Thursday, January 21, 2021

TILEM

 


Stasiun Bandung, 10 Februari 2012

    Sebuah koran terbuka di atas kursi. Samar-samar aku melihatnya dari jauh, sepertinya berita duka cita yang sering aku lihat di koran-koran pada umumnya. Namun, kali ini ada yang mendorongku untuk melihat koran itu lebih dekat dan membacanya dengan seksama. Dengan rasa penasaran, aku mengambil koran itu dan membacanya. Di sana tertulis ungkapan terimakasih dari pihak keluarga korban yang meninggal dunia karena tenggelam saat melakukan arung jeram di Sungai Cikandang, Pakenjeng, Garut selatan. Ungkapan terimakasih tersebut ditujukan kepada pihak-pihak yang telah membantu melakukan pencarian hingga jasad korban berhasil ditemukan dihari keempat semenjak korban dinyatakan hilang. 

    Anna Maria, namanya seakan menjadi hidup dalam bayangan. Kesedihannya, ketakutannya, rasa sakitnya dan semua yang dia alami pada saat menjelang kematian kemudian bisa aku rasakan seketika. Entah apa yang terjadi. Pikiranku menjadi kosong dan lamunan seakan menyita detik demi detik yang aku lalui di stasiun ini.

    “Teh, keretanya udah datang!”

Sepupuku Putri membuyarkan lamunanku dan mengajakku untuk segera masuk ke dalam kereta api. Tanganku kemudian mengambil koran tadi dan hendak membawanya pulang, namun Putri melarangnya karena bisa jadi itu adalah koran milik orang lain yang tertinggal.

    Di dalam kereta, aku tidak berhenti merasakan sebuah kesedihan yang mendalam. Sebuah perasaan yang tidak masuk akal karena aku sama sekali tidak mengenalnya. Aku kemudian teringat temanku yang tinggal di Garut, Sulaiman yang kemungkinan tahu di mana Sungai Cikandang itu berada.

    “Assalammualaikum, Man tau Sungai Cikandang?”

Aku mengirimkan pesan kepada Sulaiman yang memang tinggal di Garut. Ada hasrat dalam diriku yang berusaha mencari tahu lebih banyak tentang almarhum dan lokasi kejadian di mana dia meninggal saat itu.

    “Waalaikumsalam, kebetulan teh itu kan daerah tempat aku tinggal. Kalau rumahku, naik lagi dari Sungai Cikandang. Ada apa teh?”


Mendengar jawaban Sulaiman seperti itu, hati aku girang bukan main. Aku sudah berniat datang ke sana, namun tadi sempat bingung karena tidak mengetahui tempatnya, tapi kali ini ada temanku yang tinggal di sana sehingga aku bisa meminta bantuannya untuk menjemputku.

    Kereta api berhenti di Stasiun tujuanku pada pukul 21.00. Suasananya sudah mulai sepi dan udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Putri pulang ke Majalaya, sedangkan aku ke Dangdeur, sehingga kita berpisah di stasiun.

Sesampainya di rumah, aku melihat ibuku sedang sms-an dengan temannya yang berprofesi sebagai paranormal. Aku sudah tidak suka dengan temannya itu, namun ibuku masih saja meladeni cerita bualan dan curhatannya. Kemudian, setelah ibu aku tidur, aku mengirimnya pesan agar dia tidak mengganggu ibuku lagi, namun dia bersikeras menjelaskan hal-hal berbau mistis yang menurutku tidak masuk akal. Aku lalu meminta dia membuktikan kalau dia bisa mengetahui hal-hal yang berbau ghoib.

    “Coba kalau bapak memang jago, datangkan Anna Maria, mahasiswi yang baru saja meninggal karena arung jeram!”

Sebetulnya aku bukan mau menantang dia, tapi aku hanya muak saja dengan tingkah dukun itu. Dan tanpa disangka, dia lalu mengirimkan pesan yang membuatku terkejut.

    “Baik, ditunggu ya nanti jam 00.00, arwahnya sudah ada di sana. Nanti bapak kabari lagi!”

Membaca jawaban dukun itu, aku kaget karena sebetulnya aku tidak meminta arwah perempuan itu datang ke rumahku malam ini dan memang aku juga berkeyakinan bahwa tidak ada roh yang gentayangan di dunia ini.

Aku kemudian masuk ke dalam kamar, namun mataku tidak bisa terpejam. Tepat pukul 00.00 aku dikagetkan oleh lampu kamarku yang tida-tiba mati, lalu menyala, lalu mati lagi, begitu seterusnya. Aku kemudian ke luar dan berpikir bahwa lampu kamarku akan mati atau sedang korslet. Aku pindah ke kamar depan yang memang kosong. Namun, baru saja mataku terpejam, lampunya kemudian mengalami hal serupa seperti lampu di kamar belakang, nyala dan mati, terus menerus. Bukan hanya itu, sekilas aku melihat banyangan orang lain di cermin besar yang ada di kamar. Sontak aku lari dengan cepat ke kamar ibuku dan tidur di sana dengan perasaan penuh ketakutan. Ibuku sempat marah karena membangunkannya yang saat itu tengah tidur bersama keponakanku yang masih balita.


    Keesokan harinya hingga seminggu setelah malam itu, aku tidak pernah bisa tidur di malam hari dan bahkan siang hari pun saat aku ingin tidur siang, aku minta ditemani ibu aku karena merasakan ketakutan yang luar biasa.

Karena merasa lelah dengan keadaan ini, aku kemudian meminta saran seorang ustad yang direkomendasikan oleh dosenku.

Ketika aku mendatanginya, dia sedikit terkejut karena ada arwah yang mengikutiku sedari tadi dengan wajah pucat pasi, kulit di wajah dan seluruh tubunhnya mengelupas dan dia tidak berhenti menangis.

    “Hah?? Maksud Bapak bagaimana? Arwah itu mengikuti saya? Bukankah di dalam ajaran agama kita tidak ada yang namanya roh gentayangan? Kalaupun ada, itu hanyalah jin korin yang menyerupai wajah kita. Bukan begitu?”

Pak Ustad hanya tersenyum mendengar pertanyaan dan pernyataan dariku. Dia kemudian mengehela nafas, memejamkan matanya sebentar, lalu menjawab pertanyaanku dengan sangat hati-hati.

    “Wallahuallam, roh memang urusan Allah. Memang benar, jarang sekali ada roh gentayangan, namun bukan berarti tidak ada. Ada beberapa kasus langka yang terjadi di luar akal sehat, contohnya seperti saat ini. Dia belum ikhlas meninggal dunia. Dia harus disempurnakan. Dia akan mencari orang yang memiliki beberapa kesamaan dengannya untuk bisa menyampaikan pesan itu.”

Aku diam cukup lama mendengar penjelasan dari Pak Ustad. Dadaku berkecamuk dan pikiranku masih belum bisa menerima penjelasan dari Pak Ustad. Aku tidak membantahnya, aku hanya diam, namun sepertinya dia menyadari bahwa aku masih ragu dengan ucpannya.

    “Ada banyak hal yang memang tidak bisa dimengerti oleh logika. Jangan banyak berpikir lagi, karena tugas kita sekarang adalah menyempurnakan dia.”

Setelah berpikir cukup lama, aku kemudian mempertimbangkan ajakan Pak Ustad untuk datang langung ke Sungai Cikandang dan bertemu Anna Maria di sana pada pukul 00.00. Menurut Pak Ustad, Anna Maria masih tersesat dan sering menangis pada malam hari di bebatuan di pinggir sungai. Jadi, kita harus datang ke Sungai pada malam hari dan menolong arwah itu untuk bisa pulang.


    Malam jumat seperti yang dijanjikan oleh Pak Ustad, aku bersiap-siap untuk pergi ke Sungai Cikandang. Tidak banyak yang aku bawa untuk datang ke sana, terlebih lagi Sulaiman, tunangannya dan anak-anak pesantren akan menjamu aku di sana. Namun, tepat pukul delapan pagi, Pak Ustad tiba-tiba membatalkannya dan meminta aku untuk mengundurnya karena menurutnya akan cukup berbahaya jika kita berangkat hari ini. Aku sangat kesal mendengarnya, sehingga aku memutuskan untuk berangkat sendiri menggunakan kendaraan umum. 

    Perjalanan menuju Pakenjeng cukup jauh, aku harus naik tiga kali angkutan umum untuk sampai di sana. Sesampainya di sana, Sulaiman dan teman-temannya menjemput dengan menggunkan motor menuju rumahnya yang berada di atas gunung.

Jalan menuju rumah Sulaiman sangat terjal, licin dan berkelok. Aku sempat jatuh satu kali karena terpelincir. Suasana Sungai Cikandang, Desa Neglasari begitu asri. Aku kemudian melewati sungai yang telah merenggut nyawa Anna Maria. Rasanya begitu menyayat hati. Arusnya begitu deras dan menurut Sulaiman, sungai ini cukup angker dan berbahaya karena menurut mitos yang ada, ada makhluk raksasa sejenis ikan siluman yang seringkali memakan korban, bahkan saat air sungai ini meluap, makhluk itu seringkali menampakkan diri. Mitos ini sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda.

    Sesampainya di rumah Sulaiman, aku dijamu dengan baik oleh keluarganya. Tetangga dan teman-teman Sulaiman bahkan datang mengunjungiku. Aku cukup terkenal dikalangan mahasiswa-mahasiswi STT Garut karena sering menjadi pembicara Kewirausahaan di sana dan juga di salah satu radio di Kota Garut.

Setelah bercerita tentang kejadian yang aku alami, Sulaiman mengajakku bertemu dengan salah seorang ustad yang menjadi sesepuh di Desa Neglasari. Aku sempat kesurupan saat diobati oleh Pak Ustad.

    “Neng, ieu the sanes lelembutan jalmi itu wae anu ngiring, tapi aya oge anu hoyong nyilakakeun eneng ameh pupus sapertos istri ieu. (Neng, ini bukan hanya arwah dia yang ikut, tapi ada juga yang ingin mencelakakan neng agar meninggal seperti perempuan ini).

Aku sangat kaget mendengar penjelasan dari Ustad Eman. Aku tidak bisa menebak, siapa yang ingin agar aku mati. Tapi, memang akhir-akhir ini aku sempat melakukan hal-hal yang di luar logika, salah satunya adalah memesan satu unit lahan makam di Sandiego Hills, tempat di mana Anna Maria dimakamkan.

   

    Ustad Eman telah melarangku untuk turun ke sungai dan aku pun menuruti perintahnya. Namun, tepat pada pukul 23.00 aku terbangun dan merasakan dorongan yang sangat kuat untuk turun ke sungai. Dengan tanpa rasa takut, aku membuka pintu rumah Sulaiman tanpa sepengetahuan mereka. Aku berjalan menyusuri jalan pegunungan yang licin, terjal dan minim penerangan. Angin bertiup sangat kencang, membuat dedaunan  dan ranting pepohonan yang aku lewati sepanjang jalan seakan melambai-lambai. Suara katak, air yang mengalir, dan jangkrik terasa begitu mencekam malam di tengah-tengah hutan yang masih begitu rimbun dan angker. Aku melewati sebuah gua tua dengan aliran air yang tergenang di depannya. Tidak ada rumah-rumah penduduk yang terlihat satupun. 

    “Sepertinya aku tersesat, soalnya kemarin aku tidak melewati jalan ini bersama Sulaiman.”

Gumamku dalam hati. Aku mulai diliputi oleh kecemasan, namun kakiku tidak bisa berhenti berjalan, hingga tepat pada pukul 23.45, aku bisa melihat sungai itu dari jauh. Aku kemudian menyusuri tebing dan bebatuan yang cukup licin untuk sampai ke Sungai.

    Saat sedang melamun dan melihat derasnya arus sungai, aku dikejutkan oleh suara seorang wanita di belakangku.

    “Shalat heula neng, ieu mukenana. Istri nu kamarimah tuh diditu, di Leuwi Peer.(Shalat dulu neng, perempuan yang kemarin itu berada di sana, di Leuwi Peer)” 

Mulanya aku ketakutan, tapi kemudian aku mengambil mukenanya dan shalat di atas batu. Sejuk dan damai rasanya. Hingga tiba-tiba ada sebuah ledakan tepat di depan mataku. Sepertinya berasal dari dasar sungai. Sebuah mulut bertaring tajam terbuka dengan sangat lebar. Lebarnya hampir seperti sebuah rumah. Lidahnya bergerak kearahku melilit tubuhku. Dia menghisapku dengan begitu kuat sehingga aku masuk ke dalam rongga mulutnya. Aku kemudian tidak sadarkan diri.

    Saat aku membuka mata, aku merasa linglung. Pencahayaan di tempat ini semua berwarna hijau. Aku melihat banyak orang lalu lalang di depanku, namun tidak seperti orang pada umumnya yang memiliki kaki. Mereka seperti perpaduan dari dua makhluk, yaitu setengah manusia dan setengah ular. Tapi cara mereka berjalan tidak seperti ular, akan tetapi seperti melayang dengan ekor yang pendek. Ada satu orang yang aku lihat tampak memakai mahkota dan mereka menyebutnya Pun Biang yang artinya adalah “Ibu saya”.


    Senyap, kemudian mereka berdiam diri cukup lama. Dari jauh aku melihat seorang perempuan berbaju putih lusuh menangis dengan tubuh terikat rantai besi. Kulit wajahnya banyak terkelupas. Dia berdiri di pojok ruangan. Tak lama kemudian, seorang pria datang membawa dua buah golok dan mengasahnya dengan mimik wajah yang bengis. Dia berjalan ke arahku dengan wajah penuh amarah. Keringat dingin mengalir dengan cukup deras. Badanku gemetar. Aku sungguh ketakutan. Aku mengira dia akan membunuhku, tapi ternyata dia memberikan golok itu pada pria di sebelahnya yang berambut kriting. Pria itu masih memunggungiku. Aku penasaran siapa dia. Dia lalu mulai berbicara dengan penuh amarah yang berapi-api.

    “Aku cukup bersabar ketika kamu mempermalukanku, tapi saat hati ibu aku yang terluka, aku tidak bisa diam lagi.”

Ray! Aku tak menyangka dia ada di sini. Dia adalah sahabat dekat yang sempat melamarku tiba-tiba pada akhir tahun 2011. Dan tanpa persetujuan, dia datang melamar ke rumah bersama keluarganya. Ibunya jauh-jauh pulang dari Arab Saudi dan sudah membeli cincin untuk pernikahan kami. Mulanya aku menolak, namun ibuku memaksa aku untuk menerimanya karena dia sangat baik dan memang tinggal aku saja yang belum menikah, meskipun waktu itu usiaku masih 21 tahun. Seminggu setelah aku menerimanya, aku memutuskan dia karena dia banyak berbohong. Aku bahkan memblokir pertemanan dengannya disosial media. Dia sangat marah, namun aku sudah meminta maaf dan dia sendiri yang mengatakan bahwa dia sudah memaafkan, tapi nyatanya dia masih menyimpan dendam.

    “Mau kamu apa?”

Mendengar pertanyaanku, dia malah tersenyum bengis dan memegang dua buah golok yang begitu tajam di depan mataku.

    “Aku ingin kamu jadi budak siluman dan dianggap mati didunia nyata seperti wanita itu, atau kamu mati yang sebenar-benarnya mati?”

Pilihan yang mengerikan bagiku. Aku seperti sedang sekarat di bawah ancamannya. Tangan dan badanku semakin dingin, keringat terus mengalir. Aku teramat ketakutan. Di tengah rasa takutku, Anna Maria yang berada tidak jauh dariku kemudian digiring oleh makhluk besar berbulu lebat dan berwarna hijau. Dia menjerit dan menangis, tapi tidak ada yang bisa menolongnya.

    “Cepat jawab!”


Ray kini membentakku. Dan aku menangis sejadinya. Aku pejamkan mata dan memohon kepada Allah dengan penuh pengharapan. Aku belum siap mati, apalagi menjadi budak siluman. Saat aku membuka mata, golok sudah berada dileherku. 

    “Inalillahiwainailaihirajiun.”

Sayup terdengar suara orang-orang mengucapkan kalimat itu. Dadaku masih terasa sesak. Pandanganku gelap. Badan rasanya dingin dan kaku. Badanku seperti terikat. Saat aku menggerakkan tangan dan kaki, terdengar suara-suara orang berteriak.

    “Aaaaaaarghhhhh, hidup lagi!!!”

***

    Aku mati suri. Warga menemukankanku mengambang di sungai pada pagi hari. Pa Ustad mengatakan biasanya korban akan tilem atau mati jasadnya di dunia nyata, padahal dia masih hidup di alam siluman. Aku lalu penasaran dengan sosok Anna Maria yang masih tertinggal di sana.

    “Lalu bagaimana nasib Anna Maria? Aku melihat dia ada di alam siluman!”

Pa Ustad tertunduk lesu dengan mimik yang sedih.

    “Jasadnya di dunia nyata sudah hancur dan dikubur di dalam tanah!”

Aku masih belum puas dengan jawaban Pak Ustad.

    “Tapi, bukankah dia masih tersesat? Apa perlu kita mentalqinkan dia agar bisa beristirahat dengan tenang? Kemarin menurut Ustad Irman, kita bisa mentalqinkan dia karena dia belum ikhlas.”

Ustad Eman menggelengkan kepala seraya tersenyum.

    “Wallahuallam. Talqin itu mengajarkan orang islam yang hendak meninggal dunia untuk mengucapkan kalimat tauhid. Laa ilaaha illallaah (Tiada Tuhan selain Allah), sementara dia berbeda agama dan jasadnya juga sudah dikuburkan. Biarlah nanti pemuka agama yang seagama dengan dia saja yang menuntun dan mendoakannya. Yang penting sekarang neng selamat dari niat jahat mantan pacar neng dan siluman itu. Alhamdulilah.”

    Masih banyak pertanyaan dalam kepalaku yang belum bisa terpecahkan. Kenapa dua ustad yang aku temui berbeda pendapat? Kenapa karena aku dan Anna Maria berbeda agama, ustad menjadi kesulitan untuk membantu menyempurnakan arwah yang masih tersesat di dunia?

Ah entahlah. Yang pasti kali ini aku masih punya PR besar untuk menyelesaikan urusanku dengan Ray. Aku tidak ingin mati sia-sia.


No comments:

Post a Comment