The Winner
“ Ini hadiah buat kamu!!!”
Sebuah lilin putih berukuran kecil itu disodorkan Nerrisa ketangan Carla. Tatapan mata Nerrisa memancarkan satu pengharapan. Bias-bias keikhlasan tercermin dari senyumannya yang tulus. Carla tertegun, dua bola matanya sayu, jiwa melankolis itu kembali meradang, memecah pilu sayatan hati yang masih tergores luka.
“ Maksudnya? Kok lilin? Hadiahnya yang bermakna ke!! Hehe..”
Carla masih bisa menyembunyikan sembilu kesedihannya. Ia tertawa saat menerima lilin dari tangan Nerrisa. Carla tidak mengerti apa maksud Nerrisa memberikan lilin itu ketangannya, karena yang ia mengerti sekarang adalah Nerrisa telah menggoreskan sebuah luka dihati Carla dan Carla sangat sedih karenanya.
” Lilin itu sangat bermakna...ia mengorbankan dirinya untuk menerangi orang lain!!”
Mereka saling berpandangan, terbesit rasa kagum dibenak masing-masing. Sesaat, pilu dihati Carla sedikit terobati, rasa marahnya pun perlahan mencair. Carla menggelengkan kepalanya seraya tersenyum kecut.
” Jadi...maksud kamu, aku ini seperti lilin?”
Nerrisa tersenyum dan meletakkan kedua tangannya diatas pundak Carla.
” Iya, hari ini kamu udah ngebuktiinnya!!! Kamu ngasih kesempatan buat aku menjadi penulis script film di Perancis, meskipun untuk itu kita harus bersaing dan akhirnya aku yang mendapatkannya, tapi kamu tetap ngedukung aku, padahal itu adalah impian kamu semenjak dulu bukan?”
Carla tersenyum mendengar ucapan Nerrisa. Ia malu pada dirinya sendiri yang tidak bisa meraih impian yang selama ini ia idamkan.
” Tapi...kamu bahagia kan?”
Kini, giliran kedua tangan Carla yang berada diatas pundak Nerrisa.
” Aku bahagia Carla...tapi, aku lebih bahagia jika melihat sahabatku bahagia!!! Aku nggak ingin melihat kamu terluka gara-gara aku!! Aku nggak mau persahabatan kita hancur.....lebih baik aku melepaskan semua yang telah aku raih daripada harus kehilangan sahabatku!!”
Carla memalingkan wajahnya dari hadapan Nerrisa. Ia kemudian melihat bintang yang berkelap-kelip dilangit. Airmatanya hampir saja terjatuh, namun sekuat tenaga ia tahan. Ia cermati satu demi satu bintang yang bersinar dilangit. Semua bintang itu bercahaya, namun tidak semua bintang memiliki cahaya yang sama. Ada bintang yang cahayanya sangat terang, ada juga yang redup, bahkan ada sebagian bintang yang tak terlihat cahayanya, padahal bintang-bintang itu memiliki kapasitas cahaya yang sama, namun yang membedakan terang tidaknya bintang adalah jarak antara bintang dengan bumi, semakin jauh posisi bintang, maka tampak reduplah cahayanya.
Sedikit demi sedikit, Carla mulai memahami apa artinya kesempatan, kesempatan yang selalu menimbulkan pengharapan, namun dari pengharapan, Carla selalu merasakan kekecewaan, padahal tak seharusnya ia berpikir seperti itu karena Tuhan telah menganugerahkan potensi yang berbeda-beda kepada setiap manusia, maka dari itulah saat penghrapan kita gagal, kita harus optimis dan memaksimalkan potensi yang dimiliki, karena kemenangan yang sesungguhnya itu muncul dari sebuah kepercayaan diri, kerja keras dan jiwa pantang menyerah yang tak lelah memanfaatkan peluang menjadi wadah optimalisasi yang berujung prestasi.
” La...kamu nggak ngebenci aku kan?”
Nerrisa kembali menatap Carla, sementara Carla masih membisu dengan tatapan dingin.
“ Emangnya kenapa?”
Wajah Nerrisa kini murung, sesekali ia menundukkan kepala dan kembali menatap Carla.
“ Aku nggak mau kamu ngebenci aku!!!”
Matanya mulai berkaca-kaca, namun sikap dingin Carla tidak juga mencair. Semenjak tadi, ia menatap lurus kedepan, tapi kali ini ia menoleh kearah Nerrisa dan tersenyum kecut.
“ Aku punya hak kan untuk ngebenci seseorang atau enggak!!!”
Nerrisa menunduk lesu, ia tidak tau harus berbuat apa lagi. Hati Carla belum juga luluh.
“ Ya...tapi aku nggak mau persahabatan kita rusak gara-gara hal ini!!!”
“ Kata siapa persahabatan kita rusak??”
Dengan cepat, Carla menepis pernyataan Nerrisa. Carla tidak pernah merasakan hubungan persahabatan mereka rusak, terutama karena hal ini.
Sesaat lamanya mereka terdiam. Tak ada sepatah katapun terlontar dibibir Carla maupun Nerrisa. Mereka masih mencerna perkataan masing-masing untuk mendapatkan titik terang dari permasalahan yang tengah terjadi.
Suasana Hotel bintang lima itu kini mulai sepi, tak terdengar lagi suara-suara peserta lain dari kamar sebelah, begitupun dengan Carla dan Nerrisa, keduanya mulai dihinggapi rasa kantuk yang menjalar diseluruh tubuh.
“ Udah malem, besok kamu kan harus berangkat pagi-pagi ke Bandara....ga baek buat kesehatan, jam segini belum tidur!!!”
Suara Carla memecah keheningan, tangannya kemudian menutup kaca jendela dan menyibakkan tirai diatasnya. Ia lantas berbaring, mematikan lampu dan mulai memejamkan mata.
“ Besok yang harus pergi ke Bandara pagi-pagi itu kita, bukan cuma aku!! Empat orang peserta yang mendapat hadiah berlibur di Perancis, termasuk kamu... juara satu hanya diberi kesempatan menulis script film,,itu aja!!”
Dengan tegas Nerrisa memaparkan informasi yang ia dapatkan dari panitia. Ia tak ingin Carla berubah pikiran untuk menerima hadiah itu.
“ Aku nggak akan ikut!!!”
Mendengar jawaban dari Carla, Nerrisa mulai kesal. Ia kemudian menyalakan kembali lampu kamar, hingga Carla yang sudah memejamkan mata kini terbangun kembali.
” Jadi... apa mau kamu sekarang ????”
Carla lalu menoleh kearah Nerrisa yang terlihat sedikit emosi. Ia hanya tersenyum dan kembali mematikan lampu.
” TIDUR!!!”
Kamar No.135 itu kini mulai sunyi. Lampu kamar yang semenjak tadi menyinari sudut-sudut ruangan telah padam. Disana tampak Carla dan Nerrisa yang terlelap tidur. Mereka memiliki harapan yang berbeda untuk menyambut hari esok. Dibenak Nerrisa mungkin terbesit harapan untuk segera memulai impiannya esok pagi, tapi...dihati Carla...tak pernah ada yang mengetahuinya. Hatinya sangat tersembunyi untuk dapat mengatakan apa yang ia rasakan saat ini, mungkin ia bahagia...tapi entahlah!!! Semua masih misteri really...
Pesawat yang membawa Nerrisa kini telah terbang melintasi awan, menerjang angin, dan bersiap menapaki cerita baru di penghujung dunia lain. Carla tertegun, hatinya tersayat menerima kenyataan ini. Sinar mentari yang mulai bersinar terang dilangit, seakan telah hilang cahayanya. Ia berjalan pasrah, pandangannya lurus kedepan, namun pancaran matanya kosong. Dalam benaknya, belum sempat terpikir rencana apa yang akan ia lakukan untuk meraih mimpinya. Ia masih menghayati sisa-sisa pilu itu, meskipun sesaat kemudian terbesit sebuah ide untuk membuat buku yang berjudul “Wajah Indonesia di Era Globalisasi”. Didalam buku itu, Carla berencana memperlihatkan kondisi Indonesia yang sesunggunhnya, mulai dari kemiskinan, meningkatnya jumlah anak jalanan, pengemis, pengamen dan kriminalitas, serta sarana transportasi yang sangat memprihatinkan, seperti transportasi kereta api ekonomi dengan jumlah penumpang yang melebihi kapasitas yang seharusnya, sehingga akan membahayakan keselamatan penumpang, terutama masyarakat kalangan bawah. Namun, selain sisi negatif, Carla juga menampilkan sisi positif yang ada, seperti meningkatnya pembangunan gedung-gedung didaerah terpencil, meningkatnya perhatian Pemerintah mengenai pendidikan, serta meningkatnya pemberian pinjaman bagi Usaha Kecil Menengah (UKM) oleh seluruh Bank yang ada di Indonesia.
Carla tersenyum setelah memikirkan ide cemerlang itu. Ia kemudian memikirkan rekan kerja yang akan ia ajak bekerjasama dalam menyelesaikan proyek ini. Tiba-tiba ia teringat Amet dan Sofy. Mereka berdua adalah teman kuliahnya yang selalu mendukung keberhasilan Carla, selain sahabatnya Nerrisa. Sesaat kemudian, Carla mengirimkan pesan singkat kepada Amet dan Sofi untuk bertemu dan membicarakan hal ini.
Setelah setengah jam menunggu di Kampus, Amet dan Sofy pun datang. Mereka tampak kebingungan. Carla hanya tersenyum melihat rekan kerjanya yang sudah ada didepan mata.
“Hai La,, dah lama nunggu??”
Pertanyaan itu diucapkan Amet dan Sofy secara bersamaan, sehingga mereka tersenyum malu.
“Haha… kalian tuh kompak banget,, sampe nanya aja barengan gitu!! Ya lumayan lah aku nungguin disini udah setengah jam yang lalu.. jadi pegel!! Kalian lama banget sih !!”
Carla memperlihatkan wajah gusarnya karena menunggu Amet dan Sofi yang datang terlambat.
“Maaf deh La,,, kamu ngedadak banget sih ngajak ketemuannya… jadi aja telat !! By the way, ada apa nih??”
Amet mulai penasaran dengan maksud Carla mengajaknya bertemu.
“ Iya,, ada apa nih kita disuruh kesini ngedadak?? Ada hal penting ya?? Jadi penasaran..”
Sofy tak kalah mengutarakan rasa penasarannya. Carla kemudian berdiri dan menatap mereka berdua dengan senyuman dibibirnya.
“ Aku punya ide bagus untuk bikin buku dan aku butuh kalian berdua untuk menyelasikan buku ini!”
Dengan penuh rasa semangat, Carla mengutarakan maksudnya kepada Amet dan Sofy.
“ Oh,, bikin buku?? Kirain apaan..”
Sofy tampak kurang tertarik mendengar pernyataan Carla. Tapi kemudian Carla kembali menjelaskan idenya dengan penuh semangat.
“ Ini beda dari buku biasa!!! Kita akan menampilkan wajah Indonesia saat ini, seluruhnya… dan kita akan menampilkan foto-foto asli mereka dan kita sertakan soft copy dalam bentuk DVD yang menampilkan gambaran asli dari apa yang telah kita rekam!! Gimana menurut kalian??”
Sesaat lamanya Amet dan Sofy berpikir, kemudian mereka berdua mengangguk tanda setuju dengan rencana Carla.
“ Setelah dipikr-pikir, ide kamu bagus juga!! Terus, tugas kita apa??”
Amet mulai terlihat tak sabar untuk segera memulai rencana ini.
“ Kita mulai besok!! Tugas Kalian adalah memotret lokasi-lokasi yang berkaitan dengan tema buku ini, seperti pengemis-pengemis jalanan, transportasi atau pembangunan-pembangunan di daerah-daerah. Nanti setelah selesai, kita satukan dengan disertai penjelasan dan argumentasi. Sehingga buku ini merupakan fakta yang kita rangkum dalam sebuah buku! Setuju??”
“ Sipp!!”
Sorot mata Carla mulai berbinar-binar, tersirat sinar terang yang akan datang esok hari, membawakan dua sayap malaikat yang dapat membawanya terbang lebih jauh dari Nerrisa. Carla membayangkan dirinya terbang jauh dari bumi. Mengelilingi alam semesta, memetik bintang yang berkelap-kelip dilangit dan tertidur dalam dekapan rembulan dengan bias-bias sinar yang menyejukkan.
Sudah hampir satu bulan mereka berjuang menyelesaikan buku ini, perjuangan mereka memotret kehidupan sungguh tak mudah. Terutama ketika mereka dihadapakan pada kehidupan liar jalanan yang sangat buas, dimana masyarakat menghalalkan berbagai cara ketika kebutuhan perut mulai tak bisa ditunda lagi. Perampokan, pembunuhan, bahkan penjualan anak manusia sudah menjadi potret sehari-hari yang mereka lihat ketika tengah merampungkan buku ini. Amet sempat masuk rumah sakit karena kepalanya terkena goresan benda tajam oleh gerombolan preman saat ia mewawancarai anak jalanan yang tengah meminta-minta. Sofy hampir jatuh dari kereta api ekonomi ketika tengah merekam kondisi didalam gerbong yang berdesak-desakan. Dan yang paling membahayakan, Carla hampir terbunuh saat memotret kondisi rumah-rumah kumuh didaerah-daerah terpencil diwaktu malam hari. Selain itu, Carla disalahkan oleh orang tua Amet karena anaknya masuk rumah sakit dalam keadaan kritis gara-gara menyelesaikan buku ini, orang tua Sofy pun tidak mengijinkan Sofy untuk melanjutkan kembali pekerjaan ini.
Keadaan ini membuat beban Carla semakin berat. Sulit baginya merampunkan buku ini seorang diri. Sesaat lamanya ia memandangi arus kendaraan dijalanan yang semakin meningkat tajam. Kemudian ia teringat ucapan Dosennya yang mengatakan bahwa apabila kita membuat rencana dan rencana itu kemudian dilakukan dan sukses, maka nilainya adalah satu, sedangkan apabila kita membuat sebuah rencana dan rencana itu kemudian dilakukan, namun gagal, maka nilainya adalah nol, sedangkan apabila kita membuat rencana, namun tidak dilakukan sama sekali, maka nilainya adalah minus satu dan itu lebih buruk daripada nol.
Sesaat lamanya Carla merenungkan pernyataan itu dan ia bertekad untuk menyelesaikan buku ini meskipun seorang diri. Kerja kerasnya mulai terlihat kembali. Carla berusaha agar buku ini selesai satu minggu kemudian sebelum Nerrisa pulang ke Indonesia.
Carla tersenyum puas ketika buku karyanya telah rampung. Wajahnya merona, senyum simpul itu menggambarkan kemenangan yang luar biasa terutama ketika salah satu penerbit buku menerbitkan bukunya dan buku karya Carla masuk kedalam daftar buku best seller dan mendapatkan penghargaan dari Pemerintah. Betapa bangganya Carla atas pencapaian yang ia raih. Dengan segera, Carla mendatangi Amet, namun ternyata Amet sudah dibawa keluarganya ke Singapura untuk berobat, karena keadaannya mulai kritis. Carla membaca pesan singkat dari orangtua Amet
“KAMU HARUS BERTANGGUNG JAWAB JIKA TERJADI APA-APA TERHADAP AMET”
Carla menangis tersedu-sedu dalam pelukan Sofy. Ambisinya merampungkan buku, telah mencelakai orang terdekatnya. Hatinya tersayat, sungguh berat cobaan yang harus ia alami saat ini.
“ Udahlah La, bukan kamu yang salah atas semua yang terjadi !! Jangan sedih lagi ya !!”
Sofy mencoba menghibur sahabatnya yang tengah gundah. Dihapusnya airmata diwajah Carla. Seraya tersenyum, Sofy meletakkan kedua tangannya dipundak Carla.
“Kamu orang yang kuat,,, coba tegarkan kembali hatimu!! Perjalanan yang harus kamu tempuh masih panjang,, coba tata kembali kehidupan kamu!! Aku akan selalu ada disampingmu sahabatku… dan terus mendukungmu!!!”
Mereka kembali berpelukan. Carla merasa bebannya sedikit berkurang karena kehadiran Sofy yang begitu sabar menguatkan dan terus mendukungnya. Airmatanya telah mengering. Bias –bias kebahagiaan mulai tampak diwajah Carla.
“ Makasih ya Fy… Aku bangga punya sahabat kaya kamu.. besok, aku harap kamu bisa datang ke acara ulang tahunku!!”
Sofy mengangguk seraya tersenyum melihat Carla bangkit dari kesedihannya.
“ Insya Allah, aku bisa datang..”
Tanpa disangka-sangka, diulang tahunnya yang kedua puluh tahun, Carla mendapatkan kejutan yang istimewa. Sofy membawakan kue tart yang berbentuk hati. Kue itu adalah pesanan Amet sebelum dia masuk rumah sakit. Carla baru menyadari bahwa Amet sungguh menyayangi dirinya, meskipun dia tak pernah mengatakannya. Perhatian dan pengorbanan Amet selama ini untuknya mungkin cukup menggambarkan bahwa Amet sungguh tulus menyayanginya.
“ Aku terharu Fy… aku sungguh terharu dengan kejutan ini”
Belum sempat Sofy membalas ucapan Carla, tiba-tiba sahabat Carla yang dulu pergi kini tampak didepan matanya, sebuah senyuman yang mengisyaratkan kerinduan tampak diwajah Nerrisa. Dengan cepat, Nerrisa memeluk Carla dengan binar-binar airmata kebahagiaan.
“ Happy Birthday La… Aku kangen banget ma kamu… sampai detik ini aku merasa bersalah karena kemenangan ini “
Carla bersikap luar biasa menerima kedatangan Nerrisa. Ia berusaha menyembunyikan kekecewaan yang telah ia rasakan semenjak dulu, karena rasa rindu dan sayangnya sebagai sahabat, mengalahkan egoisme yang semula tertanam dalam diri.
“ Ga ada yang harus disalahkan atas kejadian masalalu… karena aku yakin, kita punya kesempatan lain yang masih bisa kita capai dengan kerja keras dan kesungguhan hati!!”
Nerrisa kembali meneteskan airmata, melihat kedewasaan tercermin dalam diri sahabatnya.
“ Ok, sekarang potong kuenya ya!!!”
Nerrisa masih berdiri disamping Carla, ketika Carla tengah memotong kue pemberian dari Amet.
Semua yang hadir tampak memancarkan kebahagiaan, begitupun dengan Carla. Dengan perlahan, Carla memotong kue itu, dan alangkah kecewanya Sofy, saat Carla memberikan potongan kue itu kepada Nerrisa. Sofy meneteskan air mata. Ia kemudian menulis sepucuk surat untuk Carla lalu pergi dari acara itu. Carla tak mempedulikan kepergian Sofy, ia seakan lupa bahwa Sofy yang menemani perjuangannya selama ini, bukan Nerrisa.
Usai acara, Carla membaca sepucuk surat dari Sofy.
Dear Carla,
Aku selalu berharap kamu bisa membuka mata dan memberikan kasih sayang secara merata bagi semua sahabat-sahabatmu, seperti mentari yang memberikan sinarnya untuk semua objek yang ada dibumi, tanpa pernah membeda-bedakan objek apa yang akan ia berikan cahaya. Namun ternyata kamu berbeda. Kamu memang selalu menganggapku seperti bintang dilangit yang selalu memberikan cahaya, semangat dan motivasi untukmu, tapi anggapanmu itu hanya sebatas kata-kata yang tak pernah kamu lakukan ketika Nerrisa ada disampingmu,,, seperti hari ini, aku merasa seperti seonggok debu kotor yang terabaikan dalam keramaian, bahkan kamu tak melirikku sama sekali, apalagi untuk meraba hatilu yang mulai terluka. Maafkan aku jika aku tidak berpikir dewasa, tapi inilah yang aku rasakan saat ini.. sebuah kekecewaan… aku juga tak bisa menemani kamu lagi,, besok aku dan keluarga akan pindah ke Kalimantan.. aku harap kamu bisa tegar,, karena sahabatmu Nerrisa telah kembali…selamat tinggal,, happy birthday”
Carla tak bisa berkata-kata lagi. Lidahnya kelu, ia merasa telah melukai orang yang selama ini selalu mendukungnya. Ia kemudian menyalahkan diri sendiri yang tak bisa bersikap adil terhadap orang-orang yang ada disekitarnya. Hatinya kembali terluka. Kali ini ia harus kehilangan sahabatnya Sofy dan ia sangat terpukul menerima kenyataan pahit itu.
“ La..”
Tiba-tiba Sofy muncul dihadapan Carla, sehingga membuat Carla terkejut bercampur bahagia karena masih bisa melihat kehadiran Sofy didepan matanya.
“ Sofy..kenapa kamu nangis??”
Carla menghapus airmata Sofy yang mengalir deras.
“ Amet meninggal….”