mendengar kata Tuhan, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku lantas tersenyum, dan membalas pesan darinya untuk terakhir kali.
“Ya udah kalau gitu, aku ikhlas melepas kalau itu karena Tuhan.”
***
Dusta. Tak ada yang lebih menyayat hatiku tatkala aku melihat dengan mata kepalaku sendiri beberapa fotonya dengan seorang perempuan berambut pendek yang kemudian aku ketahui bahwa dia bernama Mila, teman kuliahnya yang sudah bekerja sebagai IT disalah satu perusahaan asuransi di Jakarta.
Dadaku terasa bergejolak dan amarahku tidak bisa dibendung lagi. Bagaimana tidak, setelah dia mengucapkan kata taubat, dia lantas mengajakku kembali ke dalam hingar bingar dunianya yang penuh gemerlap dan aku kembali masuk dalam perangkapnya sebagai budak nafsu. Namun kemudian dia raib ditelan waktu dan aku temukan dia dalam pangkuan seorang wanita bernama Mila.
Kali ini, tak ada yang bisa meredakan amarah yang berbalut nyeri. Tepat dini hari, tatkala mata masih tak bisa terpejam, tanganku mulai menulis sepucuk surat untuk meredakan rasa sakit setelah didzolimi.
Assalammualaikum, Wr, Wb
Om dan tante yang saya hormati, kali ini saya memberanikan diri untuk menulis surat, karena saya tidak bisa tidur sama sekali. Saya ingin menceritakan sesuatu yang mungkin akan sangat melukai hati om dan tante. Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Baiklah, saya akan mulai menceritakannya.
Tiga tahun yang lalu, saya pertama kali mengenal Ila. Dari ceritanya waktu itu, saya mengetahui bahwa dia telah beberapa kali menjalin hubungan dengan wanita, hingga akhirnya Ila menjalin hubungan dengan saya. Ini adalah pengalaman pertama saya memiliki hubungan spesial dengan seorang wanita. Mulanya tabu, tapi lama-lama sayapun tidak tahu malu.
Seiring berjalannya waktu, Ila mulai menunjukkan sisi lainnya yang baru saya ketahui. Gaya hidupnya yang hedonis, membuat saya harus mengeluarkan uang yang selama ini saya dapatkan dengan susah payah. Bukan hanya itu, dia bahkan berani memukul dan membentak-bentak saya di depan umum, padahal orang tua sayapun tidak pernah memukuli saya.
Ketika persediaan uang saya menipis, saya bahkan rela menjual barang-barang saya demi dia, namun ketika saya benar-benar berada dititik paling bawah dari segi ekonomi, dia kemudian meninggalkan saya dengan dalih bertaubat. Saya kemudian mengiyakan. Namun, tak lama kemudian, ketika dia mengetahui bahwa keuangan saya mulai membaik, dia kemudian kembali kepada saya untuk meminta ini dan itu, namun dia menolak untuk menjadi pacar saya lagi. Lalu, beberapa saat setelah itu, dia menghilang secara tiba-tiba. Dan malam ini, saya akhirnya mengetahui bahwa dia telah menjalin hubungan dengan teman kuliahnya yang bernama Mila.
Sekali lagi, saya meminta maaf karena telah melukai hati om dan tante, namun sikap Ila sudah sangat keterlaluan, selain telah menjerumuskan saya kedalam percintaan sesama jenis, menguras materi saya, dia juga sempat melempar saya dengan handphone miliknya hingga pecah dan kemudian menggantinya dengan handphone serupa dengan cara kredit dan hingga detik ini saya yang mencicilnya.
Semoga setelah om dan tante mengetahui perilaku Ila yang seperti ini, Om dan tante bisa lebih memperhatikannya, terutama dalam hal materi, agar tidak ada lagi korban-korban lainnya seperti saya. Bersama ini pula saya melampirkan foto-foto sebagai bukti dari apa yang telah saya ceritakan. Sekali lagi saya ucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya.
Wassalam,
***
Jalanan masih basah karena guyuran hujan tadi malam. Aku masih menatap lalu-lalang kendaraan yang lewat di depan mataku dengan tatapan yang kosong. Surat sudah aku kirimkan melalui travel agar bisa sampai hari ini juga, namun aku masih ragu apakah surat itu akan sampai kepada orang tuanya atau dia yang akan membuka lalu membuangnya.
Dengan perasaan yang masih berkecamuk dan mata sembab, akhirnya aku melihat satu email masuk yang membuat mataku berkaca-kaca ketika membacanya,
“Suratnya sudah sampai, terimakasih! Aku yang mengambil surat itu, lalu aku berikan langsung kepada ayah karena tertulis nama pengirimnya adalah dari CV. Berkah Syukur dan aku mengira bahwa itu surat dari rekan bisnis Ayah, namun ternyata bukan. Ayah kemudian marah seraya menangis. Akhirnya hubunganku dengan Mila harus berakhir dengan cara seperti ini, kamu puas? Aku sekarang merasa hancur, sehancur-hancurnya. Gara-gara hal ini juga, aku kemudian dijodohkan dengan seorang laki-laki pilihan orangtua dan itu terasa menyakitkan. Terimakasih sekali lagi, kamu sudah berhasil!”
***
Aku percepat langkahku menuju pesawat yang sudah berada di depan mata. Satu persatu anak tangga telah aku lewati, hingga akhirnya aku harus benar-benar masuk ke dalam dan terbang menuju tempat baru yang jauh dari sini. Aku kemudian menoleh, lalu melambaikan tangan pada masalalu.
Selepas jarak kita jauhkan,
Lalu sepasang kenangan jatuh berguguran
Maka, dipintu mana lagi akan aku temui waktu?
Sedang hatiku masih tertawan oleh bejana masalalu
Masalalu yang masih tertera nama itu,
Rindu..
No comments:
Post a Comment