Saturday, May 4, 2019

Berkenalan dengan ZUHUD



    Kemajuan teknologi dan informasi pada saat ini terus berkembang dengan pesat, bagaimana tidak, jaringan komunikasi sekarang hampir memasuki generasi ke 5 atau 5G, setelah sebelumnya kita merasakan jaringan 2G, 3G dan 4G.
Keberadaan handphone saat ini sudah tidak asing lagi, malah HP kini seperti nyawa kedua bagi sebagian orang, karena ketika HP mereka tertinggal atau mati, maka mereka akan panik setengah mati.

    Karena kemajuan teknologi dan komunikasi yang semakin meningkat, maka berbagai perusahaan pembuat aplikasi jaringan sosial pun berlomba-lomba untuk membuat aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi masyarakat saat ini, seperti facebook, twitter, instagram, line, whatsapp,dll
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa aplikasi-aplikasi tersebut sangat memudahkan kita untuk menjalani kehidupan sosial dan berkomunikasi satu sama lain dengan kerabat atau berkenalan dengan orang-orang baru, baik untuk menjalin pertemanan atau bisnis. Namun, dari berbagai manfaat itu, ada juga beberapa dampak negatif yang muncul, seperti masyarakat yang keranjingan update status yang sebagian besar bisa menimbulkan kesenjangan bagi orang lain dengan ekonomi yang lebih rendah atau tergelincir pada ujub dan riya bagi diri sendiri. Ujub (merasa bangga dengan diri sendiri) dan riya (pamer dan ingin dipuji) merupakan penyakit hati yang sulit disadari oleh pelakunya, padahal penyakit hati ini lambat laun akan menggerogoti amal yang telah dia perbuat. Dan amat sangat disayangkan jika amal yang susah payah kita buat, kemudian hangus begitu saja hanya karena kita ingin dipuji oleh orang lain.

    Ujub dan riya muncul karena ada pergeseran gaya hidup masyarakat saat ini. Adanya dua penyakit hati itu juga tak bisa lepas dari sikap qonaah dan zuhud yang tidak diterapkan pada diri sebagian masyarakat modern dan kalangan sosialita saat ini. Oleh karena itu, kali ini saya akan membahas tentang sikap zuhud yang sudah semestinya kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

    Menurut Dr Ahmad Farid dalam bukunya yang berjudul “Zuhud dan Kelembutan Hati”, halaman 325, Zuhud adalah berpaling dari kecenderungan terhadap sesuatu menuju sesuatu yang lebih baik darinya, pengetahuan yang dijadikan sandaran agar seseorang dapat mencapai kecenderungan tersebut adalah pengetahuan bahwa perkara yang ditinggalkan itu hina untuk diambil, orang yang akan memiliki sifat zuhud adalah orang yang mengetahui bahwa apa yang ada pada Allah kekal adanya, bahwasanya kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal daripada kehidupan dunia, sebagaimana permata lebih baik dari butiran salju.
Dunia ibarat satu potongan es yang diletakkan di bawah sinar matahari, ia akan senantiasa meleleh apabila dihadapkan dengan sinar matahari, sedangkan akhirat ibaratnya seperti permata yang memiliki nilai jual yang tinggi, tidak akan meleleh dan tidak akan habis, dengan keyakinan akan adanya perbedaan antara dunia dan akherat tersebut, maka kecenderungan untuk berjual beli dengan Allah pun menjadi kuat. Allah SWT telah memuji sifat zuhud dari kehidupan dunia dan mencela sifat ambisi terhadap dunia dalam beberapa tempat di dalam Al Qur-an. Allah SWT berfirman: “Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la [87]: 16-17).

Tingkatan Zuhud

    Tingkatan pertama:
    Seseorang melakukan zuhud di dunia padahal ia sebenarnya ingin berjalan menuju ke arahnya, batin dan jiwanya condong ke arahnya, akan tetapi ia berusaha untuk berzuhud dan melepaskannya, maka ini adalah yang dinamakan seorang yang zuhud.

    Tingkatan kedua:
    Ia meninggalkan dunia dengan sukarela karena ia memandang dunia ini dengan kehinaan jika dibandingkan apa yang ia inginkan dari kehidupan akhirat, karena itu ia lebih memilih zuhud dan berpaling ke arahnya seperti orang yang meninggalkan satu dirham demi mendapatkan dua dirham.

    Tingkatan ketiga:
    Ia berzuhud terhadap dunia dengan sukarela, ia juga berzuhud di dalam kezuhudannya, ia tidak merasa bahwa ia telah meninggalkan sesuatu. Seperti orang yang meninggalkan kesempatan untuk melempar demi mengambil permata. Orang yang ada pada derajat ini seperti orang yang ingin masuk menemui raja, akan tetapi dicegat oleh anjing di depan pintu istananya, kemudian orang tersebut melemparkan sepotong roti ke arah anjing tersebut, lalu anjing pun sibuk memakannya. Orang tersebut kemudian masuk ke dalam kerajaan tersebut dan mendapatkan kedekatan dengan raja. Setan merupakan anjing yang berada di depan pintu Allah, ia mencegah manusia untuk memasuki pintu tersebut, padahal pintunya terbuka dan tidak ada hijab yang menghalanginya. Dunia diibaratkan sepotong roti, barangsiapa yang meninggalkannya demi mendapatkan keagungan sang raja, maka bagaimana ia bisa memandang ke arah roti yang hina tersebut.

    Yunus bin Maisarah berkata: kezuhudan di dunia bukanlah dilakukan dengan cara mengharamkan yang halal  dan menyianyiakan harta, akan tetapi kezuhudan di dunia adalah hendaknya apa yang ada pada Allah lebih kuat bagimu daripada apa yang ada di dalam tanganmu, hendaklah keadaanmu ketika ditimpa musibah dengan keadaanmu ketika tidak ditimpa musibah sama saja, dan hendaklah potensi ingin ada yang memujimu dan ingin ada yang membencimu ketika melakukan perkara yang hak sama banyaknya.

    “Nabi Muhammad SAW tidak pernah makan di atas khiwan (tempat makan yang sangat besar) hingga beliau meninggal, dan tidak juga memakan roti yang lunak hingga beliau meninggal.” (Diriwayatkan oleh Bukhari (11/273))

Rasulullah tidak makan roti menggunakan tempat yang besar dan tidak makan roti yang lunak alasannya adalah untuk menghindari makan yang kekenyangan, hal tersebut dilakukan atas pilihannya demi mendapatkan kehidupan dan harta yang baik nan abai (akhirat). Rasulullah hidup qona’ah  (sederhana) dan tidak berlebihan dalam menikmati dunia.

    Setelah mengetahui keutamaan zuhud dan hidup qona’ah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah, maka sudah sepatutnya kita menirunya. Hidup sederhana, tidak bermegah-megahan hanya untuk pamer dimedia sosial, padahal disekeliling kita masih banyak orang-orang miskin yang lebih membutuhkan bantuan.
Arti “Membantu” di sini juga benar-benar murni membantu mereka dengan ikhlas dan bukan “membantu” hanya untuk riya dimedia sosial agar disebut dermawan.

No comments:

Post a Comment