Saat menjadi model Makeup artist |
“Kenapa kita harus menikah?”
Selain hanya untuk mendapatkan keturunan, kenapa kita harus menikah? Kenapa kita harus berpisah dengan orang tua dan hidup dengan orang baru? Apa tidak bisa kita bersama-sama hidup dengan keluarga kita sekarang sampai tua?
Membicarakan tentang pernikahan memang tak akan ada habisnya. Tidak pernah ada jawaban yang pasti tentang kenapa dan mengapa kita harus menikah selain karena anjuran menikah dalam beberapa ajaran agama. Lalu, dosakah kita apabila kita tidak menikah?
Tidak pernah ada yang mengatakan dosa bagi orang yang tidak menikah, selama dia tidak melakukan maksiat. Lantas kenapa kita tergesa-gesa menikah hanya karena banyaknya komentar negatif dari orang lain? Kenapa kita memutuskan menikah hanya karena takut terlanjur tua untuk bisa melahirkan, sehingga kita sulit memiliki anak? Kenapa kita harus menikah hanya karena kekhawatiran dimasa tua hidup sendiri?
Banyak sekali pertanyaan “kenapa” dalam kepalaku yang mengakibatkan aku sulit sekali untuk memutuskan hidup bersama orang lain. Meskipun di sisi lain, aku beberapa kali membawa teman laki-laki ke rumah dan mengenalkannya kepada orangtua, namun orangtua selalu menyerahkan keputusan akhirnya kepadaku. Lucu memang, disaat orangtua teman-temanku yang lain selalu memaksa anaknya yang seumur denganku agar cepat-cepat untuk menikah, tapi lain halnya dengan orangtuaku, mereka memberikan kebebasan kepadaku, kapanpun aku siap menikah atau tidak menikah, itu bukan persoalan besar bagi mereka, karena yang terpenting bagi orangtua adalah kebahagiaanku
Aku sangat bersyukur memiliki orangtua seperti orangtuaku. Aku bahkan tidak menyangka bahwa ayahku sangat mengerti sekali tentang diriku, ini bisa dilihat saat aku memperkenalkan seorang laki-laki pada bulan Desember 2018. Laki-laki itu adalah seorang guru di Gontor (Cabang Malaysia). Pendidikannya S1 di UIN, sudah mapan, sudah memiliki kendaraan, baik motor sport atau pun mobil, dan usianya tidak terlalu jauh denganku, usia dia 33 tahun. Dia adalah orang Sumedang, namun sekarang mengajar di Malaysia dan pulang setahun sekali ke Indonesia. Ayahku waktu itu kurang setuju aku menikah dengan laki-laki yang menurut teman-temanku sempurna (soleh, mapan dan baik), karena ayahku melihatnya dari kacamata yang lain, yaitu kebahagiaan diriku. Ibu juga kurang setuju. Mereka seperti mengetahui bahwa aku tidak ingin menikah. Ayahku mengkhawatirkan kebahagiaanku jika menikah dengan laki-laki itu, karena tidak bisa dipungkiri, lingkungan dia sangat agamis, teman-temannya memakai gamis, bahkan ada yang bercadar. Ayahku lalu membandingkan penampilanku sehari-hari yang katanya “ngoboi” dan tidak akan nyaman jika kemudian diharuskan memakai gamis,dll. Lain halnya dengan alasan ibuku, dia tidak ingin aku dibawa ke Malaysia. Selain khawatir, ibu hanya merasa kesepian, karena dua orang saudaraku yang lain sudah menikah dan hanya aku yang menemani dia saat ini.
Jadilah kemudian aku menolak menikah dengan dia dan dia sedikit marah saat itu, tapi aku tidak terlalu peduli, karena kebahagiaan orang tua adalah yang utama bagiku, di samping kebahagiaanku sendiri.
Orangtuaku bahkan selalu menanyakan,
“Siapa yang selalu nyuruh cepat-cepat menikah? Ga usah didengar, karena kamu ga minta makan dari mereka.”
Itu yang selalu diucapkan oleh orangtua ketika aku tergesa-gesa membawa calon ke rumah. Tapi, jika harus berkata jujur, ketika aku membawa calon-calon itu menemui orangtuaku, hatiku justru berkata lain, aku tidak ingin menikah.
Sudah cukup bagiku melihat lemahnya perempuan yang dianiaya saat menikah, atau perempuan yang harus banting tulang sendiri untuk membiayai anak-anaknya, sedangkan suaminya selingkuh atau menikah lagi, atau perempuan yang hanya bisa menangis dikamar ketika suaminya malas mencari uang dan membentaknya dengan kata-kata kasar. Pengalaman dari saudara, teman, sahabat bahkan dosenku cukup membuat mataku terbuka tentang sisi lain dari pernikahan. Bagaimana sulitnya mereka mempertahankan pernikahan itu, meskipun berujung perceraian,dll. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak juga pernikahan yang bahagia, tapi tetap saja, kita tidak pernah tahu pernikahan kita kelak akan bahagia atau tidak.
Apa salahnya jika kita fokus beribadah, berbakti pada orangtua dan mengadopsi keponakan kita sendiri? Bukankah kita masih bisa bermanfaat bagi keluarga dan orang lain meskipun kita tidak menikah? Karena orang-orang yang sudah menikah belum tentu juga bisa berbuat seperti itu, karena mereka sibuk mengurus rumah tangganya?
Ah sudahlah, aku tidak akan berbicara panjang lebar lagi tentang pernikahan, karena mau sepanjang lebar apapun alasan kita, selama kita masih hidup di Indonesia, pernikahan itu menjadi sesuatu yang sangat penting. Bahkan ada istilah yang sering aku dengar bahwa:
“Janda di Indonesia lebih dihormati dibandingkan perempuan yang belum menikah, karena janda itu menandakan dia itu laku, sedangkan perempuan single itu tidak laku, makannya menjomblo terus.”
Ada-ada saja ya. Menurutku pernyataan itu sangat salah. Janda menurutku seperti handphone bekas, sedangkan Perempuan single itu seperti seperti handphone model lama namun masih ada segelnya, yang masih ada digudang karena harganya dulu sangat tinggi dan pembeli tidak bisa menjangkaunya, sehingga belum terjual.
Apapun itu, hati tidak seperti barang yang bisa diperjualbelikan. Hati bukan pula sesuatu yang bisa dipaksakan begitu saja. Kita semua berhak untuk memilih kebahagiaan kita sendiri. Dan kebahagiaan setiap orang itu berbeda-beda. Ada yang memilih pernikahan sebagai kebahagiaannya, namun tidak sedikit juga yang merasa kebahagiaannya hilang ketika dirinya masuk dalam mahligai pernikahan. Jadi, jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Hidup memang pilihan, namun kitalah yang seharusnya memilih, bukan orang lain atau bahkan keadaan.
Selamat memilih!
Sahabatku Nia |
No comments:
Post a Comment