Saturday, May 29, 2021

Rembulan Patah

 


Banyak hujan di bulan Mei. Seperti gerimis yang tak bisa tertidur pulas di atas guguran daun-daun kering. Aku suka wangi tanah basah selepas hujan, tapi aku juga suka dengan guguran daun-daun kering yang jatuh dari pohon yang meranggas. Aku menikmati apa yang gugur. Aku menghayati apa yang telah lepas dari tangkainya. Hingga kemudian ada yang datang lagi, tarian kelopak-kelopak jingga, pada lembaran waktu yang aku beri judul “Selamat Datang”.


Aku tak pernah bisa berpura-pura dengan rasa. Dengan sandiwara yang bisa membuat orang lain bahagia. Aku tak bisa menyambut kemarau ketika aku tengah menikmati hujan. Aku tak bisa berlari ketika aku tengah tertatih-tatih untuk berjalan. Aku ingin menjadi diriku sendiri.


Jangan paksa aku untuk bisa menjadi selembut bidadari atau sebijak Kartini, sebab aku bukanlah peri-peri cantik yang kerap duduk manis di atas nampan kemewahan. Aku bukan pula gadis bergincu tebal yang suaranya melengking terkikik-kikik tatkala dihujani gombalan dan rayuan-rayuan penuh umpan. Aku tak pernah berada dalam satu barisan yang mereka namakan “perempuan”. 


Aku tak pernah ramah dengan kata “menikah”. Sebab aku masih ingin berkelana memecahkan teka-teki dalam kepala. Terlalu banyak benang kusut mengendap dalam hati. Aku ingin melepasnya satu persatu.


Aku masih enggan membuka pagar diri dan mempersilahkan  masuk apa yang tak pernah aku hadirkan dalam mimpi. Aku masih suka berangan-angan, tentang bunga, tentang daun, tentang kupu-kupu, tapi bukan tentang kumbang atau macan. Aku suka kelembutan, wewangian, ketulusan, bukan nafsu dan kekangan dalam cemburu.


Aku sedang tidak baik-baik saja. Hingga aku tendang apa yang merangsak masuk, namun aku ucapkan selamat datang bagi yang baru saja pulang. Tapi, hatiku kini mati, sebab hidup terlalu keras untuk bisa aku perjuangkan sendiri.



Monday, May 17, 2021

Diksi Hati


 


    Ada ledakan besar dihari senin. Kemarau yang basah di sepanjang sisi hati. Kisruh yang berlari dari harapan panjang akan kemenangan. Aku terjebak diantara topeng-topeng penuh kebohongan. Senyuman-senyuman palsu para penipu kebahagiaan. Ada rasa sakit diantara batas yang membendung perisai pertahanan. Rapuh.


    Anak-anak panah berdatangan bak udara yang bersalaman tanpa rasa iba. Mereka menghujamku dalam tawa yang tak bisa berkata-kata. Menjulurkan lidahnya dalam hujatan yang dibalut oleh kalimat-kalimat pujian.  

Mereka menawanku pada jeruji janji agar aku tidak bisa melarikan diri. Dan aku kehilangan kebebasanku untuk bisa meneguk senyum pada barisan pelangi yang ditawarkan oleh pagi.


    Aku ingin mengasingkan pikir. Mengurai kekeliruan masalalu yang aku ulang-ulang dalam rindu. Aku ingin menenggelamkan pilu pada kekosongan ruang yang aku sesaki dengan penyesalan.


    Aku lelah, Tuhan! Dosa seakan menjadi duri pada bahagia yang hampir saja aku teguk hari ini. Dosa ibarat pagar-pagar kawat bertegangan listrik tinggi yang harus aku lewati untuk bisa hidup lagi. Aku masih terkungkung dalam dosa yang tak bisa terhapus hanya dalam satu kalimat istighfar. Dosa ibarat siluet yang masih membuntutiku hingga aku sulit untuk bisa terbang tinggi.


    Peluh dan benci datang beriringan. Sunyi yang mengaduh pada ketidaksiapan ludah untuk menelan bara api. Sungguh, lelah telah berkidung lebih lama dibanding fajar yang terus bergerak mengibur. Aku ingin pulang! Pada bayang-bayang fatamorgana khayalan. Pada bianglala masa kanak-kanak yang membuatku lupa akan norma dan etika. Aku ingin bebas mendaki senyum dan leluasa memetik bahagia.


    Bawa kembali beban-beban itu! Aku ingin beristirahat. Aku ingin mengenang masa-masa balitaku. Aku ingin menutup mata dari dunia yang penuh dengan keberingasan. Aku ingin pulang pada jalan lain yang tidak bisa mereka bawa pulang. Aku ingin kembali! Aku lelah kali ini! 

Thursday, May 13, 2021

Ranah Pengasingan

 


    Ada barisan kalimat penyemangat hadir ketika takbir memekik di atas lintasan kefitrahan. Namanya menyapa diantara pesan-pesan yang tertunda. Dia mengingat tugasnya laksana lebah yang tak lupa membuat madu. Manis, dan jadilah pagi ini aku tahu bahwa namanya masih aku utarakan dalam rindu.


    Tepat pukul satu malam, dia masih bercengkrama dengan abjad-abjad yang menari di atas keyboard, sedang aku tengah bersitegang dalam mimpi yang tak kunjung bertegur sapa.

Aku memikirkannya, mengingatnya dalam selaksa semesta yang enggan berterus terang.

Dia, yang namanya bahkan telah dipahat pada jari manis milik orang lain. Dia yang bahkan telah memangku kupu-kupu kecil sebagai mahkota dari istana. Aku memandangnya dari jauh, seperti sang pengagum lukisan yang tak mampu memilikinya hanya dengan ungkapan kasih sayang.


    Dari parfum itu, kupu-kupu menari ibarat tarian bola salju. Wanginya mengendap dalam labirin kerinduan. Kidung suaranya bersemayam pada ranah pengasingan yang aku namakan hati. Indah, resah, dan terus terngiang-ngiang apa yang tak bisa dimiliki oleh diri. Not-not balok yang tak bisa aku baca hanya dengan menerka-nerka. Dia misteri hidup yang belum bisa aku simpulkan hanya dengan satu sapaan biasa.


    Andai saja dia tahu apa yang mengebu-gebu dalam kalbu. Getaran yang melaju pada frekuensi yang tak bisa didengarkan. Andai saja dia mengerti, apa yang terbayang-bayang dalam ingatan. Teduh-teduh yang bernaung di bawah langit hujan. Simpul senyum yang tak pernah bisa aku ajak pulang. Cincin ikatan yang tak pernah bisa aku pisahkan lagi. Dan bahtera bahagia yang tak akan bisa dibagi dua.


    Aku mencarinya pada dunia kasat mata yang mereka katakan “dunia maya”. Namanya tak banyak terpampang di sana. Fotonya ibarat sampul buku pada novel misteri yang penuh teka-teki. Dia tak banyak bercerita. Dialah tanda tanya yang tak bisa aku utarakan langsung kepadanya. Ah, aku masih saja mengingatnya dalam balutan rasa bertemakan rahasia.


    Kapan kemarau bisa berpendar dimusim semi? Menelurkan wajah baru dari daun-daun gugur yang tak bisa bercerita panjang. Aku ingin mengenalnya. Mendengar lebih jauh apa yang hilir mudik di dalam isi kepalanya. Aku ingin suaranya menggema bak senandung rindu yang kini menggenggam ranah kupu-kupu. Aku ingin dia. Ombak rasa yang masih membentur karang tanda tanya. Aku ingin namanya. Abjad-abjad halus yang aku pajang di atas dinding kerinduan. Aku ingin sapanya. Beberapa baris kalimat tanya, bukan tentang pekerjaan atau tugas-tugas yang menjadi batas kedekatan. 

Aku ingin dia bertanya tentang pagi yang abadi atau tentang senja yang membuatku jatuh cinta. Aku ingin mengenalnya lebih jauh, seperti sunyi yang kini terasa utuh.

Bulir-bulir harapan seperti yang ia sematkan pada malam di ujung titik penantian.

Aku menunggunya bercerita panjang lebar. Tentang dia, tentang dunianya dan tentang rasa yang ia pikir tak lebih berharga dibandingkan dengan logika dan hitungan matematika.

Aku jatuh cinta..

Sekali lagi, pada harapan yang membuatku putus asa.

Wednesday, May 12, 2021

Piao Liang

 



Senja kembali bercerita tentang rasa. Tentang wewangian yang lalu tumbuh menjadi frasa. Bait-bait rahasia yang dihadirkan dari ingatan berjam-jam yang tak akan bisa teralihkan.

Ada apa? Wanginya seakan menjadi pupuk yang menumbuhkan bunga-bunga. Suaranya ibarat laksa yang tengah aku nikmati di angkasa. Indah, merdu dan tulus itu lantas mengakar pada haluan pikiran yang tidak bisa beralih selain daripadanya.


    Aku ingin membaca kembali kalimat-kalimat yang dikirimnya setiap malam. Untaian baku yang tak lain adalah teks-teks biasa yang aku anggap bahagia. Sunyinya, sepi yang dia utarakan dalam rangkulan pengorbanan, kini tengah menjadi pahlawan dalam gejolak rindu yang dianggap tabu oleh waktu.


    Mungkin terlalu dini jika aku melukiskan bagaimana bersinarnya labirin rindu itu. Sketsa dari babak baru yang tak ingin aku ulangi lagi. Kenapa “wangi” lantas berkuasa pada akar rasa yang mereka anggap tak biasa? Kenapa “wangi” lalu menjadi duri pada keindahan yang hanya bisa dinikmati sendiri? Kenapa “wangi” menjadi teka-teki bagi rahasia yang tak bisa diutarakan dengan bahasa ketertarikan? Kenapa “wangi” menjadi batas bagi apa yang tengah dirasakan hati dengan realita yang harus dihadapi? Kenapa “wangi” harus tercium lebih dini?


    Malam tak akan bisa  mengumbar abjad-abjad yang bergejolak di kepala. Seperti sunyi yang enggan menjadi “ekspedisi” bagi nyanyian hati yang ingin sampai kepada matahari.

Diamnya, sinyal yang tak bisa aku baca di depan layar kaca. Kenapa seperti ini? Kenapa lelah menyala-nyala, namun bahagia?


    Ah, andai ada lagi teks-teks yang bisa aku baca di depan layar. Tarian indah dari jemarinya yang tengah memandangku dari kaca jendela maya. Atau barangkali ada lagi waktu di mana kita bisa saling bertukar rindu. Saling menyapa lewat getaran yang tak akan pernah bisa diutarakan. 


    Malam bercengkrama lebih lama dari biasanya. Ada penantian tersemat pada barisan “menunggu” yang masih diam ditempatnya. Sapaan belum terlihat diantara ratusan notif whatsapp di handphone ku. Dia mungkin tengah berjibaku dalam alunan takbir yang membuat jiwa pilu. Atau mungkin dia tengah memandangi waktu tanpa ada sedikitpun rindu. Entahlah, sebab yang pasti, kini dia tengah menjadi candu di kepalaku. Feromon bahagia yang ingin segera aku lepaskan ke udara. Aku tak ingin lagi sampai ke jurang itu. Sebab rasa kadang-kadang siap memangsa dengan bisa yang bertopengkan kata “cinta”. Aku tak ingin sia-sia.

Tuhan, beri aku peta sebagai petunjuk jalan! 

Aku tidak ingin lagi dibutakan!

   


Tuesday, May 11, 2021

BEBAN

 


    Ada yang harus aku pertanggung jawabkan kepada waktu. Kepada siluet yang nyaring menggiring kunang-kunang untuk tidak bercahaya. Aku terlahir dari gemuruh perjuangan. Keringat yang aku peras setiap malam adalah jembatan di mana aku bisa bertahan hingga hari ini. Namun, kadang-kadang melodi mengiris kewarasanku. Mengusik sedikit rasa tenang yang lalu mengundang tangis. Aku lelah.


    Kalau saja aku tahu bagaimana alur skenario itu, maka aku akan bersiap untuk segala jalan yang akan membuatku tergelincir. Aku akan sangat berhati-hati. Tapi, aku hanyalah wayang yang tengah dimainkan oleh Sang Dalang. Aku tidak tahu apa-apa.


    Kau tahu, ada resah yang seringkali menyelinap tatkala mimpi baru saja aku genapi. Layang-layang yang aku harapkan terbang tinggi, lalu jatuh sebelum bisa menggapai pelangi.

Selalu seperti itu. Jurang-jurang yang tak pernah mau bungkam dalam setiap teriakannya. Ombak yang tak pernah lelah menghantam karang harapan. Semua pertahanan itu lalu runtuh dalam beban yang tak bisa lagi aku topang.


    Dalam gelombang kesombongan aku pernah berdiri menggenapi hari. Menghitung kemungkinan-kemungkinan yang aku sematkan dalam catatan pengharapan. Langit aku lihat sedekat jarak pandang dan sekecil genggaman, tapi nyatanya keberingasan itu telah melahap birunya langit yang penuh dengan gejolak ketidakpuasan.


    Ajari aku untuk berdamai dengan beban. Dengan apa yang aku rasa berat untuk dipikul. Ajari aku mengerti, bahwa kelak aku akan berdiri diantara barisan sinar-sinar matahari.

Ajari aku untuk paham bahwa akan ada rembulan yang bisa aku ajak pulang. Aku tidak ingin menyerah pada titik ini. 


    Kepada doa yang tak pernah bisa aku khianati, semoga ia terus mengalir tanpa henti, Menjembatani lirih yang aku harap bisa berdamai dengan kisruhnya hati. Aku masih ingin berjuang pada detik-detik yang mereka sebut penghabisan. Aku masih ingin bergerilya pada teka-teki yang tak bisa aku pecahkan. Aku tak ingin kalah dalam dugaan, atau bahkan lemah dalam prediksi mulut-mulut kemunafikan. Sebab aku tidak dilahirkan untuk menjadi pecundang atau pemenang bayangan, tapi aku dilahirkan untuk menang dalam mencintai proses. Mencintai apa yang telah aku lakukan untuk mencapai garis finish. Aku menghargai alur itu. Aku mencatat setiap tetes keringat yang bisa aku lakukan hingga sampai pada titik yang mereka anggap sulit. 


    Aku bahagia telah melewati babak-babak yang dulu tak pernah bisa aku tebak.

Terimakasih untuk hari ini. Aku tidak ingin ada rasa takut lagi. Sebab Tuhan adalah Dalang terbaik yang tak pernah salah dalam memainkan wayang-wayangn-Nya. 

Yakin dan percayalah, maka kau akan mendapatkan kado termanis dari-Nya. Hadiah dari iman dan buah dari kesabaran, yaitu KEAJAIBAN!



Sunday, May 9, 2021

Bazar Ramadhan



    Halo pembaca, maafkan aku baru menulis lagi blog, maklum, pada bulan April dan Mei aku sungguh sangat sibuk, sehingga tidak ada waktu untuk menulis.

Pada bulan Mei, aku memenangkan tender di salah satu anak perusahaan milik Bank Sentral di Indonesia. Tender ini juga sungguh tidak mudah karena aku harus bersaing dengan konveksi besar yang telah menjadi vendor di perusahaan tersebut.


    Ketika pengerjaan orderan sedang berjalan, aku diminta oleh Direkturnya untuk mengadakan bazar UMKM di sana dan aku menuruti kemauannya. Jadilah aku sangat sibuk sekali mengurus beberapa pekerjaan secara bersamaan, mulai dari mengerjakan orderan seragam dan sepatu dalam jumlah banyak, menjadi ketua pelaksana, serta mengurus beberapa pekerjaan ditoko dan asuransi.


    Pelaksanaan bazar yang mendadak dan tidak didukung oleh beberapa karyawan di perusahaan tersebut, membuat aku merasakan banyak kendala saat akan melaksanakan bazar. Dimulai dari mendapatkn ijin dari satgas covid 19 dan juga kepolisian, tapi akhirnya semua ijin bisa aku dapatkan tanpa keluar uang sepeserpun.


    Bazar berlangsung selama 7 hari dan banyak sekali cerita di dalamnya, ketika aku dan panitia harus berjuang untuk kelangsungan bazar. Tempat berlangsungnya bazar merupakan salah satu kawasan menengah ke atas, sehingga masyarakat menengah ke bawah merasa segan untuk datang. Sebelumnya aku tidak mengetahui tentang hal ini, tapi aku baru mengetahuinya dari polisi sekitar.


    Kemarin adalah hari penutupan dan alhamdulilah semua berjalan dengan lancar. Dan dihari penutupan, hadir pula ibunda dari almarhumah Nike Ardilla.

Bazar memang telah berakhir, tapi besok aku masih harus menguruskan beberapa hal yang belum selesai, salah satunya adalah tentang dana sponsorship dari Bank Sentral yang masih tertunda dan besok aku berencana ke sana untuk meminta kepastiannya.

Alhamdulilah, aku sangat bersyukur dan berterimakasih kepada Allah SWT yang telah memberi banyak kemudahan, orangtua yang selalu mendukung, panitia dan empat pegawai baruku yang sangat gesit dan saling mendukung untuk kesuksesan acara. Semoga besok aku mendapatkan kabar gembira dari Bank Indonesia. Aamiin YRA.

Oya, satu lagi, saat aku mengerjakan tender dari perusahaan tadi, Direkturnya sempat meminta aku mengirim CV dan memintaku untuk menjadi karyawan di sana, tapi untuk menjadi karyawan tetap, aku harus mempertimbangkannya lagi, karena prinsipku adalah lebih baik menjadi kepala ular daripada ekor naga. Menjadi pemilik bisnis jauh lebih menyenangkan dibandingkan menjadi karyawan. Itulah prinsip yang aku pegang selama ini.


    Terimakasih juga untuk sekretarisku yang sangat cekatan. Dia sangat smart, maklum, kuliahnya saja sudah S3 di salah satu Universitas Katolik di Kota Bandung, tapi dia sangat rendah hati dan mau membantuku. Dan empat karyawanku yang juga berlatar belakang pendidikan sarjana, aku juga sangat berterimakasih karena mau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar di lapangan.


    Harapanku sekarang adalah aku ingin Allah menuntunku ke Jalan yang benar. Menghilangkan perasaan-perasaan yang tidak perlu jikalau perasaan itu muncul lagi. Dan terakhir, aku ingin segera menerima uang satu millyar yang sudah aku tunggu hingga detik ini. Semoga Allah mengabulkannya. Aamiin Ya Rabbal Alamin.