Tiga penenun dan alas kaki yang jinjit di balik kenangan. Mata yang masih menjadi isyarat, seperti kedipan pada lukisan yang tak hidup.
Tangan-tangan halus itu, buah yang ranum dan tak susut. Lumatan yang seperti madu dalam sarang lebah. Wanita dan tenunannya yang belum usai hingga fajar datang. Halus, hingga gelap tertidur lebih lama dari sang bulan.
Di balik kebayanya, rindu ditenun pelan-pelan. Ada suara ombak dan nyanyian burung berkicauan. Serat bajunya dan kenangan yang siap menelanjangi hari. Wanginya, bau yang tercium tanpa batas waktu.
Menguliti lagi apa yang sudah siap menjadi baju. Seperti pelarian, seperti keinginan yang terbungkus kain lusuh. Wanita, dan puisi-puisi yang tertinggal dalam benang kerinduan. Wanita, dan teduh yang memeluk sunyi di malam hari. Hangat itu dan lembut yang memicu debaran-debaran ingatan.
Sudahkah selesai apa yang kau tenun kali ini?
Hati yang masih saja berkelana dalam sarang rindu. Mengais kenangan pada sisa-sisa harummu di belakang sudut pintu. Seperti baju, dan gemulai jalanmumu di atas pentas masalalu. Berjinjitlah, dan pakai sepatumu sekali lagi!
Penenun dan hujan yang mengiringi kepergian puisi. Kidung dan senandung yang menyayat senyuman-senyuman pagi. Getir, seperti iring-iringan kematian sepasang waktu. Menit dan detik yang siap menjadi tunggangan kesedihan.
Kau penenun, namun kerap merobek pakaianku!
Membuat hujan berteduh lebih jauh dari rindu
Seperti tangan yang tak mampu lagi berpegangan
Seperti resah dan salah yang lupa berjabat tangan
Seperti kenangan,
Seperti perpisahan..
No comments:
Post a Comment