“Aku
suka sama kamu.”
Deg. Aku kaget mendengar kata-kata itu
dari mulutnya kali ini. Wajahnya pucat. Dia tampak gugup. Untuk beberapa saat
lamanya kita diam. Jujur, aku tak bisa berkomentar sedikitpun. Dia lalu
menatapku dan mempertegas ucapannya.
“Aku
suka sama kamu. Aku tidak perlu jawaban. Aku hanya ingin mengatakan itu saja.
Aku bahagia jika bisa melihat sunrise denganmu. Melihatmu yang berjalan
terengah-engah dan sering mengeluh kalau kamu ga kuat lagi mendaki gunung, lalu
aku dengan senang hati menggendongmu. Apa kamu ga menyadari bahwa kebersamaan
kita membuat perasaan-perasaan itu tumbuh?? Aku sayang kamu. Lebih tepatnya
cinta.”
Aku menatapnya yang tersorot cahaya
lembayung senja. Indah. Hidungnya mancung. Lesung pipitnya mempertegas wajahnya
yang manis. Matanya sipit, karena dia memang keturunan tionghoa, namun dia
terlihat seperti orang pribumi. Badannya tinggi dan tegap. Aku selalu terpesona
ketika melihatnya dari kejauhan. Dan satu lagi, dia cerdas dan selalu membuat
aku tertawa oleh kekonyolannya. Dia sekarang mematung didepanku. Tidak seperti
biasanya. Canggung.
“Hmm,
oya kita kan belum pernah foto bareng ya dari dulu. Gimana kalo sekarang kita
foto bareng??”
Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia
sepertinya tahu kalau aku tengah menghindar dan tidak ingin membahas perasaan
lain yang tengah dia rasakan.
“Aku
ga mau difoto berdua dengan orang yang aku cintai.”
“Lho
kenapa?? Kamu marah karena aku mengalihkan pembicaraan??”
Tanyaku sedikit kaget, karena dia tampak
serius dan samasekali tidak menatap wajahku.
“Aku
ingin menyimpan orang yang aku cintai dalam hati, bukan dalam foto.”
Dia lalu menolehku seraya tersenyum dan
memegang pundakku.
“Aku
pengen denger komentar kamu tentang yang aku katakan tadi.”
Aku salah tingkah melihat dia tepat di
depan mataku.
“Kalau
dua hari lagi bagaimana?? Aku butuh waktu untuk berpikir dan mencerna
keganjilan ini.”
“Dua
hari lagi?? Bukankah kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi besok?? Bahkan
semenit ke depan pun kita ga pernah tau. Hmm, tapi baiklah kalau kamu maunya
gitu. Dua hari lagi, itupun kalau aku atau kamu masih hidup, kita ketemu di
sini.”
Dia lalu membalikkan badan dan hendak
pergi.
“Ga
perlu dua hari lagi deh, aku jawab sekarang. Aku ga bisa. Ini akan terasa aneh.
Sebaiknya kita ga usah ketemu dulu sebelum semuanya kembali seperti semula. Aku
sayang kamu, tapi aku ga bisa terima perasaan-perasaan yang lebih dari sebatas sayang.”
Aku tinggalkan dia seorang diri. Aku
berlari dan mengusap airmata yang dari tadi aku bendung namun akhirnya tumpah
juga. Sekarang aku berada dalam kebingungan yang nyata dan perasaan bersalah
yang menyala.
Dua
hari sudah semenjak kejadian itu, aku tidak pernah berkomunikasi lagi
dengannya, meskipun aku sangat merindukan dia, tapi sepertinya ada sesuatu yang
menghalangiku untuk menghubunginya, bahkan hanya untuk bertegur sapa dan
menanyakan kabar, aku pun tak melakukannya.
Hari ini aku dan
sepupuku pergi untuk mengikuti seminar disalah satu hotel di Kotaku. Aku tidak
bisa menikmati acaranya karena perasaanku tidak karuan. Rasanya ingin cepat
pulang dan tidur.
Tiba di stasiun sekitar pukul tujuh dan
kita membeli tiket kereta terakhir. Sebelum kereta datang, kita duduk-duduk
seraya minum. Tanpa sengaja, aku melihat koran yang terbuka disebelahku. Aku
lihat dengan seksama. Ada berita kematian di sana. Aku pandangi foto itu.
Tanganku bergetar.
“Ga
mungkin.”
“Kenapa??”
Tanya sepupuku keheranan melihatku
menatap koran itu dengan pandangan serius.
“Berita
kematian?? Coba lihat.”
Dia mengambil koran itu dari tanganku.
Dia kemudian menoleh.
“Kasian
ya. Masih muda, cantik lagi. Ini anak pecinta alam ya?? Aku ga bisa bayangin
gimana perasaan pacarnya, pasti sedih banget.”
“Iya,
pasti sangat sedih.”
Ujarku pelan seraya menahan rasa sakit
yang tiba-tiba menusuk ulu hati.
Kereta datang. Lajunya terasa pelan dan
sunyi. Tak ada riak dan sorak sorai orang-orang yang biasanya hilir mudik
berlalu lalang. Hening, sepi dan semua cahaya terasa redup. Tiba-tiba aku
teringat kata-kata dia sore itu,
“ Bolehkah
aku menciumu??”
Lalu aku menamparnya.
******
Jalanan
basah, angin bertiup kencang seakan memaksa masuk melalui pori-pori. Langkahku
terhenti. Aku terjatuh. Aku pejamkan mata. Aku tutup telinga dan akhirnya aku
sadar bahwa aku telah kehilangan. Kehilangan dia, belahan jiwa.
No comments:
Post a Comment